Pertama kali menginjakkan kaki di Jerman adalah saat musim dingin 2014 (tepatnya, 11. Januari. 2014). Ekspektasi saya saat itu adalah salju di München yang memadati jalan atau butiran lembutnya yang melebur menyentuh jari-jemari. Eh, nggak taunya, meski musim dingin, saat itu, München sama sekali nggak ada salju. Sampai harus menunggu 11 bulan berikutnya, benda putih dingin yang kuimpi-impikan itu akhirnya datang juga, yakni saat Desember 2014.

Sekarang, kalau musim dingin, bawaannya malah pengen pulang ke Indonesia dan menikmati matahari sepuas-puasnya sampai gosong. Kini baru sadar mengapa, tak hanya orang Jerman saja sebenarnya, tapi banyak sekali orang yang membenci musim dingin. Itu sebabnya, di musim dingin,  banyak dari mereka yang travelling ke negara tropis, seperti Indonesia untuk menghindari winter.

Meski musim dingin kerap kali menarik bagi kita, yang notabene tak pernah dihampiri salju, namun banyak sekali alasan untuk membencinya. Berikut adalah alasan-alasannya:

1. Dingin

Pastinya doonk. Gimana nggak dingin, judulnya saja musim dingin. Kalau orang yang terbiasa hidup di negara beriklim sedang dan bermusim dingin, pasti sudah terbiasa dengan dinginnya musim dingin, tapi bayangkan saja kita hidup, tidak hanya di dalam kulkas (kulkas mungkin setara dengan musim gugur), tapi di suhu minus, yang sampai membekukan apapun, bayangkan hidup di FREEZER dan itu nggak hanya sehari dua hari, tapi 3 bulan non-stop ditambah angin yang bukan sepoi sepoi lagi, tapi dingin ngin.

2. Salju

Wah, pasti kesan salju itu putih, murni, cantik romantis. Meski turunnya salju bisa menenangkan jiwa dan butirannya mampu menyihir alam pikiran kita, tapi banyak orang Jerman yang juga membenci turunnya salju. Kalau salju itu turun trus putih berhari-hari, akan kelihatan indah dan menawan, tapi kalau cuma sebentar, lalu disertai turunnya hujan, walah, bakal kotor dan menjijikkan. Kita bakal menginjak es serut coklat dimana-mana,

kotor, becek, dan sama sekali nggak indah kalau kayak gini
nginjek-nginjek es dimana-mana

3. Dingin diluar panas di dalam

Kalau musim dingin, pastinya di rumah-rumah, toko, kendaraan umum akan memasang penghangat ruangan. Kalau di Indonesia kan, di luar panasnya minta ampun, begitu masuk ke mall, nyessss, adeem. Nah kalau di musim dingin kebalikannya, di luar dinginnya minta ampun, begitu masuk ke dalam, hmmmm, angeeet. Tapi, kalau musim dingin kan kita kemana-mana kudu pakai baju rangkap-rangkap plus jaket tebal lengkap dengan aksesoris syal, kupluk, dsb yang bikin anget, nah kalau masuk mall yang anget, dijamin kepanasan pakai kayak gitu. Kalau dicopot bawanya berat, kalau dipakai keringetan. Ahhh…

4. Ribet kemana-mana

Berat dan ribet. Kalau di Indonesia, mau pergi ke warung, tinggal pakai sandal jepit, meluncur balik lagi. Nah kalau di Jerman, pas musim dingin, jangankan ke warung, buang sampah ke depan rumah aja ya, pakai jaket tebal, kaos kaki dan sepatu boot anget, syal, biar nggak masuk angin, pakainya, trus bongkar pasangnya itu loh, ampun nggak sepadan dengan apa yang kita lakukan (cuma buang sampah doank).

5. Waktu siangnya pendek

Bayangkan, di musim dingin, matahari terbit sekitar pukul 8.30 pagi. Sedangkan kita mesti di kantor pukul 08.00. Masih gelap gulita udah berangkat ngantor. Trus matahari tenggelam sebelum pukul 4 sore, dan kita pulang ngantor jam 4 sore, pulang ngantor, nyampe rumah udah gelap gulita lagi. Ampun, kerja 8 jam rasanya kayak kerja mulai dari dini hari sampai tengah malam.

6. Matahari dan Vitamin D

Seperti yang saya tulis di artikel-artikel sebelumnya tentang winter depressi, pentingnya cahaya matahari buat keseimbangan tubuh hampir tidak bisa kita dapatkan di musim dingin. Makanya, kalian bisa membayangkan betapa sumringah dan gembiranya orang Jerman kalau melihat matahari muncul.
Tapi kalau mereka sudah sangat muak dengan musim dingin, biasanya mereka akan lari ke negara tropis demi memperoleh asupan Vitamin D.

7. Depressi mengancam

Ini juga ada hubungannya dengan point 5 dan 6. Kalau orang sudah stress kerja, nggak bisa menikmati hari-hari dengan hangatnya sinar mentari, mereka bisa terancap depressi berat. Saat aku kerja, banyak sekali yang ijin sakit sampai 2 minggu karena depressi, stress, butuh psikiater, dan lain sebagainya. Orang-orang pada merengut, muka ditekuk, dan nggak ramah pada siapapun.

8. Nggak asik buat travelling

Memang saat musim dingin, kita bisa jalan-jalan ke bukit-bukit bersalju untuk main ski, dan mendaki gunung misalnya. Olah raga musim dingin juga sangat populer di Jerman, seperti skiing dan ice skating, tapi kalau mau jalan-jalan melihat keindahan kota, widiih males banget. Selain dingin dan harus bawa baju berat untuk ber-backpaker ria, foto-foto juga jadi nggak asik. Apalagi yang mau dinikmati kalau dingin kayak gitu di kota,

9. Jalanan licin

Minggu lalu, di Hamburg saja, tercatat lebih dari 200 orang yang tergelincir di permukaan air yang mengkristal. Licinnya jalanan, membuat kita harus ekstra hati-hati dan pandai memilih sepatu. Sepatu yang bagus untuk musim dingin sekaligus stylish juga nggak karuan harganya. Udah gitu, bawanya berat kemana-mana. Tak hanya untuk pejalan kaki, pengendara mobil juga tak kalah bahayanya, kalau musim dingin dan jalanan tertutup salju, pasti orang-orang pada bete karena untuk mengeruk salju, juga memakan waktu, dan, kalau nggak ada salju tapi air mengkristal karena dingin, bisa bikin licin dan menggelincirkan pengendara mobil.

10. Biaya musim dingin

Tak hanya pakaian musim dingin yang berbahan bagus, namun juga semua aksesorisnya mulai dari sepatu, syal, kupluk, penghangat telinga, kaos kaki, sarung tangan, harganya juga sesuai dengan kualitasnya. Dan pastinya lebih mahal ketimbang aksesoris musim panas. Selain pakaian, biaya menghangatkan ruangan (Heizungskosten) juga tak sedikit. Ditambah kalau punya mobil, tiap musim semi dan musim gugur, ban-ban mobil harus segera diganti agar tidak membahayakan untuk pengendara. Untuk mengganti ban itu juga perlu ekstra biaya ke bengkel yang tak sedikit.

Demikian 10 alasan, yang sebenarnya bukan hanya untuk orang Jerman saja, untuk membenci musim dingin, tapi untuk semua yang pernah merasakan tidak enaknya musim dingin. Namun, penilaian subjektif ini semata-mata bisa dibantah, mengingat saya sebagai penulis, masih sering mengagumi keindahan salju di musim dingin. Hhehhe. Tapi kadang benci juga kalau udah meleleh.

Oh ya, baca artikel menarik lainnya tentang gejala-gejala depressi yang menyerang saat musim dingin
Sampai jumpa di topik seru lain. Semoga segera. 🙂

Viele Grüße

Comments

  1. Walaupun begitu, selfie ma foto2 di salju itu kece ya Mbak hehehe. Aku sangat nggak tahan dingin. Desaku yg nun di gunung ini kadang temperatur sampai 16 derajat. Uhuhuu, ituh udah ujan angin kabut jarak pandang paling 2 meter. Jadi pingin banget di rumah ada perapian kayak di film2 hihihi. Biar hangat…

  2. Kalau saya malah ga suka summer nya, puanass banget, apalagi saya nih wohnung diatap haha. Klo winter 1 bulanan masih nyaman sih lewat 2 bulan mulai gelisah, 3 bulan mulai hilang semangat apalagi klo mataharinya berhari-hari ga pernah nonggol bawaan jd melow melulu haha.

  3. Menanggapi poin kelima… kirain kalau siangnya lebih pendek berarti jam kerjanya juga lebih pendek (dan waktu tidur lebih lama) >< astaga ternyata anggapanku salah besar

  4. Kebanyakan dari kita yang ada disini selalu berfikir "enak ya bisa main salju" padahal fakta dilapangan itu ada penjelasanya diatas. Hahaha..
    Ya bersyukur juga sih tinggal di daerah tropis 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *