Masing-masing kisah hidup manusia adalah rangkaian skenario alam, sehingga apapun itu, selalu menarik untuk diceritakan. Semoga kisah lanjutan sebelum aku ke Jerman kali ini bisa membuka wawasan dan paling tidak memberi inspirasi bagi siapapun yang membacanya.

Banyak sekali daftar list yang ingin kutulis di blog, juga permintaan pembaca tentang Jerman. Tapi, rasanya uneg-uneg hati belum terpuaskan kalau aku belum menyelesaikan kisahku tentang perjalanan ke Jerman. Bagi kalian yang ketinggalan, simak:

Part 1: Semua Berawal Dari Patah Hati
Part 2: Tak Ada Yang Kebetulan

Aku merasa, kedatanganku ke Jerman ini merupakan sebuah keajaiban. Hatiku seperti ditarik maju mundur oleh keadaan dan takdir. Setelah bahagia mendapat keluarga, sedih karena mereka menghilang selama sebulan, bahagia lagi karena mereka memberi kabar, sekarang, setelah semua data yang aku berikan dan dokumen sedang diurus,  aku membaca di websites kedubes Jerman, syarat menjadi au pair ke Jerman, maksimal 24 tahun. Sedangkan umurku saat itu sudah 25 tahun.

Lagi-lagi aku down dan putus asa. Mungkin segala sesuatu bisa diusahakan, uang bisa dicari, bahasa bisa dipelajari. Tapi umur?? Siapa yang bisa merubah takdir umurku dan menjadikanku 1 tahun saja lebih muda?. Aku seketika merasa tua, terlalu tua untuk memulai segala sesuatu. Saat itu aku berpikir, “Sebaiknya aku memberi tahu Nadja tentang hal ini. Tapi aku juga berpikir, mungkin dia akan sadar sendiri dan menghubungiku di kemudian hari dan membatalkan kontrak kami. Ya sudahlah.”

Lagi-lagi ibu. Ibu adalah orang yang paling berjasa dalam hidup dan mimpiku. Kepadanya aku harus selalu berterima kasih. Ibu bilang, “Jangan menyerah, kalau ini memang yang ditakdirkan untukmu, pasti Tuhan memberikan jalannya. Tak ada yang mustahil.”

Kalian ingin tahu keajaiban apa yang aku dapatkan saat ibu bicara seperti itu? Ibu adalah malaikat Tuhan yang berwujud manusia, doa dan kata-kata beliau tak ada tedeng aling-aling. Semua langsung tembus dan mustajab.

Tepat di bulan itu juga, tepatnya tanggal 13 Juli 2013, pemerintah Jerman mengubah KEBIJAKAN penerimaan au pair ke negaranya dari yang semula maksimal umur 24, menjadi umur 26 tahun. Yang  artinya, Tuhan masih memberikanku kesempatan 1 tahun lagi untuk berangkat ke Jerman.

Tapi hal itu tentu saja tidak kuketahui secara langsung, karena kedubes Jerman di Indonesia tidak seketika menggubah UU yang tercantum di websitesnya, kucek berkali-kali, tetap saja maksimal umurnya 24 tahun. Namun Tuhan tak pernah kekurangan jalan untuk memberitahuku. Ceritanya begini:

Di awal bulan Agustus 2013, aku daftar situs travelling internasional, Couchsurfing,  yang aku dapatkan infonya dari membaca bukunya Icha Ayu (Au Pair). Di bulan itu juga, aku mendapatkan pesan dari seorang mahasiswa Universitas Brawijaya bahwa akan ada mahasiswa asal Rusia yang akan tinggal di Malang selama 6 bulan untuk magang. Mereka menawarkanku untuk menjadi Buddy dari lembaga AIESEC. Aku dengan senang hati menjadi buddy orang Rusia tersebut.

Sebut saja namanya Anne. Anne berasal dari Moskow. Dengan menjadi buddynya, aku banyak cerita tentang mimpiku dan keinginanku ke Eropa, serta keterbatasan otak dan ekonomiku. Aku merasa nggak pede dan malas daftar beasiswa yang ribuan saingannya. Jadi, au pair adalah satu-satunya alternatif termudah dan termurah, namun umurku sudah kadaluarsa.

“Loh, kamu sudah dapat host family di Jerman?”, tanya Anne.

“Sudah, di Munich. Mereka bahkan sudah mengurus dokumen-dokumen yang aku perlukan untuk mengurus visa. Tapi umurku sudah kadaluarsa. Sudah 25 tahun.”, jawabku.

“What? Kan batasan umurnya 26 tahun?”, kata Anne lagi.

Aku tentu saja nggak percaya pada Anne.

“Mungkin itu buat kamu saja, yang bukan berasal dari Asia.”

“NO WAY!!. Kamu tahu? Umur kita sama. Tahun lalu aku juga sempat ke Munich satu bulan untuk les Bahasa Jerman dan sempat ingin jadi au pair juga. Makanya aku tahu. Itu peraturan untuk semua negara, bukan untuk aku yang dari Rusia saja”, kata Anne.

Aku masih belum percaya. Namun, di tengah-tengah kekalutanku, aku iseng saja mengirim email ke kedubes Jerman di Jakarta dan menanyakan berapa batasan umur untuk au pair dari Indonesia ke Jerman. Selang satu minggu, mereka membalas: 26 Tahun.

Aku jingkrak-jingkrak bukan main. Aku tak perlu menghubungi Nadja untuk membatalkan kontrak kami. Tapi ada satu masalah baru: Kemampuan Bahasa Jerman.

Saat itu, aku baru bisa 3 kata dalam Bahasa Jerman: Ich liebe dich. Sisanya? NOL besar. Di Malang ada les Bahasa Jerman yang menurutku lumayan mahal. Sekali lagi aku merasa tak sanggup membayar, apalagi aku yang saat itu tengah sibuk wisuda, harus dibebani dengan biaya kelulusan yang seabrek. Sejak semester satu aku hanya mengandalkan kiriman uang dari bapak yang bekerja di Bali yang perbulannya ngirim 400-500 ribu rupiah, lalu 420 ribu rupiah harus langsung masuk bank untuk nyicil motor bebek yang aku buat pp Batu-Malang tiap hari. Dengan 80 ribu rupiah dan kerja srabutan sana sini, aku bisa kuliah bulan demi bulan sampai 4 tahun. Jadi, aku berpikir, untuk membayar biaya kuliahku persemester aja aku harus nguli sana sini, gimana bisa aku les Bahasa Jerman yang biayanya 2-3 kali lipat biaya per semester? Apa yang harus aku gadaikan? Ahhhh…

Jangan menyerah!!! Di setiap kemauan, pasti akan ada jalan.

Adikku, yang juga sangat mendukung mimpiku, yang tiap pagi kadang menemaniku jalan-jalan ke bukit panderman sambil memilih-milih rumah atau villa untuk diimpikan, tiba-tiba membawa kabar baik. Di SMAnya dulu, dia sempat belajar Bahasa Jerman dan dia dengar, gurunya juga memberikan les kepada umum dengan biaya yang terjangkau. Kabar itu layaknya oase bagiku. Dengan biaya murah serta letak yang tidak terlalu jauh dari rumah, aku bisa belajar Bahasa Jerman. Akhirnya pertengahan bulan September, aku mulai les dengan jadwal 2 kali seminggu selama 6 minggu untuk persiapan test A1 (Syarat wajib jadi Au Pair). Pertanyaannya, bisakah aku lulus test A1 yang kudengar-dengar susah karena harus test berbicara, menulis, mendengar serta membaca, tak hanya multiple choice saja? Aku bertekat mencoba. Tak ada salahnya mencoba. Masalah nanti gagal atau berhasil, aku akan tahu kalau aku sudah mencoba.

Dokumen yang dikirim Nadja dari Jerman pada bulan Juli, baru datang di rumahku pada awal Oktober. Mereka sempat marah-marah, bukan padaku, tapi pada pos Indonesia. Pasalnya, mereka sebenarnya ingin aku datang di tanggal 10 November.  Satu hal yang memalukan lagi: Passport saja belum punya.  Aduh aduh aduh….

Begitu aku yakin aku berkesempatan berangkat ke Jerman, di akhir September, di sela-sela les Bahasa Jerman, aku mengurus Passport, yang akhirnya jadi di tanggal 8 Oktober, satu hari setelah dokumen dari Jerman datang.

Di Goethe Institut Surabaya, test kemampuan Berbahasa Jerman A1 diadakan tiap bulan. Saat itu, aku rajin mengecek jadwalnya. Kuakui aku cukup berani mengambil resiko dengan apply test di tanggal 25 Oktober. Padahal, aku masih les 8 pertemuan saja. Pada tanggal 23 Oktober aku wisuda dan mendapatkan gelar S.Pd dari Universitas Kanjuruhan Malang, dua hari berikutnya aku meluncur ke Surabaya untuk test Bahasa yang bermodalkan nekat. Saat itu aku bahkan tidak tahu apa Bahasa Jermannya ‘ada’ (es gibt).

Nadja dan Robert dengan sabar menungguku untuk mengurusi semuanya di Indonesia. Mereka juga membayarkan tiket berangkat ke Jerman yang nantinya akan aku bayar separuh saat aku sudah dapat uang saku dari mereka. Dari rencana kedatanganku yang harusnya tanggal 10 November, mereka mengirim kontrak lagi dan diganti tanggal 10 Januari 2014.

Bagaimana nasib kontrak kedua yang dikirimkan Nadja ke Indonesia, apakah molor seperti sebelumnya? Dan bagaimana kisah test A1 dan interview oleh penutur bahasa Jerman di kedubes yang kocar kacir? Nantikan kisah selanjutnya ya….

Bersambung (karena di Jerman, ini sudah larut malam hehehe)

dari tepian sungai Elbe (gaya niru-niru tulisan ala senior :p)…… Hamburg, pukul 00.40

Part 4: Sahabat Baruku Yang Cantik
Viele Grüße

Comments

  1. Semakin kesini ceritanya semakin menarik! Ich habe was zu sagen. Es ist ziemlich viel und persönlich. Dürfte ich dir eine Nachricht per E-mail schicken?

  2. dari tepian sungai Elbe Hamburg, pukul 00.40
    Hihihi… jadi inget siapa yg suka nulis beginian di akhir postingannya, karena saya sering membaca postingannya 🙂
    Salut pada semangatnya… Semangat yg seperti ini yg harus dimiliki siapapun 🙂

  3. Au pair berarti sekarang sampai usia 26 ya, mba. Saya jadi ingat punya teman anak sastra Jerman yang juga punya mimpi mau jadi au pair, biar bisa ke Jerman. Langsung saya kasih link blog dirimu ini, mba, ke dia.

  4. Berawal dari kaka yang komen di blog saya, dan sekarang saya sudah selesai baca semua pengalaman kaka hingga bisa kuliah di jerman 😀
    Saya juga dari Universitas Kanjuruhan Malang kak, tapi beda prodi dengan kaka, suatu saat saya pasti juga bisa mewujudkan mimpi kuliah S2 di Eropa seperti kakak hehe..
    Blog nya sangat menginspirasi, thanks..

  5. Terima kasih mba postnya sangat bermanfaat. Tadinya aku pengen daftar aupair jerman juga, tapi pas baca syaratnya ragu sama persyaratan bahasa jermannya. Tapi setelah baca postingan mba ini aku jadi semangat lagi mau ikut aupair.danke.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *