Sebelum ke Jerman Part 5: PERCAYA SAJA!!!

Akhir pekan ini (akhirnya) merupakan akhir pekan yang bebas dari tugas membaca jurnal dan artikel dari professor, sehingga ku bisa melanjutkan kisah sebelum aku berada di tanah Eropa ini. 

Kalau kalian belum sempat membaca kisahnya mulai dari awal, silakan dibaca dulu:  

Part 1: Semua Berawal Dari Patah Hati  
Part 2: Tak Ada Yang Kebetulan
Part 3: Jangan Menyerah! 
Part 4: Sahabat baruku yang cantik

Flashback: 22 November 2013

Lagi-lagi keajaiban atau memang keberuntunganku saja tiba di kota metropolitan yang konon katanya kehidupannya keras ini. Aku tidak punya sanak saudara yang tinggal di Jakarta, teman juga tak ada. Agus punya saudara yang bisa ditumpangi menginap, tapi mereka sibuk bekerja. Mau nginap di hotel? Alamak, duitnya siapa?…

Bukan aku namanya kalau menyerah begitu saja. Lewat situs Couchsurfing, aku mencoba peruntunganku mencari tumpangan menginap gratis di Jakarta yang semuanya serba mahal.

Sebut saja namanya Robert. WNA asal Swedia yang sudah tinggal 13 tahun di Jakarta. Robert seumuran ayahku. Dia menikah dengan wanita Indonesia sekitar tahun 2003. Kisah sedihnya, wanita itu meninggal karena kanker paru-paru.

Aku mendapat tawaran menginap gratis dari Lusiana dan Robert. Awalnya, aku menerima Lusiana karena kupikir aku lebih nyaman tinggal dan berkenalan dengan cewek asli Jakarta, bukan bule ekspat yang lagi-lagi aku harus menyesuaikan diri dengan ngobrol pakai bahasa planet. Hhehehe. Aku pun menolak tawaran Robert dengan halus.

Dua hari sebelum keberangkatan, Lusiana membatalkan tawarannya untuk jadi hostku karena alasan tertentu (yang aku sudah lupa), seingatku, paman atau saudaranya mendadak datang dan membutuhkan inapan juga. Tapi saat di Jakarta, aku sempat bertemu dengan Lusiana, diajak ke kantornya, makan mie ayam Jakarta yang enak dan sempat ngobrol banyak dengannya.

Akhirnya, aku bertanya lagi kepada Robert apakah ia masih mau menjadi hostku selama aku di Jakarta. Dia menyayangkan karena aku telah membatalkan permintaanku, jadi dia menerima tamu dari couchsurfing yang lain. Huuuftt…

Tapi lagi-lagi keberuntungan berpihak padaku. Tamu Couchsurfing itu menunda kedatangannya ke Jakarta hingga dua hari. Jadilah aku diterima di tempat Robert.

Tak hanya diberi tumpangan menginap, Robert dan supirnya bahkan menjemputku di stasiun Gambir dan membawaku ke rumahnya di kawasan elit Menteng.

Woooow,,, gila. Aku seumur hidup belum pernah masuk ke rumah sebesar dan semewah rumah Robert. “Ini mah tinggal di hotel,” batinku. Rumah luas nan mewah itu berlantai tiga, dengan dua kolam renang di pinggir-pinggirnya. Kamarnya kurang lebih ada enam. Pembantu Robert sudah menyiapkan makan dan minum untukku.

Setelah tour keliling rumah yang membuatku terkesima itu, aku diantarkan menuju kamarku. Sungguh, aku ini katrok abis. Aku malah nggak bisa tidur semalaman gara-gara kamar ini terlalu mewah. Seumur-umur, kamarku di rumah cuma berukuran 2×3 meter, waktu ngontrak dulu, malah berbagi kamar dengan kedua bibi dan adikku. Nggak cuma berbagi kamar, kami juga tinggal bersama 4 keluarga lain di satu atap, satu kamar mandi, satu dapur, kadang kalau sangat kebelet, atau WC mampet, aku numpang ‘lapor’ ke tetangga. Hidupku tak pernah punya privasi sendiri. Eh tiba-tiba aku dihadapkan oleh situasi dimana rumah segede ini cuma ditempati Robert dan pembantunya, ketambahan aku yang berada di sebuah kamar luas nan mewah, dengan kamar mandi dalam, bath tube, kran dengan air panas, handuk, peralatan mandi, TV yang segede bioskop, view yang menghadap ke birunya kolam renang dan lemari besar berjajar-jajar yang bisa kugunakan menaruh pakaianku selama aku tinggal. Aku yang harusnya senang, malah bingung sendiri harus bagaimana. Aku bahkan kaget setengah mati saat menyalakan air, dan keluar air hangat dari kran. POKOKNYA, bayangkan orang purba masuk kota, itulah gambaran diriku saat itu. Aku nggak mandi, selama dua hari menentang panasnya Jakarta, karena aku takut bath tubenya rusak kalau kuinjak, alasan sebenarnya, aku yang terbiasa mandi di kamar mandi penuh kecoak ini, nggak tahu harus gimana menggunakan shower dan bath tube tersebut. 😀

Ya Tuhan, aku merasa aku ini beruntung sekali. Bayangkan kalau aku menginap di hotel yang mewah, berapa ongkos yang harus aku bayar. Belum lagi aku diantar supir ke kantor kedubes Jerman oleh Robert. Tak hanya itu, dia menjemputku juga mengantarkanku tour keliling Jakarta, ke Museum Fatahillah dan kota lama, lalu menaiki perahu di Pelabuhan (aku lupa namanya), pelabuhan ini dulunya pelabuhan peti kemas tersibuk sebelum Tanjung Priuk. Robert tak hanya mengajakku, dia juga menjelaskan tentang sejarah-sejarah serta kejadian di Jakarta. Seperti pembantaian kaum China pasca orde baru saat kami menyusuri pecinan yang dimaksud. Hotel, transportasi, guide? Kalau diuangkan semua? Bisa berjuta-juta. Dan aku dapat semua itu gratis-tis. dari orang asing yang sebelumnya tak kukenal sama sekali.Terima kasih, Robert. 🙂

Robert dan aku di jalan masuk rumahnya
ini pemandangan pelabuhan tua dari atap mercusuar

Lalu bagaimana nasib pengajuan Visaku di Kedubes Jerman?. Sangat mendebarkan.

Setelah antri di depan pintu gerbang kedubes, aku pun masuk dan antri di loket. Semuanya berjalan lancar. Dokumen dan syarat-syarat yang dibutuhkan sudah ada, lengkap. Tiba-tiba, mbak-mbak cantik itu memanggilku kembali dan berkata, “Oke, sekarang saatnya interview”.

Aku sudah tahu kalau akan diinterview, batinku aku bakal di interview oleh mbak cantik tersebut, nggak taunya, selang beberapa menit, datang seorang bule di balik loket dan memanggil namaku. OMG, yang interview bule? Asli Jerman? Native Speaker? Ini sama sekali diluar dugaanku. Kacau!!!!kacau!!!!udah gitu, pria muda berdasi yang ramah dan suka tersenyum ini kalau diamati tampan juga. Buyar deh konsentrasi dan hafalan kosa-kata Jermanku. Alamaaak.

Was haben Sie vorhin gemacht?” (Apa yang anda lakukan sebelumnya?> sebelum memutuskan menjadi au pair<) tanya bule itu.
Otakku miring sedikit dan berputar-putar. Apa yang dia maksud? Gemacht? Apa itu gemacht? Aku kan masih A1, belum belajar präteritum saat itu, aku nggak ngerti bentuk lampau yang ditanyakannya. Jantungku berdegup kencang. Rasanya akan gagal deh. Pertanyaan pertama saja sudah nggak bisa jawab. Ohhhh maaakkk, tolong toloooong.

“Heee… eeengggg…Ich? Ich studiere…..” (aku? aku belajar) jawabku terbata-bata. Berharap jawaban itulah yang dia inginkan. Ngawur saja.

“Was haben Sie studiert?” (apa yang telah anda pelajari?)

Ich….ichhhh...Englisch!”. Sudahlah, pasrah saja. Aku yang deg deg gan karena menatap matanya yang biru itu jadi lemas dan otakku rasanya mau semburat keluar dari kerangkanya. Tak ada tataan grammar yang keluar dari mulutku.

“Oh, really? So, you can speak English then?” (Sungguh? Kalau begitu, anda bisa bicara bahasa Inggris donk?) tanyanya sambil tertawa lebar. Sepertinya dia sudah lelah dan putus asa mewawancaraiku yang sedari tadi cuma bisa ich ich ich saja.

Dia akhirnya tanya kenapa aku memutuskan untuk menjadi au pair, apa yang aku inginkan setelah jadi au pair, dan sebagainya.

Tips: Jangan bilang kalau ingin tinggal dan lanjut menetap di Jerman. Karena program Au Pair ini cuma program satu tahun saja yang dijembatani oleh pemerintah Jerman agar para Au Pair bisa mempelajari bahasa dan budayanya lalu kembali pulang dan mengaplikasikannya.

Aku menjawab, “Ayahku seorang tour guide, dia bisa Bahasa Jerman juga. Sedangkan anda tahu, bahasa Jerman saya masih pas-pas an. Jadi, di Jerman saya ingin belajar Bahasa, lalu sekembalinya dari Jerman nanti, saya mungkin ingin jadi tour guide juga atau guru Bahasa Jerman untuk mengaplikasikan yang telah saya pelajari di sana.”

Meskipun terlihat cukup puas dan tersenyum atas jawabanku. Tapi aku pulang dengan kaki lemas dan tak bertenaga. Pasalnya, aku dengar interview di kedubes juga menentukan diterima atau tidaknya visa kita. Au Pair paling tidak kudu bisa Bahasa Jerman, agar kalau terjadi sesuatu, misalnya kebakaran saat orang tua tidak di rumah, au pair bisa telepon pemadam kebakaran dan menyelamatkan anak-anak. Nah kalau aku cuma bisa ‘ich’ saja, mana mungkin dia meloloskan visaku? Oh,,, harusnya tadi aku bilang Ich liebe dich (I love you) saja, pasti tak hanya visa yang ditolak, tapi aku kemungkinan digotong security lalu dilemparkan ke tengah-tengah bundaran HI. Ihhhh lebay… 😀

Aku bercerita pada Robert, dia menyemangatiku dan percaya bahwa dia melihat diriku sudah ada di Jerman. Oh Robert baik sekali. Sepulang dari keputus-asaanku mengurus Visa di Kedubes, Robert memasakkan masakan daging khas Swedia, Beef Stroganoff, yang dimakan dengan Mustard Prancis.

Beef Stroganoff

Photo yang aku ambil dari Beef Stroganoff yang dibuat Robert terselip entah kemana. Foto diatas, bukanlah buatan Robert saat di rumahnya (buatan Robert jauh lebih artistik dan menggugah selera). Beef Stroganoff diatas adalah photo yang aku ambil saat di Swedia tahun 2014. Memang benar kata Robert, rendangnya Swedia ini, adalah makanan populer di Swedia sana. Aku bisa dengan mudah menemukannya di mana-mana.

Robert bercerita tentang kisah cintanya dan istrinya. Mereka bertemu di Paris tahun 2000, lalu menikah di Thailand. Selang beberapa tahun setelah menikah, istrinya wafat. Robert terlihat sedih dan selalu menyalahkan dirinya sendiri.

“Mungkin kalau aku bukan perokok berat, istriku tak akan jadi perokok pasif dan menderita kanker paru-paru karena aku”

Tapi yang namanya takdir kematian, tak ada yang bisa merubahnya. Dia telah berpulang, tenang di sana. Aku meyakinkan Robert bahwa itu bukan salahnya. Robert kini menjadi donatur tetap yayasan anti kanker dan giat sebagai penyumbang anak-anak serta wanita yang menderita kanker, khususnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Aku menginap di tempat Robert selama 2 hari, lalu aku masih punya sisa hari untuk jalan-jalan sebelum tanggal pulang (sebenarnya cuma satu hari saja) hehe. Aku menginap di rumah saudara Agus. Mereka yang sudah beberapa kali kutemui di Batu itu terlihat senang sekali aku di sana. Ditengah kesibukan mereka bekerja, aku masih merasa menjadi tamu yang sangat disambut dan dimuliakan kedatangannya. Kakak ipar Agus yang mengantar kepulanganku ke stasiun saat itu. Aku juga harus berterima kasih pada mereka. 🙂

Sepulangnya dari Jakarta, aku cerita pada ibu tentang wawancara di kedubes yang semrawut itu. Kata beliau, “Percaya saja. Apa-apa yang telah tertakdir untukmu, pasti jadi milikmu, yang tidak, meski kau telah berusaha meraihnya, tak akan kembali padamu. Lihatlah, Tuhan telah memudahkan semua urusan Indra, tak ada yang sulit bagi-Nya untuk membuat kedubes meloloskanmu.”

Memang benar, aku dapat visa itu. Tapi, masih ada satu kisah seru penutup dari cerita ini, yang membuat aku selalu percaya keajaiban takdir. Detik-detik diloloskannya Visa ke Jerman. Bagaimana kisah selanjutnya?

Bersambung…..
Part 6 (Akhir): Jawaban Dari Kegalauan

Viele Grüße

13 Comments

  1. Bener2 serba keberuntungan Mbak. Ini yg namanya takdir ya? segala niat dan upaya kadang tak dapat kita pastikan hasilnya. Karena Allahlah sang penetunya. Hihihi, geli deh katroknya, pengalaman yg ngak mungkin terlupa ya mbak

  2. Percaya setelah berusaha maksimal tentunya. Orang yang berusaha maksimal lalu pasrah akan hasilnya ternyata diberikan ganjaran yang terbaik.

  3. yg masih saya ingat dari bhs jerman hanya ich liebe dich, auf wieder sehen sama tchus hahaha… pengalaman yg sangat berharga dan pastinya tdk akan dilupakan ya….

  4. Halo mbak 🙂
    Salam kenal, terimakasih tulisannya sangat bermanfaat dan inspiratif untuk saya yang sedang mencari informasi tentang au-pair. Kalau boleh, saya mau minta kontaknya untuk tanya2 seputar au-pair, mbak. Terimakasih 🙂

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


x

Related Posts

Panduan Menulis Motlet dan CV untuk Apply Visa FSJ/BFD ke Jerman
Program FSJ (Freiwilliges Soziales Jahr) dan BFD (Bundesfreiwilligendienst) di Jerman adalah bentuk layanan sukarela di Jerman yang ditujukan unt...
Info Lengkap Tentang Oportunity Card atau Chancekarte ke Jerman
Kesempatan terbaru untuk tinggal dan bekerja di Jerman melalui Opportunity Card atau Chancenkarte merupakan bagian dari upaya Jerman untuk menari...
Contoh Motivation Letter Yang SUKSES Apply Visa Au Pair di Kedubes Jerman
Tentang panduan membuat motivation letter dan CV sebagai syarat mengajukan Visa di kedubes Jerman, silakan dibaca dulu di artikel ini: Panduan Me...
powered by RelatedPosts
Ada yang ingin ditanyakan?