Mimpi Ke Jerman: Aku, Kutu, dan Sahabatku

Banyak sekali kuterima email masuk, baik itu lewat fb, instagram, maupun gmail, hanya sekedar mengucapkan terima kasih karena aku telah menulis perjalananku sebelum ke Jerman, yang berawal dari patah hati. Aku percaya, sakit yang tak membunuhku, akan menjadikanku lebih kuat.  Kupikir, para pembaca blogku suka akan kisah-kisah lucu, jadi kini kupikir, tak ada salahnya, aku berbagi kisah-kisah inspiratif lain, yang bisa jadi konyol, tak masuk akal, dariku, dari teman-teman di Jerman dan dari orang-orang yang aku temui di Jerman, yang mungkin bisa jadi inspirasi para pembaca untuk terus menggapai mimpi, apapun kadaannya, apapun keterbatasannya, semua tak ada yang tak mungkin, kalau kami bisa, kalian pun juga!. Mari namai proyek kisah ini: Frische Luft (Baca: frisye luft), yang dalam Bahasa Indonesia artinya, udara segar. Semoga kisah-kisah ini bisa menjadi seperti udara yang menyegarkan dan mencerahkan hati.

Kumulai dari kisah salah satu sahabatku, sahabat baikku, yang tak pernah berhenti menginspirasiku, dia adalah orang Indonesia pertama yang aku temui di Jerman. Sebut saja namanya Yola.

Aku tak akan melupakan pertemuan pertama kami, di depan sebuah stand roti di dalam stasiun Marienplatz, München. Seorang gadis Jawa yang bisa kalau kuamati lagi, mirip denganku. Hanya saja, dia dua tingkat lebih cantik dariku. Kulitnya bersih, hidungnya mancung, giginya sama berantakannya denganku, jidatnya sama lebarnya dengan jidatku, rambutnya (kalau rambutku tak kuluruskan), sama bergelombang dan tak tentu arahnya dengan rambutku. Hanya saja, aku tak mempunnyai bekas luka di bagian alis kanan seperti punyanya. Tapi justru tanda itu membuatnya lebih cantik dan tegas. Perawakannya kecil, mungkin 7 centi lebih pendek dariku. Dia kurus kering, persis sama denganku, hanya saja, dari jam tangan yang dikenakannya, aku melihat tulang dia lebih besar, sehingga dia tampak lebih gemukan. Sedangkan aku selalu terlihat seperti tengkorak terbungkus kulit berjalan. Tak heran, kalau saat kelas 5 SD, teman-teman usil memanggilku tengkorak hidup.

Yola sudah menantiku di depan stand roti, yang kiosnya didominasi warna kuning itu. Busyet, tepat waktu amat, pikirku, dia bukan orang Indonesia lagi rupanya. 😀

“Yola!” sambutnya seraya mengulurkan tangannya. Mukanya sedikit kaku, aku berpikir mungkin dia agak marah, karena aku terlambat 5 menit. Tak diketahuinya bahwa aku mati-matian mengejar bus, deg deg an saat naik kereta bawah tanah, takut kebablasan. Di Malang kan tak ada kereta bawah tanah, jauh lebih baik kalau ada ojek, pikirku, sehingga, aku tak perlu kebingungan naik turun eskalator dan mengecek jadwal di app. Semua kecanggihan Jerman kala itu malah membuatku pusing.

“Panggil saja aku Indra! Kamu dari Jawa Timur kan? Di mananya? Wah, asiik, akhirnya setelah satu bulan di Jerman, aku bisa ngobrol pakai bahasa Jawa lagi!” kataku berbinar-binar seolah menemukan harta karun. Aku bahagia sekali akhirnya dapat teman, orang Indonesia di München.

Aku kenal Yola dari facebook. Thanks Mark Zuckenberg!. Salah seorang teman kuliahku ada yang kenal pacarnya Yola. Ketika temanku itu tahu aku terbang ke München, dia ngasih link pertemanan dengan Yola di facebook Thanks teman kuliahku (aku lupa namanya: jahatnya aku). Saat itu, Yola sudah 4 bulan tinggal di München, sedangkan aku baru beberapa minggu.Yola tak terlihat sangat antusias bertemu denganku, juga tak terlihat tak antusias. Baginya mungkin sudah biasa bertemu orang Indonesia. Berbeda denganku yang saat itu sudah menanti-nanti untuk bertemu dengannya.

“Maaf ya, aku lebih suka ngomong pakai bahasa Indonesia. Lagi pula, meskipun aku tinggal di Mojokerto, di keluargaku, kami dibiasakan ngobrol pakai Bahasa Indonesia, kok!” jawabnya sedikit kethus.

Aku menggaruk kepalaku yang agak gatal. Selain untuk menyembunyikan rasa canggung akan kesuka riaanku untuk bicara bahasa Jawa ditolak, rambutku memang gatal saat itu. Rupanya kutu-kutu keponakanku kubawa sampai ke Jerman. (tak bohong! Aku berkutu saat sudah ada di Jerman, padahal sudah sekian lama aku tak punya kutu). Harapanku, ketemu Yola saat itu, juga untuk menemukan Peditox atau sekedar serit (sisir dengan gerigi rapat) untuk menyerit kutu agar keluar dari kepalaku ini. Tapi melihat Yola yang terkesan judes itu, aku mengurungkan niat. Aku malu setengah mati kalau dia sampai tahu aku punya kutu. Ya elah, jauh-jauh ke Jerman, kutu orang ndeso dibawa juga.

Aku tersnyum kecut dan mengikuti langkahnya keluar stasiun Marienplatz. Aku bingung harus ngomong apa. Kami menelusuri kawasan pertokoan yang penuh dengan pejalan kaki. Hari itu hari Sabtu, semua toko masih buka. Aku menerawang kawasan pejalan kaki itu sambil melihat-lihat apakah ada Apotik yang menjual peditox, atau sekedar toko peralatan kecantikan yang menjual serit.

“Kita windows shopping, aja ya, Mbak! Eh, bener kan, aku panggil kamu ‘mbak’ kamu kan seumuran sama temennya Mas Rama?”

Seketika aku tahu kalau nama pacarnya adalah Rama. Meskipun aku lebih suka dipanggil nama, kuiyakan saja dia memanggilku dengan sebutan mbak. Dalam hati aku menggerutu, “Katanya nggak mau ‘boso jowoan’, kenapa nggak memanggilku ‘kakak’, kenapa ‘mbak’, ah, dasar cewek aneh!”

“Memangnya kamu umur berapa?” tanyaku basa-basi. Sebenarnya aku tak tertarik juga untuk tahu dia umur berapa. Aku hanya tak ingin kita berjalan di dalam dingin dengan diam, paling tidak, kalau sedikit ngobrol akan keluar uap hangat dari mulut untuk menghangatkan wajahku, sekaligus membayangkan seperti di film-film hoolywood, di mana banyak orang bercakap-cakap dalam dingin dan kelihatan uap seperti merokok. Bagiku, itu keren. Aku memang aneh, tapi yah memang seperti itulah diriku dan imajinasi konyol yang kadang hinggap di kepalaku.

“Empat bulan lagi 18. Aku baru lulus SMA, mbak. Trus langsung ke sini.”

Aku terhenyak. Masih Bocah! Ya ampun. Dia bahkan lebih muda dari adikku yang terpaut 5 tahun dariku. Dia baru lulus SMA. Kepalaku seketika seperti terkena palu. Beberapa menit yang lalu, aku sempat membencinya, kini kebalikannya, meskipun aku tetap membencinya karena tak ingin ngomong pakai bahasa Jawa, rasa kagum pada anak ini tumbuh perlahan.

Tujuh belas tahun. Masih tujuh belas tahun. Kugali kenanganku kembali masa-masa di mana aku masih berumur 17 tahun, itu sudah 8 tahun yang lalu. Saat itu, aku masih sibuk merengek-rengek minta pacarku kembali, setiap hari menangis tak jelas karena ternyata si dia memilih adik OSIS yang lebih cantik. Di umur 17, setelah lulus SMA, jangankan berani ke Jerman, ke Malang yang jaraknya cuma 23 km dari Batu saja sudah terasa amat jauh. Di umur 17 tahun, aku masih selalu keluyuran tak jelas dengan Agus, Arfi, dan Chrisant. Tiap hari makan di cafe Payung, maen ke pemandian air panas cangar, menjala udang dan ngrujak mangga 60 cabe sampai menjerit-jerit menangis kepedesan. Jangankan berani ke Jerman, pulang dari rumah Agus yang jaraknya tak kurang dari 10 km aja minta diantar.

Sebenarnya, Yola tak terlihat lebih tua dari umurnya. Mungkin aku mengira dia lebih tua, karena riasan lipgloss yang gemerlapan di bibirnya, membuatku berpikir dia wanita dewasa yang suka berdandan. Sedangkan diriku yang kucel itu, hanya pakai bedak wardah, tanpa pelembab, tanpa lipstik apalagi lipgloss blink-blink. Ah, dia kan remaja pada umumnya, wajar saja remaja pakai lipgloss, bukan? Dan sedikit berdandan? Aku saja, yang tua tapi tak tahu umur, bukannya berdandan, malah kucel, berkutu pula.

“Kamu berani sekali, baru juga lulus SMA, sudah di Jerman.”

Yola tersenyum. Dia rupanya suka kupuji. Kita akhirnya masuk ke New Yorker. Sambil melihat-lihat baju, dia akhirnya sedikit terbuka padaku. Ceritanya, dia memang sudah tertarik dengan Jerman, bahkan semenjak masuk SMA. Guru bahasa Jermannya di Indonesia, yang dulu juga Au Pair di Jerman, merekomendasikannya untuk datang ke Jerman dan tinggal di family yang sama. Dia yang sudah mempelajari Bahasa Jerman lebih dari 3 tahun, serta sering menjuarai lomba pidato atau debat dengan Bahasa Jerman itu pun terlatih untuk menggunakannya dalam keseharian. Tak heran, saat membayar kutang yang dia beli di H&M, kulihat dia cas cis cus bertanya sesuatu kepada kasir yang tak satu kata pun kutahu artinya. Dia sebenarnya tak tega meninggalkan pacarnya demi meraih mimpi ke Jerman. Mereka berdua terlihat saling menyayangi, buktinya, sehari setelah kami bertemu, si Rama nge-add aku di fb dan langsung mengirim pesan: Mbak, tolong jaga Yola yang jauh dariku ya!

So sweet banget. Dalam hati aku langsung bilang, “Emangnya aku emaknya? Kenal aja baru sehari juga, udah gitu, first impressionnya ngejengkelin! Hansip aja dibayar ngejaga kampung, nah mau dibayar apa diriku ngejaga pacar orang?”

Untungnya aku tak sejahat pikiranku. Kubalas Rama dengan smiley yang menandakan aku akan menjaga Yola. Seumur hidupku, sampai akhir hayatku. Lebay ih. Kenyataanya, beberapa bulan kemudian mereka putus karena LDR, dan persahabatanku dengan Yola masih bertahan hingga (paling tidak saat aku nulis ini: 3 Tahun lebih).

Yola…Yola…Yola… Dia adalah salah satu sahabat yang banyak memberiku pelajaran hidup. Pelajaran yang layak untuk dibagikan kepada kalian semua tentang arti mimpi dan usaha untuk meraihnya. Di usia 17 tahun, seorang gadis kecil yang diliputi ego dan ambisi datang ke Eropa demi mengejar mimpi. Keluarga broken home dan masalah datang bertubi-tubi tak membuatnya patah arang. Sebaliknya, dia malah terus berjuang dan bertahan.

Tak ada wanita yang kukenal tumbuh cepat menjadi dewasa selain Yola. Dia adalah bukti bahwa begitulah anak muda, sombong, keras kepala, kaku. Meski egonya kadang kala meletup-letup, tapi dia adalah sang Kartini yang baik hati. Tak ada satu orang Indonesia pun di München yang aku kenal baik melebihi Yola, yang selalu siap dimintai tolong. Meskipun suka ngomel dan menggerutu, tapi uluran tangannya siap menyambut siapapun yang kesusahan.

Dendam kesumatku karena gagal berbahasa Jawa, kubalas dengan menjadi sahabat terbaiknya, yang selalu memarahinya seperti adikku sendiri. Aku memang begitu, kalau awal kenal, selalu takut dan hati-hati, tapi begitu sedikit kenal, langsung mencari strategi untuk menyusup ke dalam sejarah hidup seseorang, menggali, bertukar pikiran, kadang menasehati, kadang dinasehati, kadang memarahi, kadang juga dibalas caci maki. Tapi tak ada persahabatan sejati yang terbentuk tanpa adanya badai dan tsunami. Begitu kenal Yola dan tahu seluk beluk anak ingusan itu, tak terhitung berapa kali aku memarahinya. Dia memang keras hati, tapi telinganya bukan telinga tipikal masuk dari kanan keluar ke kiri. Dia berubah. Dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Dalam rapuhnya, dia teguh.

Saat ini, Yola telah menempuh pendidikan Ausbildung, sebagai asisten doketer gigi. Dia mendapat pacar orang Jerman yang tampan dan seksi. Kalau aku harus cerita kehidupan Yola di Jerman sebelum mencapai titik ini, mungkin harus kukuras air mata dulu. Aku suka tak tega melihat gadis muda itu harus ber-payah-payah. Aku tak akan sanggup bila menjadi dirinya. Tinggal bersama orang dengan budaya dan karakter berbeda 3 tahun lamanya. Dia menderita, tapi tak pernah memperlihatkan kesusahannya. Setiap kali kita bertemu (kadang aku menginap di rumah host family nya), dia selalu dengan riang melakukan pekerjaan balas budi seperti membersihkan rumah, menyetrika, mencuci, yang semua itu tak pernah aku lakukan di rumah host family ku. Tapi dia selalu bilang, “Aku suka kok, mbak, lagian gf ku sudah membantuku untuk bisa tinggal di sini secara gratis. Apalagi yang bisa aku lakukan?”

Di rumahnya di Jawa, padahal Yola jarang melakukan pekerjaan rumah seperti itu, berbeda denganku yang sudah terbiasa mencuci di kali (sungai) dan mengangkat jemuran se-bak di kepalaku. Kalau pun aku hidup lebih susah di Jerman, bagiku, memang hidupku dari dulu seperti itu. Tapi bagi anak muda seperti Yola yang dulunya happy, keadaan 180 derajat ini adalah sebuah tantangan tersendiri.

Dari Yola, aku belajar untuk TIDAK TAKUT akan masa depan. Tak terhitung berapa kali dia kocar-kacir menata hidupnya, menata keuangannya, dia adalah anak paling boros yang pernah aku kenal. Tiap jalan, dia selalu beli ini itu, waktunya membayar sekolah, dia hutang sana sini. Tapi seperti yang sebutkan sebelumnya, begitulah anak muda. Diriku yang dulu mungkin juga lebih parah. Aku sering menghujaninya dengan nasehat-nasehat keras agar dia lebih berhemat, lebih pandai berspekulasi. Dia hidup di negara orang, harus pandai-pandai menahan diri. Dia pun (lagi-lagi) mendengarkan, mencerna, dan berubah. Yola bukan berubah menjadi sepertiku, menjadi seperti yang aku inginkan, karena sejatinya persahabatan kami syarat akan perbedaan, tapi dia berubah menjadi Yola yang lebih baik. Tetap dengan karakter tegas dan baik hatinya, cengeng dan manjanya, tapi lebih mandiri dan tegar dari Yola dengan lipgloss blink-blink yang kukenal pertama kali dulu.

Yola yang sekarang, mungkin adalah diriku saat umur 28 tahun, padahal dia masih umur 21 tahun. Pencapaiannya, kedewasaannya, cara pandangnya, semangatnya yang masih membara, mimpinya yang masih menyala. Terakhir kami bertengkar adalah saat dia mengunjungiku di Hamburg tahun lalu, saat itu, dia bilang bahwa buncis yang aku masak tidak sama dengan masakan host family nya. Aku yang sudah bersusah payah belanja dan memasak untuk dia, kontan saja tersinggung dan marah. Meskipun setelahnya dia minta maaf dan setelahnya kami semakin dekat. Begitulah, persahabatan kami memang kadang makan hati, tapi aku tahu, Yola tak pernah menganggapku benci.

Lalu bagaimana kelanjutan pertemuan pertama kali hari itu? 

Aku benci sekali sama Yola. Ekspektasiku bertemu orang Indonesia saat itu adalah untuk jalan-jalan melihat kota München. Memang benar kami jalan-jalan dan berfoto-foto, tapi dia tak henti-hentinya belanja. Bahkan saking ramahnya, saat bertemu orang Indonesia, beberapa bapak-bapak setengah baya yang kesulitan mencari oleh-oleh buat anaknya, Yola (tanpa bilang padaku), langsung mengantarkan mereka dan mendampingi bapak-bapak itu sampai urusan mereka selesai.

Setelahnya, tak habis di akal memang anak brengsek itu! Dia mengajakku ke Kult Fabrik, yang tiap Sabtu digelar Flöhmarkt (pasar barang bekas). Di sana, lagi-lagi dengan niat belanja, kami harus membayar tiket masuk 3 euro dan alih-alih dia yang belanja, aku menghabiskan 51 euro untuk membeli sesuatu yang akhirnya tak kupakai, jaket kebesaran, tas belel, dan sarung tangan yang saat kubuka di rumah, pasangannya lenyap entah kemana. Oh, sepatu nenek sihir yang aku beli saat itu, kepakai saat traveling musim panas, meski harus dicaci habis-habisan oleh Nadja (host familyku) karena modelnya yang seperti nenek sihir, sepatu boot kecil kulit lancip di ujungnya dan mengkerut di bagian pangkalnya.

Beberapa jam sebelum kami memutuskan ke Kult Fabrik:

“Yol! kamu tahu tidak tempat orang menjual serit?”

“Eh, mbak? Kamu berkutu, ya?”

Mukaku langsung merah padam! Malu. Aku berpikir, bisa dipastikan orang Indonesia pertama ini akan menjauh dariku selama-lamanya, menganggapku jorok, jijik, ndeso, kutuan, kumel, dsb. Ah, ingin rasanya kubuang mukaku dan kutarik omonganku saat itu.

“Aku tahu mbak, aku juga mau cari serit hari ini! Ayo aku tunjukkan!”

Hhahaha?

Love you Yola :3

Semoga kisah 100% nyata ini menghibur dan paling tidak bisa memotivasi kalian para pemuda penggapai mimpi 🙂

Jangan lupa like facebook fanpage Denkspa untuk mengetahui info harian seputar Jerman, terutama Hamburg (tempat aku tinggal sekarang). Klik di sini untuk like facebook fanpage Denkspa. Vielen Dank (Banyak terima kasih)

Liebe Grüße

4 Comments

  1. Oalah ternyata kalian berdua sama2 berkutu 😀 . Baru kali ini loh di summer ini kutu rambut ko lumayan banyak keluar dari jendela di kamar mandiku. Entahlah mungkin dari kayu kusennya. Tuh kutu persis spt kutu rambut, untung sih ga terbang ke rambutku.

    Klo sdh lama di Jerman, ya katakanlah lebih dari 3 thn, kita bisa mirip2 spt org Jerman, yg kumaksud disini soal terus terang to the point. Spt Yola yg bilang buncis masakanmu ga enak, tuh pas mamaku 3 bln di Jerman klo mama masak ga sesuai spt yg ku bilang (masakan jerman) ya, kubilang airnya 200 ml dikasih 1 L bo haha nah masakannya jadi spt sup kan. Atau klo suamiku bikin kopi atau masak ga enak ya terus terang kubilang ga enak, sebaliknya juga suamiku bilang hal yg sama klo yg kubikin ga enak.

    Keterus terangan ini ceplas ceplos klo kita ketemu orang setanah air bisa jadi boomerang, contohnya pas adikku sept thn lalu singgah ke jerman seminggu dari jalan2 ke Itali, kita berantem, dan sehari sblm dia pulang sampai dia di bandara kita ga ngomong 1 katapun. sorry ko malah aku jadi curhat haha.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


x

Related Posts

Panduan Menulis Motlet dan CV untuk Apply Visa FSJ/BFD ke Jerman
Program FSJ (Freiwilliges Soziales Jahr) dan BFD (Bundesfreiwilligendienst) di Jerman adalah bentuk layanan sukarela di Jerman yang ditujukan unt...
Info Lengkap Tentang Oportunity Card atau Chancekarte ke Jerman
Kesempatan terbaru untuk tinggal dan bekerja di Jerman melalui Opportunity Card atau Chancenkarte merupakan bagian dari upaya Jerman untuk menari...
Contoh Motivation Letter Yang SUKSES Apply Visa Au Pair di Kedubes Jerman
Tentang panduan membuat motivation letter dan CV sebagai syarat mengajukan Visa di kedubes Jerman, silakan dibaca dulu di artikel ini: Panduan Me...
powered by RelatedPosts
Ada yang ingin ditanyakan?