Minggu lalu, saat berada di sebuah workshop di kampus, aku jadi salah satu panitia yang duduk, menerima dan menyambut tamu yang hadir. Bersama salah satu teman yang kuliah di jurusan yang sama dan juga jadi panitia, kami asik mengomentari orang Jerman yang menurut kami saklek dan lurus-rus itu.
Bagi yang pernah tinggal di Jerman, pernah nggak sih kalian merasa bahwa orang Jerman itu amat sangat saklek dalam memandang hidup? Berbeda dari orang Indonesia yang cenderung punya plan A B C dan D, orang Jerman rata-rata hanya fokus dengan plan A yang mereka punya. Kabar baiknya, ini lah yang membuat mereka lebih fokus dan berorientasi dalam hidup dan pencapaian karir.
Sambil menerima tamu yang hadir, kami membicarakan kebiasaan orang-orang Jerman yang kami ketahui dan kami rasa aneh.
“Masa demi masuk ke jurusan farmasi, kenalan aku, orang Jerman, rela menunggu 5 tahun untuk masuk Uni demi menambah nilai kelulusannya. Padahal kan kalau kita, mending masuk jurusan kedokteran kek, perawat kek, atau apa lah dari pada umur dibuang gitu aja, belum lagi nanti kuliahnya masih harus 4 tahun kuliah, itu kalau lulus tepat waktu, kalau molor?” kataku.
Informasi tambahan, di Jerman, kalau kita ingin masuk jurusan favorit tertentu, contohnya medizin atau Betriebswirtschaftslehre (BWL) yakni semacam ekonomi pembangunan, seseorang harus punya nilai kelulusan yang bagus. Kalau nilainya tidak mencukupi, mereka harus menunggu (istilahnya wartesemester). Satu semester menunggu, nilai mereka akan naik beberapa point, kalau mereka yang ingin masuk jurusan favorit tapi nilainya jelek banget, mereka harus menunggu lebih lama. Maksimal menunggu adalah 10 semester atau 5 tahun dan selama wartesemester, mereka tidak diperbolehkan kuliah di tempat lain. Kerja atau kerja sosial diperbolehkan.
“Aduh, bener banget. Kalau orang Jerman itu ingin sesuatu, ya itu yang diinginkan. Nggak bisa yang lain. Kalau kita ya, nggak bisa ke Eropa dengan dapat beasiswa, kita mah banyak akal, au pair dulu kek, FSJ dulu lah, atau ausbildung dulu, lalu nyari2 peluang, mlencong-mlencong dulu yang pada akhirnya dapat kesempatan kuliah dan tinggal di Eropa. Orang Indonesia mah, banyak akalnya atuh.” kata temanku.
Aku setuju sekali dengan pendapat temanku tersebut yang membuat aku bersyukur sekali menjadi orang Indonesia yang secerdik kancil pencuri ketimun. Kalau kita nggak bisa lewat jalan ini, pasti masih ada jalan lain, sesuai dengan pepatah kita: banyak jalan menuju Roma.
Lha kalau orang Jerman? Mengapa mereka sedemikian sakleknya? Menurut apa yang aku tahu dan aku teliti selama ini, orang Jerman adalah orang yang terbiasa hidup dengan berbagai macam kemudahan. Negara Jerman adalah negara maju dan termasuk salah satu negara kaya di dunia. Oleh karena itu, masyarakatnya hidup terjamin. Orang Jerman masih tercatat sebagai salah satu warga yang paling banyak berlibur ke luar negeri karena selain penduduknya berpenghasilan tinggi, sistem ketenagakerjaan dari pemerintah yang juga mendukung, yakni para pekerja berhak mendapat libur satu bulan penuh selama setahun. Oleh karenanya, secara finansial, orang Jerman tak perlu khawatir. Mereka mau apa, pasti terpenuhi dengan mudah. Alasan inilah yang menyebabkan pola pikir mereka terfokus ke satu tujuan: aku ingin ini, aku pasti dapat ini.
Orang Indonesia yang punya latar belakang keluarga kaya raya pun masih selalu berpemikiran cerdik karena lingkungannya mempengaruhi pola pikir mereka juga. Anak-anak dari orang kaya sekali pun pasti mengenal atau berteman dengan anak orang miskin (yang notabene gap antara orang kaya dan miskin itu jauh sekali). Dengan mengenal kemiskinan, mereka jadi tahu bahwa sesuatu itu tidak bisa dengan mudah didapat, sehingga kalau kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dengan cara A, kita harus segera melakukan sesuatu dengan cara B, C, D dan seterusnya.
Orang Jerman bukan berarti tidak mengenal kemiskinan. Mereka tahu tentang itu, lewat pemberitaan di media masa, iklan donasi di pamflet-pamflet, TV, internet, dsb. Namun di lingkungan masyarakat? Nyaris tak ada gap yang membedakan anak orang kaya dan miskin. Semua orang tua bisa membelikan anak-anak mereka baju berkualitas bagus dan bermerek terkenal sekalipun hanya bekerja sebagai tukang bersih-bersih atau babysitter. Mengapa? Karena pekerja kasar di Jerman di
bayar mahal. Baca juga 8 hal murah di Indonesia, tapi mahal di Jerman.
bayar mahal. Baca juga 8 hal murah di Indonesia, tapi mahal di Jerman.
Semua kembali kepada individu masing-masing, aku bilang di Jerman ‘nyaris’ tak ada gap, bukan berarti tak ada batasan antara orang miskin dan orang kaya atau tak ada orang miskin sama sekali. Pasti ada, tapi kesenjangan yang nampak di masyarakat itu susah sekali tampak seperti di Indonesia. Aku merasakan saat SMP, sepatu bolong, jebol, jari kaki kemana-mana, makan nasi yang ditanak kembali setelah jadi karak, sedangkan teman sudah ada yang ke sekolah bawa hp, mobil, dsb. Kesenjangan itu nampak sekali kala itu sehingga anak-anak dari keluarga yang tidak mampu (seperti aku) akan minder sendiri.
Demikianlah sharing kita kali ini tentang orang Jerman yang saklek dan orang Indonesia yang cerdik. Sampai jumpa lagi 🙂
Viele Grüße
Kebanyakan orang eropa memang seperti itu, rasanya seperti perjuangan yang sia-sia. Mereka benar-benar ingin fokus apda satu bidang.
Kalau kita, di manapun ada celah, di situ kita berada hahahahah
Setuju,, kalau kita mah gampang mencari celah dan kesempatan. Gagal, bangkit lagi ketimbang nunggu yang nggak pasti 🙂
menarik sekali, kalau kita sih memang tidak terlalu terpaku pada satu bidang berbeda dengan orang eropa..
Kalau kita suka mengambil peluang…otaknya jauh lebih cerdik. 🙂 nggak saklek 🙂
Ternyata orang Jerman begitu banget ya, sangat fokus. Baru tau, mirip orang cina dong ya? Klo jualan kan fokus satu aja. Btw, di Pekanbaru ada kenalan orang Jerman,dulu ngajar bahasa Inggris.skrg juga masih, hanya aku salutnya pas cara dia memulai itu lho. Ngajarin gratis, lengkap buku2nya. Awal sepi yang ikut lama kelamaan jadi banyak, sampe pake pegawai segala
[…] Baca juga: German Vs Indonesian Mentality: Saklek Vs Cerdik […]