Köln (6-9 September 2014)
Waktu nulis ini: Hamburg, 11 November 2016
Waktu nulis ini: Hamburg, 11 November 2016
Couchsurfer dan kenangan kami |
Kisah sebelumnya bisa dibaca dulu:
Berlin dan Kenangan Yang Terendap Di Sana
Düsseldorf-Köln: Semengenaskan Itukah Kami Ini?
Salju turun lebat. Aku melihatnya dari kaca jendela. Akhirnya, turun juga salju di Hamburg. Tapi aku pesimis kalau salju ini akan bertahan dan pemandangan akan memutih. Pasalnya aku udah sering di php oleh cuaca Hamburg. Kata prakiraan cuaca sih salju, tapi apa daya, salju abal-abal. Turun bentar trus ngilang. Dasar cuaca alay. Apaan sih, kok jadi ngomongin cuaca. Aku kan pengen nglanjutin kisah perjalanan keliling Eropaku bersama Gladys, dari Dusseldorf ke Köln (Cologne).
Setelah ngikik sepanjang perjalanan di kereta dari Düsseldorf-Köln yang hanya memakan waktu 15 menit itu, kami keluar stasiun dan langsung menemukan Katedral Cologne yang megah dan indah itu.
‘Ke katedralnya besok aja ya? Capek, lagian nggak asik juga ke sana dengan memboyong ransel besar kita ini?’ kataku pada Gladys, yang disetujuinya.
Kami segera mencari alamat Rabea, our upcoming host.
Tak sulit bagi kami menemukan alamat Rabea itu, karena dia tinggal di pusat kota. Apartemennya benar-benar hanya beberapa langkah dari pusat nongkrong mahasiswa. Puluhan cafetaria dan pub berjajar di sekitarnya.
Rabea adalah Gadis Jerman yang cantik, memiliki mata biru dan rambut merah. Kami langsung akrab karena dia lancar sekali berbahasa Indonesia. Terkadang aku merasa dunia ini sempit sekali. Rabea menceritakan padaku bahwa 2 tahun lalu, dia menjadi sukarelawan di Jember, daerah Rejoagung. Dia tinggal di sana selama satu tahun. Di sanalah dia belajar bahasa dan budaya Indonesia. Rejoagung adalah tanah kelahiran bibiku. Aku sendiri dilahirkan di Jember, tepatnya di Gunung Lincing. Aku segera mengirimkan foto host family Rabea itu kepada ibuku. Dan tak ayal, tentu saja bibiku kenal dengan keluarga yang ditinggali Rabea itu. Rejoagung bukanlah sebuah kota yang besar, kata bibi, rejoagung adalah sebuah desa kecil yang orang-orang nya punya kekerabatan yang erat. Tak aneh kalau bibiku kenal dengan mereka. Sayangnya, bibi sudah lama tak tinggal di sana lagi.
Dia apartement Rabea yang terdiri dari 4 kamar itu, dia tinggal bersama dua orang pria dan satu wanita. Dua pria tersebut sangatlah ramah kepada kami, tapi penghuni wanita yang satunya seperti kucing garong, dia seksi, rambut abu-abu putih dan dari raut mukanya saat kami makan bersama di dapur, sudah terlihat bahwa keberadaan kami mengusik ketenangannya. Satu diantaranya adalah Petir pacar dari penghuni wanita (bukan Rabea), jadi mereka cinlok karena tinggal se apartment. Sepanjang perjalanan setelah Köln, aku dan Gladys menyayangkan kenapa Petir (nama aslinya Peter), berpacaran dengan kucing garong tersebut, padahal kami berdua selalu merindukan dan menyebut nama Petir sepanjang masa. LoL.
Rabea memperkenalkan kami kepada temannya, orang Jerman yang lama tinggal di Inggris tapi lama magang Prancis bernama Marie. Marie adalah gadis yang cantik, ceria dan banyak tertawa, dia terbuka sekali dengan pikiran tentang Asia dan dunia luar, dia bahkan menceritakan tentang pacar barunya, atau mungkin saat itu masih gebetan yang ditemuinya saat liburan di Spanyol bulan lalu.
Di Köln hari pertama, kami memutuskan untuk mengunjungi daerah sekitar katedral dan setelahnya ke Museum Coklat. Kami agak kecewa karena setelah berputar putar di sekitar katedral, kami hanya mendapati beberapa bangunan tua yang tak semenarik Katedralnya.
‘Tau gini, tadi nggak usah keliling, langsung aja ke museum coklat ya mbak’, kata Gladys, aku mengiyakan.
Malam harinya, kami makan bareng Rabea dan Marie di dapur apartemen Rabea. Dapur Rabea bersebelahan dengan kamar Kucing garong dan Petir saat itu ada di sana. Petir yang mengetahui kami nongkrong sambil makan malam, ikut nimbrung beberapa menit juga. Petir adalah pria tinggi kurus (saat menulis ini, 2 tahun setelahnya, aku udah nggak ingat wajahnya), yang jelas saat itu aku dan Gladys setuju kalau Petir adalah pria ramah yang menawan. Dia juga membuat foto kami berempat malam itu.
Masih di Köln hari Kedua, kami memutuskan untuk pergi ke Aachen, kota tempat Pak Habibi menimba Ilmu, kota ini tak jauh dari Köln. Dan karena kita dapat uang bonus dari hasil Hitch hiking itu, kita bisa naik Bla Bla Car dari Köln- Aachen dan sebaliknya.
printen: kue kering khas Aachen |
Saat berangkat ke Aachen, naik bla bla car, kita kebarengan pelajar asal Rusia yang saat itu satu mobil sama kita juga mau ke Aachen (aku lupa namanya), tapi dia baik sekali bersedia mengantar kita berkeliling kota Aachen.
pelajar rusia: guide kami di Aachen |
Sepulang dari Aachen, kita pulang ke apartemen Rabea lagi dan bertemu dengan Couchsurfer lainnya bersama Marie juga. Sehari setelahnya kita naik bis menuju Amsterdam. Rabea dan aku masih berkomunikasi sampai sekarang. Sayangnya Petir dan Kucing Garong hanya menjadi kenangan.
Jangan lewatkan kisah selanjutnya di Amsterdam: Menculik anjing dari bapak yang aneh
Bener2 pengalaman yang mengesankan. Bisa dapat kenalan lagi orang baru dari Rusia