Rotterdam: 12-15 September 2014
Saat menulis ini: Hamburg 06 Desember 2016

Aku mengenal Johan dari sebuah situs belajar bahasa dan cari sahabat pena: Interpals. Dari foto profilnya yang menunjukkan kemesraannya bersama sang istri, aku kagum dan lalu mengirim pesan pribadi kepadanya. Perkenalan kami tersebut bahkan sebelum aku tahu bahwa aku akan berangkat ke Eropa, waktu itu aku masih di Indonesia.
Johan menanggapi suratku dengan sangat antusias. Membaca balasan darinya serasa membaca novel atau koran yang di ujung rubriknya kita harus membalasnya. Aku senang sekali bertukar pikiran dengan Johan. Sampai saat aku menulis ini pun, aku masih ingat betul bagaimana baiknya dia padaku dan bagaimana cintanya pada mbak Evi, istrinya yang berasal dari Blitar tersebut. Mbak Evi dan Johan adalah pasangan favoritku sepanjang masa. Aku ingin sekali menemukan belahan jiwa yang tiap kali dia menatapku, dia tersenyum seperti senyumnya Johan saat menatap mbak Evi. Johan di setiap suratnya menceritakan kegagalan demi kegagalan menemukan cinta sejati sebelum bertemu dengan mbak Evi, dia pun selalu menyemangatiku dan meyakinkanku bahwa suatu saat aku pasti akan menemukan ‘dia’. Dia yang tidak butuh orang lain karena kehadiranku cukuplah bagi dunianya.
Dari Johan, aku pun minta dikenalkan dengan mbak Evi, wanita asal Blitar yang telah jadi warga negara Belanda sejak menikah dengan Johan. Mbak Evi selalu nampak mungil dan ceria. Dia selalu mengiringi sebuah kalimat yang diucapkannya sambil tertawa. Sampai aku dan Gladys kadang tidak tertawa karena lelucon yang dilontarkannya, melainkan karena cara tertawanya yang unik. Sebelum kami berkunjung ke Rotterdam, aku dan mbak Evi sudah sering mengirim email dan video call. Johan tidak pernah mau muncul di video call meskipun kalau di email dia menjelaskan sesuatu panjang lebar. Oleh karena itu, aku merasa tidak asing lagi dengan mereka dan mereka pun sangat menerima Gladys.
“Kenapa tidak telpon kami saja saat di Amsterdam? Kan Johan bisa menjemput kamu!” kata mbak Evi saat kami bercerita bagaimana kami sampai di sini (dengan Hitch hike)
“Ah mbak, kami kan nggak mau merepotkan kalian, dan lagi pula kami ingin mencoba nunut 
“Lho, itu kan bahaya. Gimana kalau kalian diculik?”
Entah apa yang ada di pikiran mbak Evi dan Johan, mereka terlalu sayang dan khawatir kepada kami. Kami yang tukang nggembel ini bukan seseorang yang layak untuk dikhawatirkan. Toh nanti kita bakal hitch hike lagi ke perjalanan selanjutnya.
Malam pertama datang, kami sudah disuguhi cemilan kripik singkong, rengginang khas Indonesia yang bisa dibeli di toko Indonesia di Rotterdam. Aku dan Gladys terharu sekali karena sudah sejak kami berada di rumah hostfamily, kami jadi jarang makan makanan khas Indonesia.
“Rasane koyok mudik yo, mbak (serasa pulang kampung ya, mbak)” kata Gladys yang aku iyakan.
Saat sarapan, Johan masih juga tidak terbiasa makan nasi. Dia sendiri di antara kami berempat yang makan roti. Kami makan apa? Nasi Pecel. Hehehe. Mungkin bagi yang berada di Indonesia, tulisan nasi pecel ku ini serasa biasa saja, tapi saat aku menulisnya di sini, perasaan haru dan trenyuh itu masih terasa. Makan nasi pecel untuk sarapan layaknya orang Jawa asli yang hanya bisa aku dapatkan kebersamaan makannya di negeri orang, hanyalah terjadi satu kali saja, yaitu saat aku di Rotterdam pertama kali.  Meskipun nasi pecel bisa dibuat sendiri, bahkan bumbunya tersedia juga di toko asia, atau bikin sendiri, namun perasaan haru yang menyelimutinya itu tidak bisa terganti. Perasaan rindu akan kampung halaman terobati sudah. Aku akan sangat berterima kasih kepada mbak Evi dan Johan yang telah memberikan nuansa tersebut dan menjadi bagian dari sejarah perjalanan mencari kitab suci kami ini :D.

hidangan ala pulang kampung
Yang Gladys dan aku ketahui tentang pasangan favorit aku (mbak Evi dan Johan) tersebut adalah mereka bertemu lewat chatting online dan jatuh cinta sejak pertama kali bertemu di sebuah taman di Belanda. Mbak Evi yang saat itu sudah tinggal dan bekerja di Belanda selama 12 tahun pun fasih berbahasa Belanda. Lucunya, kadang dia sampai lupa bahasa Indonesianya sebuah kata yang dia tahu dalam bahasa belanda dan jawa. Mereka senang sekali menceritakan bagaimana pertama kali mereka bertemu dan melihat rusa di taman itu beberapa kali.
“Sejak pertemuan kami saat itu, hingga sekarang, 4 tahun setelahnya, kami tak pernah terpisah sehari pun” kata Johan
“Kecuali saat Johan menghadiri konferensi di Austria selama 3 hari beberapa bulan lalu. ” sahut mbak Evi yang langsung dia terjemahkan kepada Johan dalam bahasa Belanda.
Bagiku dan Gladys, Johan dan mbak Evi sudah seperti saudara yang baru saja bertemu. Mereka baik luar biasa kepada kami yang masih baru kemarin bertemu, menyambut kedatangan kami dengan suka cita, dan menanggung seluruh biaya transport kereta dan makan kami selama di Rotterdam, ke Delft dan Den Haag. Johan dan mbak Evi adalah keberuntungan kami berikutnya….

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *