Bukannya bermaksud menakut-nakuti, tapi kisah yang akan aku ceritakan di bawah ini ada baiknya untuk dipahami benar-benar dan diambil hikmahnya.

Suatu petang di awal musim dingin, aku merasa dunia ini membenciku. Aku pulang ke rumah dan menangis tersedu-sedu tanpa alasan yang jelas. Jerman terasa begitu gelap. Seasing-asingnya aku saat tersesat di kawasan gunung Panderman di Kota Batu, bagiku saat itu, Jerman lebih asing.

Tangisku tak pernah berhenti sampai beberapa bulir air mata menetes, kadang, untuk mengalihkannya agar tak terdengar tetangga, aku mandi saja di bawah shower berlama-lama sambil mendramatisir sesuatu yang sampai kini tak pernah aku ketahui apa sebabnya. Mungkin aku terkena sindrom winter depressi. Entahlah.

Saat itu, aku baru saja masuk kuliah. Aku daftar beberapa kegiatan di kampus seperti les bahasa gratis, kegiatan sosial seperti Amnesty Internasional, dan AIESEC. Pikirku saat itu, karena jam kuliahku yang relativ sedikit (8 jam per minggu), aku bisa mengikuti semua kegiatan itu. Tak hanya itu, aku juga melamar kerja di kantor pos, babysitting di beberapa keluarga, dan ditambah kegiatan budaya seperti  gamelan yang kuikuti setiap selasa malam.

Saat semua dengan perlahan berjalan mengiringi minggu-minggu awal kuliah, aku selalu merasa seperti dikejar anjing yang terus menerus melolong di belakangku, yang menuntutku untuk berlari secepat mungkin mengejar waktu. Dua puluh empat jam per hari kurasa tak cukup lagi mengejar ketertinggalanku. Akhirnya, hampir setiap hari aku ngos-ngosan. Puncaknya, aku merongrong di bawah shower, menangis, dan menjerit hampir gila.

Sekarang aku baru sadar satu hal: Tinggal di Jerman itu tak seenak yang orang bayangkan. Ini memang impianku, tapi siapa bilang hidup dalam mimpi itu terus menerus menyenangkan? Bukankah kita juga pernah mimpi dicekik, tersandung sampai masuk jurang? Bukankah mimpi itu tak selamanya manis?

Aku senang sekali bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan yang sama-sama menderitanya denganku, sama-sama harus bekerja keras siang dan malam demi bertahan hidup di Jerman, sama-sama harus rela menahan pedih ketika presentasi yang sudah dipersiapkan dengan matang harus dibantai habis oleh para professor, atau essay yang ditulis sampai bergadang berhari-hari harus dikritik mati-matian karena kurang ini itu. Bukannya aku senang melihat mereka juga menderita, tapi kalian pasti tahu bagaimana rasanya berkumpul dengan seseorang yang senasip sepenanggungan? Kita bisa (paling tidak) menyemangati satu sama lain, bersendau gurau, saling menguatkan, dan saling ngebully lagi setelahnya. 😀

Suatu hari, lama setelah kejadian tangis menangis di bawah shower itu, aku bertemu dengan seorang kenalan. Kami (seperti biasa) janjian untuk masak-memasak dengan salah seorang teman di kelasku. Kami semua orang Indonesia pecinta masakan nusantara :D. Entah dimulai dari obrolan apa, tiba-tiba kenalanku itu menceritakan sebuah kisah yang sampai kini harus aku ingat, dan tiap detik aku mengingatnya, di detik yang sama itu pula aku harus mensyukuri hidupku.

“Tau nggak, sih? Setelah kejadian mahasiswa di Berlin bunuh diri, ada satu kejadian lagi, seorang mahasiswa yang gila di satu kota di daerah Bayern!” kata kenalanku itu.

“Orang Indo?” tanyaku

“Ya iya, lah, masak ya iya donk?” jawab kenalanku yang hobinya nonton film sang ratu misteri ‘Susanna’ itu. Lalu lanjutnya, “Makanya jeung, hidup di negara orang tuh harus pinter-pinter nyiasati. Udah lah, semua pasti tau kalau elu juga setress, sama, gue juga, tapi kalau kita bisa ngobrol kayak gini kan enak, ya nggak? Ketimbang stress masalah kuliah di bawa ke rumah, di pendam sendiri, lalu gantung diri, mending kita potong-potong daun seledri buat masak sop iga sapi!”

“Ah, elu sok jadi motivator, lu! Udah deh, ga usah begaya, ceritain gih, siapa dan gimana tuh anak bisa jadi gila?” sahut teman sekelasku yang membawa kenalanku itu di acara masak-masak yang kami lakukan hampir tiap minggu itu.

“Iya, say, jadi anak itu namanya Siti (anggap saja begitu). Dia tuh, introvert banget. Tertutup dan perfeksionis. Sebenarnya, dibilang ga punya teman, nggak juga. Buktinya, gue pernah mergokin dia di acara PPI bareng ama teman-temannya. Dia cewek yang cukup alim. Nggak tau juga sih, bener apa nggak, gue kan cuma berspekulasi gitu karena dia pakai jilbab. Tapi dia kecantol bule Jerman, trus denger-denger, dia udah nyerahin keperawanannya, say. Kasihan banget, ya. Gue sampai pengen nangis, loh.!”

Saat itu, aku agak geregetan juga ngedengerin kenalanku itu cerita. Pertama karena terlalu bertele-tele, kedua, karena logat endelnya yang terkesan agak alay. Tapi aku dengarkan saja karena menarik.

“Dia datang ke Jerman dengan beasiswa LPDP apa Dikti gitu gue lupa, tapi karena dia molor dan prestasinya menurun, beasiswanya itu dicabut oleh pemerintah. Orang tuanya di Indonesia tak sanggup membayar biaya hidup di Jerman yang serba mahal, sedangkan bule Jerman yang dia percaya itu, akhirnya mencampakkannya gitu aja. Jelas lah dia stress berat.”

“Emang langsung stress gitu? Tahu dari mana sih kamu cerita begituan? Jangan-jangan bo’ong lagi?” komentar temanku. Temanku ini satu kelas denganku. Dia orangnya kritis dan tak percaya akan berita-berita tanpa adanya bukti atau fakta yang mendukung.

“Ya, terserah aja mau percaya atau nggak! Yang jelas, udah beberapa, loh say kejadian kayak gini. Aku taunya dari teman Indo juga yang satu apartemen sama dia. Katanya, Siti beberapa hari mengurung diri di kamar, trus terdengar jeritan-jeritan aneh gitu dari dalam kamarnya. Akhirnya karena penasaran, beberapa orang berinsiatif mendobrak kamar dan menemukan dia sudah kuyu, rambutnya acak-acakkan, megang gunting. Semua ketakutan. Takut kalau dia bunuh diri, atau ngebunuh salah satu dari mereka. Akhirnya dipanggillah 112, dan dia akhirnya diberi penenang. Dia sempat diajak naik bus ke Berlin, loh. Gue heran juga, gimana temannya ngajak dia naik Flixbus ke Berlin dalam keadaan seperti itu. Nah, gue nggak tau kelanjutan di Berlin itu. Tapi yang gue tau, Siti udah dibawa pulang ke Indonesia. Miris banget, ya say. Aku ngebayangin gimana perasaan orang tuanya…..”

*

Memang tinggal di luar negeri itu terlihat seperti menyenangkan. Bisa juga sangat menyenangkan memang kalau kita bisa menyiasatinya. Tapi tinggal di luar negeri itu, sebenarnya sama saja dengan tinggal di mana pun. Kadang ada suka, kadang ada duka. Ingat, luar negeri itu bukan surga. Kita masih hidup layaknya manusia yang selama hayat masih dikandung badan, kita akan selalu ditimpa ujian dan cobaan dari Sang Maha Kuasa.

Di Jerman sendiri, seperti yang aku ceritakan di atas, tak pernah luput dari persoalan hidup. Bahkan bisa dibilang lebih kompleks. Kalau di Indonesia, mau kelaparan tengah malam, ada penjual nasi goreng, PKL, atau kalau di Kota Batu, ada pasar malam yang jualan mulai pukul 01.00 dini hari. Malas jalan atau keluar beli makan, ada gojek. Kalau di Jerman? Jangankan gojek yang serba bisa itu, untuk naik bus saja, kalau kita telat semenit, nggak bakalan si supir mau membukakan pintu. Mereka kan nggak nyari uang atau ngejar setoran, tapi ngejar ketepatan waktu. Di Jerman? Kadang mau ngeyel malah takut kalah, karena bahasanya susah. Terkadang kalau kita sudah senyum tapi dibalas sewot atau dianggap aneh, jadi sakit hati sendiri, jadi kalau melihat orang-orang duduk cemberut di dalam kereta, mending kita pura-pura tidur atau baca buku saja.

Tak ada perbandingan enak dan tak enak. Di Jerman enak untuk berkarya dan cari uang, karena buruh digaji puluhan kali lipat dari pada di Indonesia, tapi untuk mental yang sehat dan jiwa yang kuat, kita perlu senyuman dan keramahan orang-orang Indonesia.

Yah, lagi-lagi ini hanyalah sebuah uneg-uneg, sebuah perspektiv berdasarkan kisah nyata dan pengalaman pribadi. Selalu saja berbeda dengan pengalaman orang dengan latar belakang yang berbeda pula. Aku harap, cerita kali ini sedikit menginspirasi dan bisa diambil hikmahnya.

Jangan lupa like facebook fanpage Denkspa untuk mengetahui info harian seputar Jerman, terutama Hamburg (tempat aku tinggal sekarang). Klik di sini untuk like facebook fanpage Denkspa. Vielen Dank (Banyak terima kasih)

Liebe Grüße

Comments

  1. Yailah aku kira enak terus kayak hidup di surga!! ??

    Lebay amat dah aku.

    Bener kak, hidup di manapun itu sama saja pasti ada aja cobaannya. Namanya juga hidup itu ajang ujian. Kalo cuman enak doang mah di surga..

    BTW kesian yang anak indo yang stress itu. Istilahnya Udah jatuh tertimpa tangga. Ngenes abis.. Semoga anak indo yang masih kuliah cepat lulus deh biar gak sampai stres gitu.. kesian..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *