Kita tak pernah tahu dari mana dan dari siapa kita akan belajar, oleh karenanya hargai pendapat orang lain, siapapun itu. Di negara maju seperti Jerman, hak asasi dan pendapat orang lain sangat dihargai. Tanpa terkecuali, termasuk pendapat anak kecil juga.

Saat kecil dulu, aku sering bertanya-tanya dan tak pernah menemukan jawaban dari apa yang aku tanyakan. Misalnya: kenapa perut ibu jadi buncit? Loh, kok tiba-tiba ada adik bayi lahir? Dari mana? Kenapa perut ibu kempes kembali? Tiap kali aku bertanya, tiap kali itu pula orang-orang dewasa di sekitarku, seperti paman, bibi, dan nenek bilang, “Bocah ijo bau kencur, jangan tanya kayak gitu! Pamali! Kurang ajar! Nggak sopan!”

Sebagai anak normal, aku sering kecewa dan sakit hati karena layaknya semua anak di dunia ini, aku juga punya rasa ingin tahu yang mendalam dan tak terbendung. Sehingga apa akibatnya? Saat aku mulai bisa membaca,  aku sering mencuri novel-novel dewasa milik bibi dan membacanya.

Pernah suatu kali saat aku masih kelas satu SD, salah satu teman laki-laki yang juga masih bocah, malah umurnya masih 4 tahun saat itu, mengajakku, dan dua anak lainnya (cewek cowok), bertelanjang ria, lalu bermain tumpang tindih secara bergantian di sebuah gang sempit di kampung kami. Kami sama sekali nggak ada ide permainan apa itu, yang jelas, teman kami itu bilang, bapak ibunya sering bermain seperti itu.

Memprihatinkan sekali bahwa (mungkin sampai sekarang), para orang tua masih menganggap anak-anak mereka kecil, tak tahu apa-apa. Justru karena mereka tak apa-apa, asupilah pengetahuan yang baik dengan membangun mental mereka agar tumbuh jadi anak yang berwawasan luas. Kita tidak harus menjelaskan blak-blakan tentang pertanyaan yang mengacu menjurus ke seksualitas, tapi kita bisa memperhalusnya tanpa harus berbohong. Bukannya malah dibantai dengan bilang, “Bocah bau kencur!”. Dari situ, dulu kalau aku ingin bicara sesuatu, aku sering berpakaian, pakaian nenek agar terlihat lebih dewasa, dan agar orang-orang mendengarkanku. Efek yang ditimbulkan pendidikan penjatuhan mental seperti itu juga terasa sampai sekarang. Akibatnya, orang-orang Indonesia sering tidak PD berbicara di depan orang dari negara maju, merasa minder, takut salah omong, takut diketawakan, dicaci, dibully, dan lain sebagainya.

Berbeda dengan di Jerman. Anak-anak Jerman cenderung berani mengemukakan pendapat dan para orang tua tidak pernah menghakimi mereka dengan bilang, “Shhhhh ini tabu! Kurang ajar!”. Pernah suatu kali di sebuah restoran, yang terdapat patung dewa neptunus telanjang, seorang anak kecil kudengar berkata keras-keras, “Lihat deh, ada patung pria telanjang, apakah ini hari telanjang, mama?”Menanggapi hal itu, keluarga yang duduk di meja tersebut malah tertawa dan menciumi anaknya. Aku membayangkan kalau aku yang berkata saat itu, pasti udah ditampar sama nenek.

Aku bahkan sempat terharu sekali menyaksikan betapa orang Jerman benar-benar memanusiakan anak. Anak-anak itu tidak bodoh, bahkan mereka lebih cerdas dari kita, daya tangkap dan pikir mereka melebihi kemampuan orang dewasa. Bahkan sampai usia 13 tahun, seorang anak masih dalam tahap golden age untuk belajar sebuah bahasa, sehingga apapun yang ditangkap otak, akan langsung kecantol di sana. Masing-masing anak juga punya hukum dan undang-undang yang melindunginya. Kalau anak gadis tidak mau dikuncir rambutnya atau tidak mau disentuh pipi dan bagian tubuh lainnya, para orang dewasa akan menerima dan meminta maaf karena membuat mereka sudah merasa tidak nyaman. Orang tua bahkan tidak bisa memaksa keputusan anak.

Suatu kali, aku pernah sharing sama orang Indonesia yang mengajar TK di Jerman. Dia bilang, “Anak-anak di sini lebih kreatif karena tidak ada batasan untuk berkreasi. Untuk menggambar pun, kita dulu selalu diberi contoh, seperti menggambar dua gunung, lalu anak sungai dan sawah-sawah. Kalau di Jerman, para guru TK membiarkan saja anak-anak tersebut menggambar sesuai apa yang mereka inginkan. Ada yang mewarnai buku gambarnya dengan bola-bola hitam kelam tanpa bentuk yang jelas, ada juga yang mewarnai dedaunan dengan warna pink atau bahkan hitam. Saat aku bilang kepada anak itu supaya mewarnai daun-daun itu dengan warna hijau, anak tersebut ngeyel dan aku malah ditegur oleh guru TK lain katanya, biarkan saja, jangan membatasi atau mengatur kreatifitasnya seperti itu, nanti malah tidak bisa berkembang! Lantas anak tersebut menegurku dan bilang, bukankah di musim gugur, daun-daun bukan berwarna hijau saja?. Dari situlah aku sadar dan belajar dari anak TK, yang bahkan jauh lebih kreatif daripada gurunya sendiri.”

Karena aku sempat tinggal di sebuah keluarga Jerman, aku jadi paham betul dan membandingkan bagaimana para orang tua memperlakukan serta mendidik anak-anak mereka. Contohnya, seorang ibu yang mengetahui kehamilannya, akan memberitahukan kepada anak-anak mereka bahwa mereka akan mempunyai anggota keluarga baru. Cara memberitahukannya juga unik, seperti diberi hadiah, kaos yang bertuliskan: Selamat, kamu akan jadi kakak! atau saat diajak makan malam, dsb. Anak-anak adalah anggota keluarga, sehingga apapun yang terjadi di sebuah keluarga, mereka juga berhak tahu. Anak-anak akan merasa dihargai dan disayangi serta dianggap. Saat aku kecil, tak terhitung banyaknya orang berkata bahwa aku ini gadis brutal yang bandelnya setengah mati. Para guru pun menyerah menghadapiku. Tapi tak sadarkah mereka mengapa anak-anank didik mereka menjadi nakal?. Semua anak-anak butuh disayangi dan diperhatikan. Kurangnya perhatian orang tua dan saudara padaku membuatku mencari perhatian dengan membuat kenakalan dan kekacauan di rumah maupun di sekolah.

Di Jerman, saat seorang anak, yang bahkan masih belum bisa berceloteh dengan sempurna, kalau dia ingin bicara sesuatu (misalnya di sebuah meja makan besar bersama keluarga besar yang sedang berkumpul), semuanya akan hening mendengarkan mereka bicara, dan menanggapinya dengan serius, bukan hanya berpikir, alah anak-anak tahu apa.

Contohnya, kakak dari temanku memutuskan untuk pindah perusahaan. Saat aku bertemu dengannya di sebuah restoran, dia bersama anaknya yang berusia 3 tahun. Saat kami ngobrol, anaknya sering menyela dengan bertanya, “Papa bilang apa sih?”.

Menanggapi pertanyaan anak itu, dia menjelaskan ulang apa yang dijelaskan kepada kami, dengan berkata, “Papa cerita kepada tante Indra bahwa papa pindah kerja.”.

Lalu anak itu bertanya, “Kenapa?”.

Dijawabnya seperti ini, “Iya karena diperusahaan baru, papa mendapat uang lebih banyak dari pada perusahaan sebelumnya, dan berbagai tunjangan,,,,” . Bayangkan, seorang anak umur 3 tahun dihargai dengan diajak berdiskusi masalah keuangan, pekerjaan.

Meskipun anaknya tak begitu menanggapi, bahkan dia mendengarkan sambil memainkan sendok dan piringnya, tapi pria tersebut menjelaskan dengan detail.

Lalu dia berkata kepada kami, “Padahal aku sudah cerita kepadanya lebih dari 5 kali, loh!”.

Kami pun tertawa, dalam hati aku salut sama kakak temanku ini atas penghargaannya kepada anaknya. Bisa saja, dia berkata, “Ya ampun, kemarin kan papa sudah cerita! Ah, tahu apa kamu anak kecil! Ini urusan orang tua!”

Mengapa orang Indonesia yang sebenarnya pandai dan berbakat kalah bersaing dengan orang barat? Karena mereka tak terlalu PD untuk mengemukakan pendapatnya, apalagi di depan orang yang dianggapnya lebih pandai atau orang tua, pejabat, aparat yang disanjung dan dielu-elukan. Di Jerman, tak ada pejabat yang terlalu dipuja, bahkan orang nomor satu di Jerman, perdana menterinya, tak pernah luput dari berita parodi yang mengolok-oloknya. Apalagi pejabat korup, pejabat yang tak sengaja korup saja (lupa bayar pajak) tanpa tedeng aling akan diproses dan dijebloskan ke dalam penjara, serta hartanya akan disita, tak peduli seberapa besar pengaruhnya terhadap negara atau bahkan dunia, kalau dia salah dan tidak jujur, tak akan pernah luput dari hukuman.

Di Jerman, tak ada pertanyaan yang bodoh untuk ditanyakan, kalau tidak mengerti, anak-anak akan bertanya, sekalipun itu pertanyaan yang aneh dan tidak masuk akal. Tak akan ada yang menertawakan mereka. Oleh sebab itu, anak Jerman kalau sudah dewasa akan terbiasa bebas mengemukakan pendapatnya tanpa adanya tekanan dari orang lain dan tak khawatir dicemooh, mereka juga tak malu kalau ternyata pertanyaannya itu sudah terjawab. Mereka akan biasa saja bilang, “Oh, berarti aku kelewatan tadi. Ya sudah!”

Hargailah pendapat anak-anak. Jangan bungkam mereka dengan mengatakan, “Anak kecil tau apa!”. Mereka memang belum tahu apa-apa, jadi tugas kitalah yang memberi informasi dengan benar agar keingin tahuan mereka terpenuhi dan tidak mencari-cari kesempatan terlarang seperti diriku dulu.

Viele Grüße

Comments

  1. Anak kecil juga manusia, dan setiap orang harus di hargai saat dia berpendapat, itu sudah di atur dalam kontitusi kita yakni uud bahwa setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya di muka umum. Mungkin para orang tua di luar sana menganggap anak kecil hanyalah seprang anak kecil yg cuman bertanya layaknya anak yg polos, tapi itu salah kenapa, pada masa inilah klimaksnya tumbuh kembang anak dalam berfikir.

  2. apa yang dilakukan pada orang lain termasuk pada anak kecil itu akan terjadi pada diri kita. kalau kita menghargai orang lain maka kita akan dihargai oleh orang lain. jadi mari kita membiasakandiri untuk menghargai orang lain sekalipun dia anak kecil.

  3. Girin, ini aku share ke fb ku ya..

    Pengalaman nih, anakku kan suka coret2 di papan tulis magnet. Namanya juga anak belum 2 tahun, jadi pasti gambarnya bolah ruwet. Tapi selalu tak tanya "gambar opo iku le?" Dia bakal jawab kelici, bintang, bulan, mobil, dsb. Terus orang2 bakal bilang "masak kelinci gitu?" Dan aku sewot "jarno tah"

    Yang paling sebel itu kalo orang nyalahin anakku gara2: tangan diemut (anakku lagi fase oral), ngapa2in pake tangan kiri (I'm okay with that selama dia makan dengan tangan kanan. Kan sunnahnya makan dengan tangan kanan

  4. Iya, dikit-dikit disalahkan, dikit-dikit nggak boleh, diprotes, jangan ini, kok begini, kok begitu, Biarin saja. Kelinci kan dalam imajinasi anak-anak berbeda, lukisan mahal karya seniman Italia yang menurut kita tak berbentuk, juga menjadi karya besar&fenomenal. Hakikatnya, semua orang, bukan hanya anak kecil, kalau dihargai dan dipuji, mereka akan terdorong dan makin kreatif, lalu tumbuh berkembang, sebaliknya kalau dibantai, diejek, dan nggak dihargai, kreatifitasnya akan mati.

  5. jadi ingat, mbak…
    sex education yang saya dapat justru dari lingkungan, teman saya yang bercerita tentang pengalaman sex orang yang dia lihat… bahkan saya tahu pasangan setelah menikah memiliki "malam pertama" dari telenovela/sinetron dan teman-teman (saat itu saya kelas 2-4 SD)
    yang setelah itu saya dapatkan dari buku kamasutra milik orang tua… beruntung saat itu saya tidak ada rasa penasaran untuk mencobanya, skrg (22th) pendidikan seks yg saya miliki lebih banyak dari orang biasa, atau mungkin lebih banyak dari orang tua saya, karena saya sering membaca literatur, artikel, buku2, dan membandingkannya dengan norma masyarakat dan agama.
    saya sama sekali tidak pernah tanya ke orang tua, karena tidak pernah mendapatkan jawaban yang puas. orang tua di indonesia kebanyakan mengalihkan jawaban atau bahkan menghiraukan pertanyaan spele dari anaknya hanya karena menganggap mereka masih kecil.
    ibu saya terkejut ketika saya SMA dan saya tahu bahwa ada hubungaan suami istri yang dapat menimbulkan kehamilan. kenapa harus terkejut? bagi saya sudah sewajarnya remaja apalagi setelah mereka memasuki masa pubertas untuk mendapatkan pendidikan seks, sehingga mereka bisa lebih terkontrol… justru jika disembunyikan, akan semakin penasaran… lebih baik diberi tau dan diberi batasan, sehingga mereka mengerti mana yang boleh dilakukan mana yg tidak…

    jangankan pendidikan seks, hal spele saja anak kecil tidak mendapatkan hak untuk berbicara, bahkan sampai dewasa. contohnya di keluarga saya. jika saya berpendapat tentang sesuatu, orang tua saya selalu mengatakan "kamu jangan ikut campur, ini urusan orang tua"… orang tua saya yang seperti itu membuat saya dan adik2 saya berubah menjadi orang yang tidak mempedulikan orang lain. "urusan saya, urusan saya… urusan kamu, urusan kamu", saya cenderung tidak peduli dengan pilihan orang tua saya kecuali jika itu berhubungan dengan saya…

    namun saya tidak dapat berbuat apa2, itu sudah menjadi budaya orang tua indonesia, saya pikir saya akan memperlakukan anak saya suatu saat nanti dengan cara lain, yang tidak akan dilakukan orang tua saya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *