Meski tak semua orang berkarakter sama, tapi tak bisa dipungkiri karakter orang itu terbentuk oleh lingkungan, komunitas, suku, atau bahkan negara. Seperti kata Rohner (1984:119-120)

“Culture is constructed by something that full of equivalent and complementary learned meanings, which brought by a human population”

Dari kalimat itu, kita bisa asumsikan bahwa budaya itu terbentuk dan terbawa dari pembelajaran yang terdapat di masyarakat. Halah,, kok jadi kayak nulis tugas ya akademis banget…Hehehe… Mari kita membahas tentang budaya Jerman dan Indonesia saja dengan bahasa yang lebih ringan biar nggak boring 🙂

Orang Indonesia itu ngangenin. Sifatnya yang ramah dan mudah dimintai tolong, serta kekeluargaan dan gotong royongnya yang masih kental di masyarakat, dan lain sebagainya. Meskipun banyak juga yang mau nolong kalau ada imbal baliknya, atau karena sungkan. 🙂 Rata-rata mahasiswa dari Indonesia di kampusku berasal dari Jakarta dan Medan. Meskipun aku sendiri bukan orang kota, aku menilai mereka sebagai orang metroplolitannya Indonesia. Aku pikir mereka bakal kayak orang Jakarta yang aku dengar, individualis, cuek, dsb. Tapi sama sekali nggak. Mereka juga gampang dimintai tolong dan lebih banyak punya waktu untuk teman-teman dan komunitas ketimbang teman orang Jerman.

Orang Jerman nggak di kota, nggak di desa, sifat individualism-nya kental banget. Meskipun di desa ada juga yang masih saling berkunjung, makan siang bareng, anaknya sekolah di sekolah yang sama dan punya kegiatan ngurus anak yang sama juga, tetap saja tak pernah kujumpai orang Jerman yang punya kegiatan seperti ibuku dan teman-temannya atau tetangga-tetangganya, ngrumpi, arisan, nge-mall bareng sering-sering, dsb. Kalau mereka sudah ibu-ibu, pasti makin terfokus sama kegiatannya sendiri dan keluarganya. Di Indonesia, apalagi yang hidup di kampung kayak aku, pasti kenal semua tetangganya, mulai dari RT, RW, bahkan sampai kelurahan. Kalau pas ketemu orang ber-basa-basi di angkot bertanya, “Eh tinggal di Temas, ya? kenal sama Pak Hari supir nggak? Itu tuh yang rumahnya dekat sama Dokter Eko?”. Nah, tak jarang pula aku kenal sama orang yang dimaksud. Kalau orang Jerman, mah boro-boro kenal sama tetangga sebrang, aku yang tinggal di satu atap gedung apartemen aja nggak kenal satu pun.:). Alasan mengapa orang Jerman dan orang Indonesia bersifat seperti ini, adalah sebagai berikut:

1. Sejarah

Orang Jerman tidak pernah terjajah bangsa asing. Meskipun sebelum dan saat perang dunia kedua Jerman sempat kacau balau, namun warga Jerman belum pernah merasa sangat tertindas oleh kekejian bangsa lain. Oleh karena itu, meskipun pada dasarnya mereka peduli pada orang lain alias bersimpati, tapi empatinya kurang sekali.

Orang Jerman itu peduli sekali terhadap dunia karena mereka ingin sekali merubah persepsi dunia terhadap negara Jerman karena kekejian Hittler di masa lalu terhadap Yahudi. Tapi meskipun merasa kasihan terhadap orang lain (pengungsi contohnya), mereka ya membantu sebisanya saja, karena pikiran mereka masih banyak yang harus diurusi. Kalau ada pihak yang mengurusi bantuan, mereka ya membantu menyumbang saja.

Orang Jerman berbeda dengan orang Indonesia yang sering merasa senasip sepenanggungan. Apalagi kalau bertemu orang Indonesia di negeri orang lain, pasti kayak bertemu saudara. Orang Jerman bertemu orang Jerman lain di negara lain ya seperti bertemu orang lain, nggak peduli dari Jerman atau bukan. Bahkan temanku orang Jerman sering berusaha menghindari untuk bertemu orang Jerman lainnya kalau sedang travelling

2. Ajaran yang berbeda

Di Jerman tidak ada PPKN alias PMP yang mengajarkan tentang hidup bermasyarakat, pentingnya bergotong royong, dsb. Pelajaran agama ada, namun mereka tidak di ajari untuk memeluk sebuah agama tertentu. Di dalam pelajaran agama islam contohnya, mereka hanya diajari sejarah-sejarah munculnya islam. Tentang memilih suatu agama, itu bukan urusan sang guru atau pengajar, melainkan pribadi masing-masing. Bahkan orang tua pun tak berhak melarang atau menyuruh anaknya memeluk sebuah agama.

3. Kebiasaan

Suatu kali menjelang makan malam di rumah Host Family, kami sedang menyiapkan makanan untuk dimakan bersama. Tiba-tiba sahabat dekat sang ibu datang memeberi kejutan kepada anak-anaknya dengan membawa kue dan mainan. Alih-alih disambut gembira oleh host familyku, sahabatnya itu malah diusir karena kami akan makan malam. Aku pikir nih orang gila apa yak. Tapi keesokan harinya Kathi, sahabat sang ibu datang kembali membawa hadiah yang dibawa kemarin serta minta maaf. Kok malah dia yang minta maaf, batinku. Setelah bertanya, mereka menjelaskan bahwa di Jerman memang seperti itu, kalau nggak buat janji mau datang, pas datangnya di waktu yang salah, ya si tamu terpaksa harus pulang, karena makan malam itu penting untuk keluarga, dan makan malam biasanya disiapkan khusus dan pas untuk porsi anggota keluarga. Aku berpikir, nah kalau di Indonesia, pasti si Kathi disuruh masuk, makan bareng, makan seadanya, dibagi bersama, anggota keluarga yang lain juga pasti ikut senang, apalagi Kathi datang dengan niat baik, bukannya malah diusir.

Memang seperti itu di Jerman. Saat aku masih tinggal bersama host family, aku juga pernah bilang kalau temanku bakal datang berkunjung satu orang. Tapi pas aku pulang ke rumah, temanku satunya ikut datang juga. Host Familyku marah habis-habisan karena mereka hanya menyiapkan makanan untuk tambahan satu orang saja, temanku yang lain harus aku usir. Ya Tuhan, gitu amat ya, kalau di rumahku di Indonesia, mau pulang bawa orang sekampung, makan nasi sama sambal terasi seadanya pun nggak bakal jadi masalah.

4. Ideologi

Ideology atau prinsip hidup orang Jerman memang berbeda dari orang Indonesia. Sudah tahukah kalian kalau partai-partai politik di Jerman itu hanya tertuju ke dua arah, yakni Kapitalis (kanan) atau Sosialis (kiri). Ada yang partai di tengah-tengah antara kedua itu. Perdana menteri Jerman, Angela Merkel, adalah jebolan partai CDU yang menganut system kapitalis, sehingga Jerman adalah negara yang berideologi kapitalis, meskipun banyak orang Jerman yang tidak setuju juga dengan ideologi ini. Sedangkan di Indonesia, kita punya ideologi Pancasila dengan asas gotong royong dan kekeluargaan sebagai salah satu landasannya. Semua orang, generasi tua dan muda diajari untuk saling bekerja sama, rukun, hidup berdampingan satu sama lain. Di Jerman, pelajaran seperti itu tidak ada.

Karena kapitalis, orang Jerman cenderung lebih individualis. Karena sistem pemerintahan ini membolehkan orang-orang kaya yang punya uang menanamkan uang, saham, beli tanah di Jerman sesuka hati dan tidak peduli dengan nasib orang lain, tapi karena ideologi inilah orang Jerman jadi sangat pekerja keras, perhitungan karena tidak mau tertindas dan kalah dari orang lain. Bahkan orang Indonesia pun kalau kaya, bisa membeli tanah, rumah, perusahaan di Jerman. Sedangkan di Indonesia hanya warga negara Indonesia saja yang berhak membeli tanah, warga negara asing tidak boleh. Bayangkan kalau boleh, habis tanah di Indonesia oleh warga asing. Kenalanku orang Stuttgart yang pernah tinggal di Sulawesi saja sudah ingin membeli satu pulau, padahal dia masih kuliah saat itu. Katanya, murah sekali pulau di sana. Olala…

Demikian sharing kita kali ini tentang sifat orang Jerman dan orang Indonesia yang (lagi-lagi) bertolak belakang. Tentu saja pemikiran dan alasan yang aku kemukakan ini amat sangat subjektif sehingga bisa jadi kalian tidak se

tuju karena punya pendapat sendiri. Tapi aku menganut kata-katanya Pak Schmidt saja: Ketika kau tak peduli terhadap apa yang dikatakan orang lain terhadapmu, kau bebas. :9 Tentu saja kritik, saran, komentar akan sangat dipersilahkan. 🙂 Kalau kalian belum sempat membaca sifat-sifat yang bertolak belakang sebelumnya, silakan disimak di:

German vs Indonesian Mentality Part 1: Skeptic vs Pragmatic
German vs Indonesian Mentality Part 2: Saklek vs Cerdik
German vs Indonesian Mentality Part 3: Cuek vs SKSD

Sampai jumpa lagi

Viele Grüße

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *