Pertanyaan yang paling banyak ditanyakan oleh teman-teman di Indonesia adalah: “Eh, jam berapa sekarang di Jerman? Selisih berapa jam sih Indonesia Jerman?”

Pada awalnya aku menjawab dengan mantap. Oh selisihnya 6 jam (dengan WIB). Tapi sekarang, aku harus berpikir dulu, “Ini musim apa? Dingin atau panas? Kalau musim panas berarti selisihnya 5 jam, kalau musim dingin berarti 6 jam di WIB!”. Loh kok?

Kalian yang sudah tinggal di Eropa pasti sudah tak asing dengan perubahan jam menjelang musim dingin dan musim panas. Jadi, setiap sabtu terakhir di bulan Maret, secara serentak di seluruh penjuru Eropa (kecuali Turki yang sejak beberapa tahun yang lalu nggak mau lagi merubah-rubah jam), pemerintah memajukan jam pada pukul 02.00 dini hari menjadi 03.00 (satu jam lebih cepat), sehingga pada hari sabtu malam di akhir bulan Maret, jam tidur kita akan berkurang satu jam karena jam 2 tidak ada, begitu jam 02 tet, pemerintah langsung merubahnya menjadi jam 3.

Kemudian, di Sabtu akhir bulan Oktober, memasuki musim dingin, jam tersebut akan dimundurkan (dikembalikan lagi), juga pukul 2. Sehingga pada hari tersebut, saat jam 3 malam, pemerintah memundurkan jam secara serentak menjadi pukul 2 lagi, dan jam tidur kita lebih lama 1 jam.

Ribet sekali ya? Betul. Pada awalnya aku juga kaget. Heh? Kenapa seperti itu? Biarin aja kenapa sih? Kan jadi ribet muter-muter jam kitanya. Kita nggak perlu muter-muter jam kok. Jam elektronik seperti jam digital di hp akan berubah secara otomatis. Tapi jam di rumah yang manual, kita masih harus merubahnya. Tuh kan, ribet!

Mengapa pemerintah melakukan hal ini?

Pertanyaan yang selalu aku tanyakan yang ternyata, eh ternyata banyak sekali orang Jerman nggak tau juga mengapa, mereka juga banyak yang nggak habis pikir dan mungkin malas juga karena ribet jam nya berganti-ganti.

1. Efisiensi Energi Listrik

Jerman di bawah pimpinan kaisar Wilhelm II pada tahun 1916 merupakan negara pertama di Eropa yang mencanangkan perubahan jam ini (Zeitumstellung atau Zeitverschiebung namanya) yang 3 minggu kemudian diikuti oleh Britania Raya dan Irlandia. Sebenarnya negara-negara ini telah memikirkan perubahan ini sejak Benjamin Franklin menulis kritiknya tentang penghematan energi listrik pada musim panas di Journal de Paris pada tanggal 26. April 1784, judul yang ditulisnya: An Economical Project for Diminishing the Cost of Light. Pemikiran tersebut membutuhkan waktu sampai ratusan tahun hingga Eropa benar-benar memikirkan borosnya energi yang dihabiskan saat musim panas. (sumber: Zeitumstellung).

Jadi, di musim panas, matahari bersinar lebih lama di Eropa. Matahari terbit sekitar pukul 03 dini hari dan tenggelam pada pukul 22.00. Bayangkan, semakin ke utara, matahari malah bersinar lebih lama lagi. Di salah satu bagian Norwegia yang paling utara contohnya, malam hanya terjadi 2 jam saja, matahari terbit pukul 2 dini hari dan tenggelam pukul 12 malam. Jadi sepanjang hari terang benderang. Bayangkan umat muslim di sana kalau ramadhan bertepatan dengan musim panas, mereka bisa puasa 22 jam lamanya.  Sebaliknya di musim dingin, matahari bisa tidak terbit sama sekali alias gelap gulita sepanjang hari.

Lalu apa hubungannya dengan penghematan tenaga listrik?

Jadi begini. Anggap saja orang-orang tidur pukul 22.00, dan saat itu matahari baru saja tenggelam, karena di luar sudah mulai gelap, dan rata-rata orang Eropa tidur dalam keadaan kamar gelap gulita, mereka nggak perlu menghidupkan lampu. Kalau mereka bangun pukul 6 pagi, di mana matahari sudah terbit pukul 3 dini hari, di luar sudah terang benderang, mereka jadi tak perlu menghidupkan lampu lagi.

Kalau jam tersebut tetap mengikuti jam musim dingin (waktu normal), matahari akan tenggelam pukul 21.00, begitu di luar gelap, orang-orang akan menyalakan lampu (pukul 21.00). Menjelang tidur (anggap saja tidur pukul 22.00), dari pukul 21.00 ke pukul 22.00 tersebut, orang-orang di seluruh penjuru Eropa menghabiskan 1 jam energi listrik untuk persiapan ke tempat tidur (ganti baju, gosok gigi ke kamar mandi, dsb). Satu jam tersebut yang menjadi pertimbangan pemborosan energi. Itu kalau orang-orang tidur pukul 22.00, kalau mereka tidur pukul 24.00, lebih boros lagi karena listrik dinyalakan lebih lama setelah matahari tenggelam.

Waktu normal Eropa sebenarnya adalah waktu musim dingin (winter time) di mana, matahari hanya terbit beberapa jam saja (kadang malah tidak terbit sama sekali), yang membuat orang-orang harus menyalakan lampu lebih lama. Karena pemerintah memikirkan efisiensi energi, menjelang musim panas, waktu tersebut dirubah agar orang-orang hanya menghidupkan lampu beberapa jam saja. Waktu normal itu hanya berlangsung sekitar 5 bulan dalam setahun dan waktu musim panas, berlangsung 7 bulan dalam setahun. Dengan demikian, penghematan energi listrik berlangsung lebih lama.

2. Waktu luang dan pemanfaatan energi matahari

Pertimbangan akan waktu luang untuk para pekerja dan pelajar juga menjadi salah satu ide dari perubahan waktu musim panas ini. Kalau para pekerja pulang kerja pukul 16.00, mereka masih bisa melakukan aktifitas lain sepulang kerja, misalnya bersepeda, jalan-jalan santai, menikmati keindahan alam dan matahari hingga matahari tenggelam pukul 22.00 (masih ada 6 jam waktu bersenang-senang menikmati cerahnya matahari setelah bekerja). Begitu pula orang yang bekerja di discounter (semacam supermarket) yang pulang pukul 20.00, mereka masih punya waktu 2 jam untuk bersantai. Meskipun di Hamburg, ada juga discounter yang buka sampai pukul 22.00 atau 23.00, tapi mereka bekerja secara shift, yang artinya, pagi hari, mereka bisa menikmati matahari sebelum bekerja. Di Bayern, semua toko dan discounter wajib tutup pukul 20.00.

Orang Jerman, seperti kebanyakan orang Eropa lainnya, sangat senang menikmati matahari. Pokoknya begitu matahari keluar, hari cerah dan panas, mereka akan berbondong-bondong keluar, menikmati Es krim, berjemur, berolah raga, berenang, atau sekedar jalan-jalan santai. Mengapa? Karena tidak seperti di Indonesia, matahari di Eropa bisa dibilang jarang banget muncul. Di musim panas saja, bisa turun Hagel (hujan es).

Di musim panas, kita akan melihat betapa orang-orang sangat riang gembira, lebih ramah dan suka tersenyum ketimbang di musim dingin. Karena mereka mendapat asupan matahari yang cukup. Mengapa? karena tubuh kita ini memproduksi vitamin D, namun vitamin tersebut akan terproduksi jika kita mendapat sinar matahari yang cukup. Sedangkan di musim dingin, kita jarang sekali mendapatkan sinar matahari. Vitamin D3 ini akan menghasilkan zat yang dinamakan serotonin, yang akan dikirim ke otak kita untuk membantu menjaga suasana hati. Nah, kalau cahaya matahari kurang, vitamin D yang diproduksi juga kurang, maka zat serotonin yang dikirimkan ke otak juga kurang. Oleh sebab itu, di musim dingin, orang-orang bawaanya cemberut, bad mood mulu. Tapi di musim panas, waahh sumringah.

Baca juga: 10 Gejala Winter Depressi

Jadi bagi kalian yang punya teman tinggal di Jerman, harap tidak tanya-tanya lagi selisih berapa jam atau jam berapa sekarang di Jerman. Lihat jam dan lihat kalender!!!! Minggu terakhir bulan Maret sampai Sabtu akhir bulan Oktober: Selisih 5 jam dari Indonesia Bagian Barat, 6 jam dari Indonesia tengah , dan 7 jam dari Indonesia timur!!!. Begitupun dari Oktober minggu terakhir, sampai Maret Sabtu terakhir, selisihnya tinggal ditambah satu jam!

Nah, semoga penjelasan tentang Zeitumstellung, tentang perubahan waktu pada musim panas dan dingin ini menambah pengetahuan kita tentang Jerman. Di negara berbahasa Inggris, summer time ini identik dengan nama ‘Daylight Saving Time’.

Sampai bertemu di topik menarik selanjutnya….

Viele Grüße

Comments

  1. Wah gitu ya.. baru tau alasannya.. lebih ke penghematan energi ya.. ??

    Di Indonesia kurang menghargai sinar matahari udah biasa soalnya. Bahkan marah marah kalo kepanasan eh apa sih…

  2. Saya tidak sepakat dengan peraturan yg demikian, kenapa ? Bukannya saya mau menyinggung masalah agama, tapi kasihan orang yg beragama islam, mereka jadi bingung saat mau sholat.

  3. Waaah aku kok kebalikannya ya kak xD
    kalau panas tuh bawaannya lesu, kerutan di dahi, terus pinginnya main/ngeluyur aja (gak kuliah/gak semangat belajar maksdunya). Beda kalo Malang mendung, awan pekat hitam, angin kencang, bahkan hujan gitu. Aih senangnya hati ini wkwkkw xD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *