Pengalamanku: COVID dan dirawat di RS di Jerman

Hi semua! Kali ini aku akan berbagi sedikit tentang pengalamanku bermalam selama lebih dari 6 minggu di rumah sakit di Jerman. Mungkin cerita ini akan sedikit lebih panjang dari artikel biasanya karena aku akan sedikit curhat. Jadi pastikan kalian dalam keadaan kenyang, tidak haus, dan dalam posisi yang nyaman. Selamat membaca! 🙂

Penulis: Adrio (IG@maulanaadrr)

*

Semua bermula di Bulan April 2021. Kala itu, wabah virus corona, seperti yang kita tahu, masih meraja lela. Vaksin yang beredar pun hanya ditujukan untuk para lansia, pekerja social, dan juga pegawai di klinik dan rumah sakit. Suatu hari di sebuah akhir pekan, aku dan teman-temanku memutuskan untuk berkumpul di Wohnung atau tempat tinggal salah satu dari kami. Ya, kami memang sedikit bandel pada saat itu, karena peraturan dari pemerintah Jerman pun sudah jelas-jelas melarang untuk melakukan perkumpulan lebih dari empat orang dari keluarga yang berbeda. Keluarga di sini artinya tempat tinggal yang berbeda (seingatku). Pada waktu itu kami bertotal enam orang. Yang kami lakukan sebenarnya bukan hal yang “aneh-aneh”. Kami hanya memasak bersama dan mengobrol. Pada dasarnya kami memang sering berkumpul, layaknya grup pertemanan pada umumnya. Tapi ternyata perkumpulan hari itu membawa musibah untuk kami. Beberapa hari setelahnya, aku merasa tidak enak badan. Aku pikir, karena bulan April di Jerman adalah bulan perubahan cuaca, rasa tidak enak badan dan flu memang biasa terjadi. Saat itu aku yang sedang bekerja di kantor langsung izin kepada managerku untuk pulang ke rumah dan beristirahat untuk beberapa hari.

Beberapa hari berlalu dan kondisiku tidak kunjung membaik. Aku sudah sedikit khawatir bahwa ini ada hubungannya dengan covid. Tapi untuk memastikan, aku pergi ke Hausarzt (Dokter umum) langgananku dan meminta untuk dites PCR. Sehari setelah tes, badanku tiba-tiba memanas hingga 39 derajat Celsius. Aku sudah yakin bahwa ini adalah covid, karena kalau ini hanya flu biasa aku tidak akan demam sampai setinggi ini. Keesokan harinya (dua hari setelah tes) hasil tes PCR keluar dan ternyata hasilnya negative. Aku sempat kaget karena tidak mungkin ini bukan covid kalau bisa sampai mengalami demam setinggi ini. Akan tetapi aku hanya bisa menerima hasil tes dan mencoba untuk melihat kondisi tubuhku di beberapa hari ke depan. Kemudian aku menelepon teman-temanku untuk memberitahu tentang keadaanku. Kemudian mereka semua bergegas pergi ke Hausarzt masing-masing untuk mendapatkan tes PCR. Sedikit info, tes PCR pada saat itu untuk alasan medis masih gratis. Jika seseorang butuh tes PCR untuk berpergian, maka biaya akan ditanggung orang itu secara full. Biasanya berkisar di antara 40-60€ untuk sekali tes.

Satu, tiga, lima, tujuh hari pun berlalu sejak aku mendapatkan hasil tes yang negative. Satu kata untuk mendeskripsikan keadaanku setiap hari adalah: penyiksaan. Setiap hari aku mengalami demam tinggi tiga sampai empat kali. Demam tinggi ini bahkan sering mencapai 39 dan 40 derajat. Untuk menurunkan demam tersebut, aku minum paracetamol setiap harinya. Badanku menggigil, tidurku tidak nyenyak, semua sendiku mengilu nyeri. “Ini sih sudah pasti bukan flu biasa” batinku. Setelah seminggu beristirahat di kamar, aku memutuskan untuk membawa diriku ke sebuah rumah sakit dengan harapan mereka bisa memberikan diagnosa yang lebih akurat. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung diambil sample untuk tes PCR dan dipersilahkan untuk pulang ke rumah setelahnya. Keesokan harinya hasil tes pun keluar. Kecurigaanku pun ternyata benar dan dibuktikan dengan hasil tes positive COVID dengan varian mutasi yang berasal dari Inggris. Pihak rumah sakit lalu mengirimkan informasi mengenai keadaanku yang positif COVID ke pemerintah Jerman. Pada saat itu pun teman-temanku memberitahuku bahwa empat dari enam orang yang waktu itu makan-makan bersama juga positif COVID.

Sedikit lega setelah mengetahui kondisiku yang sebenarnya, aku pun kembali mencoba beristirahat dan seperti biasa, meminum paracetamol ketika demam tinggi kembali datang. Berbeda dengan di Indonesia, ketika aku didiagnosa positive COVID, aku tidak menerima obat apapun karena memang COVID pada dasarnya belum ada obatnya. Vitamin atau suplemen pun tidak diberikan sama sekali. Hanya paracetamol untuk mengatasi demam dan obat sirup untuk mengatasi batuk. Setelah didiagnosa positive, beberapa hari kemudan aku menerima sebuah surat dari Gesundheitsamt domisiliku (semacam institusi pemerintahan dibawah kementrian kesehatan). Pemerintah Jerman bisa mengetahui informasi ini dari informasi yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Surat itu berisi sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa aku menderita COVID dan sebuah formulir. Formulir itu harus diisi dengan nama-nama orang yang pernah melakukan kontak sosial denganku dalam beberapa hari terakhir sebelum aku dinyatakan positif COVID. Surat pernyataan ini harus disimpan karena akan menjadi bukti bahwa aku pernah menderita COVID yang nantinya bisa digunakan sebagai bukti telah menerima „vaksin pertama“. Teman-temanku yang sama-sama menderita COVID juga mengabarkan bahwa mereka juga mendapatkan surat yang sama. Akan tetapi di sini aku mulai bingung, karena diantara kita semua yang mengidap COVID secara bersama-sama, hanya aku yang paling menderita gejala seperti ini. Aku bahkan dikabarkan bahwa kondisi mereka sudah membaik sekitar seupuluh hingga 14 hari setelah divonis positif COVID.

Sepuluh hari pun berlalu dan kondisiku sama sekali tidak ada perubahan dari hari pertama aku menderita gejala COVID. Dengan keadaan desperate dan stress, aku menelepon nomor telepon yang disediakan oleh pemerintah Jerman di dalam surat yang aku terima. Nomor telepon tersebut berisi nomor telepon sebuah hotline yang bisa mengarahkan tenaga medis untuk mengecek atau menjemputku dari rumah untuk dibawa ke rumah sakit. Malangnya, pihak hotline mengatakan bahwa aku tidak bisa dibawa ke rumah sakit manapun, karena kasur yang tersisa hanya diperuntunkan untuk pasien COVID yang mengalami gangguan pernapasan, sesuatu yang tidak aku derita pada saat itu. Aku memohon agar mereka melakukan sesuatu, karena aku sudah tidak bisa menahan demam yang selalu naik turun dalam sehari yang diperburuk dengan kondisi lainnya seperti menggigil, sakit sendi, dan sakit kepala. Kemudian mereka mengirimkan seorang dokter untuk memeriksa kesehatanku di tempat tinggalku. Ketika dokter itu datang, ia hanya berpesan untuk beristirahat lebih banyak lagi dan untuk minum lebih banyak air. Untuk mengatasi demam yang sangat tinggi, ia juga hanya berpesan untuk mengonsumsi paracetamol. Sungguh. Sangat. Tidak. Membantu. Tapi terimakasih atas upaya yang sudah dilakukan.

Tiga hari kemudian, di saat keadaanku yang sudah lagi tidak berdaya, temanku (bukan dari grup makan-makan) meneleponku dan bertanya akan kondisiku. Setelah aku menceritakan semuanya dia kaget dan bertanya mengapa aku tidak menelepon ambulans saja? Sungguh sebuah ide bagus yang aku pernah pikirkan. Tapi aku tidak berani melakukannya karena orang di dalam hotline COVID dari pemerintah sudah berpesan untuk tidak menelepon ambulans kecuali dalam keadaan sesak napas saja. Temanku tanpa mempedulikan penjelasanku langsung mematikan telponnya dan menelpon ambulans untukku. Dalam waktu 15 menit, petugas ambulans sudah berada di depan pintu kamarku dan membawaku ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, pihak RS langsung mengecek kondisiku, termasuk suhu tubuhku. Entah apakah ini rezekiku atau bagaimana, tapi suhu tubuhku saat itu sudah mencapai 41 derajat Celsius. Sebuah kondisi kritis di mana pihak RS tidak mungkin untuk memulangkanku kembali. Akupun segera dimasukkan ke dalam bangsal COVID yang terpisah dari bangsal rumah sakit lainnya. Kemudian berbagai macam tes pun dilakukan, dari tes darah, MRI, hingga X-ray. Keesokan harinya, hasil tes darah menyatakan bahwa aku terkena Sepsis. Semacam penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang menguasai pembuluh darah. Semua orang pun kaget karena seharusnya tidak ada efek samping COVID yang bisa mencapai keadaan separah ini. Akupun juga tidak memiliki riwayat penyakit berat atau bawaaan. Oleh karena itu dikarenakan kondisiku yang masih melemas, aku dipindahkan dari bangsal COVID ke bangsal UGD selama beberapa hari untuk pengawasan lebih ketat. Keep in mind, bahwa demam tinggi, menggigil, dan semua efek COVID lainnya masih kurasakan sampai saat itu.

Singkat cerita, setelah bermalam selama empat malam di UGD, aku pun dipindahkan kembali ke bangsal COVID sampai hari di mana hasil tes PCR-ku menyatakan bebas dari COVID. Mengetahui keadaan batuk keringku yang tak kunjung reda, ternyata penyebabnya adalah selaput paru-paruku yang dipenuhi oleh cairan. Operasi kecil untuk mengeluarkan cairan tersebut menggunakan selang pun dilakukan. Selama dua hari, aku harus hidup dan beraktivitas bersama selang dan kontainer cairan ini yang terhubung ke dalam badanku. Tetapi, setelah selang ini dikeluarkan, keadaanku secara berangsur mulai membaik.

Cairan selaput paru-paru
Cairan selaput paru-paru

Beberapa hari ketika status COVID ku sudah negatif, pihak rumah sakit memberikan informasi bahwa aku akan dipindahkan ke bangsal biasa dan tidak harus bermalam di bangsl covid lagi. Sebagai deskripsi, bangsal covid hanya diisi oleh satu pasien per kamar dan ukuran kamarnya cukup luas. Sedangkan bangsal biasa dengan ukuran ruangan yang sama, diisi oleh dua pasien. Setiap RS tentu saja memiliki perbedaan dalam luas ruangan dan jumlah pasien di dalam bangsal biasa, tetapi untuk bangsal COVID biasanya hanya ada satu pasien per kamar. Aku juga diberikan informasi bahwa karena aku mengidap sepsis, aku harus mendapatkan terapi antibiotik yang dilakukan dalam bentuk infus selama empat kali dalam sehari. Dikarenakan sepsis adalah penyakit yang cukup lama untuk disembuhkan, aku harus bermalam di rumah sakit itu selama kurang lebih empat sampai lima minggu lagi. Selama enam minggu aku juga tidak hanya tidur diam saja. Berbagai macam tes pun masih rutin dilakukan, seperti endoskopi. Sepertinya setelah enam sampai tujuh kali diendoskopi, tubuhku sudah terbiasa dengan adanya selang kamera di dalamnya.

Sedikit intermezzo, bagi yang bertanya makanan di rumah sakit Jerman rasanya seperti apa? Jawabannya hanya satu kata: HAMBAR. Mungkin dua kata alias hambar banget. Setiap pagi, kita hanya disajikan roti dengan selai atau dengan potongan daging tipis bagi penyuka makanan gurih. Untuk makan siang biasanya lebih bervariasi dan kita bisa memesan menu makan siang sehari sebelumnya. Pilihannya bervariasi dan biasanya selalu ada pilihan daging, vegetarian, vegan, atau pescetarian (ikan). Untuk makan malam biasanya hanya disajikan sup dan roti beserta isian yang kita inginkan (seperti pagi hari). Beberapa minggu pertama, ketika keadaanku masih lemas, aku tidak ada pilihan lain selain untuk mengonsumsi apa yang disajikan rumah sakit. Tapi ketika keadaanku sudah membaik, kadang-kadang aku memesan makanan melalui aplikasi delivery. Makanan yang dipesan pun bukan makanan “sembarangan”, melainkan makanan yang jauh lebih berasa disbanding makanan rumah sakit. Sebagai pembanding, sebelum aku sakit beratku 86KG dan setelah menghabiskan satu bulan di rumah sakit, beratku turun menjadi 67KG. Tentu saja ini dikarenakan penyakit. Tapi mungkin apabila makanannya enak, beratku tidak akan turun sejauh itu 😀 (bercanda ya).

Ketika minggu ke enam di hampir berlalu, keadaanku sudah semakin membaik. Aku pun akhirnya mendengar kabar bahwa aku sudah bisa dipulangkan ke rumah dalam beberapa hari ke depan. Tetapi, karena terapi antibiotikku masih berjalan, aku harus tetap menginfus diriku sendiri dengan antibiotik di rumah selama empat minggu. Tenang. Menginfus di sini bukan berarti menyuntikkan antibiotik secara manual. Tetapi, sebelum aku pulang, lenganku dimasukkan sebuah selang kecil yang mengarah langsung ke Jantung. Di ujung selang yang berada di lenganku diberikan semacam katup yang bisa dibuka tutup. Nantinya, antibiotik yang kuterima akan memiliki selang juga yang harus disambungkan ke dalam selang yang mengarah ke jantungku melalui katup ini. Tentu saja proses ini harus dilakukan dalam keadaan steril jadi aku harus cuci tangan dulu, memakan sarung tangan dan menyemprot area katup dengan desinfektan sebelum menyambungkannya dengan antibiotik. Antibiotik yang kuterima pun tidak dalam bentuk kantung yang harus digantung tinggi. Melainkan dalam bentuk bola yang akan mengecil secara perlahan sehingga menimbulkan tekanan yang bisa menyalurkan antibiotiknya ke dalam selang. Anggap saja balon yang diisi air. Ketika kita menekan balon tersebut, air di dalam balon itu akan terdorong keluar bukan? Agar antibiotik ini bisa berfungsi semaksimal mungkin, jadwal pemberiannya pun harus selalu di waktu yang sama, yaitu setiap enam jam (Sehari 4x). Ketika aku dalam keadaan terinfus pun bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tinggal meletakkan si „balon antibiotik“ ini di dalam kantung, dan aku bisa melakukan aktifitasku seperti biasa seperti memasak atau bekerja dengan laptop.

PICC-Line yang dimasukkan ke dalam lengan sampai ke jantung
PICC-Line yang dimasukkan ke dalam lengan sampai ke jantung

Baik. Sampai di sini dulu ceritaku. Mungkin sekarang ada yang bertanya-tanya kira-kira aku menghabiskan berapa banyak uang untuk total perawatanku di rumah sakit? Ternyata, ketika kita di rawat kita harus membayar sebesar 10€ dalam sehari. Lalu apabila kita bermalam lebih dari 28 malam di rumah sakit, biaya maksimal yang harus kita keluarkan hanyalah sebesar 280€ saja. Biaya tes darah, MRI, terapi antibiotik, obat dll semuanya sudah ditanggung oleh pihak asuransi kesehatan masing-masing. Ditanggung maksudnya, karena gaji kotor kita juga dipotong sekitar 20% untuk berbagai macam asuransi (termasuk asuransi kesehatan), kita secara tidak langsung juga sudah menyicil biaya rumah sakit kita. Ketika kita masih berstatus sebagai mahasiswa, kita juga wajib membayar asuransi Kesehatan sebesar kurang lebih 110€ per bulan. Aku juga harus membayar 15€ (seingatku) untuk menggunakan jasa ambulans. Jadi biaya total yang harus aku keluarkan selama bermalam lebih dari enam minggu di rumah sakit “hanya” 280€ + 15€ = 295€.

Sebelum aku mengakhiri cerita ini, beberapa kesimpulan yang bisa kuambil adalah aku sungguh berterima kasih kepada temanku yang menelepon ambulans tanpa menghiraukan larangan pihak hotline Gesundheitsamt. Yang kedua, ternyata asuransi kesehatan itu sangat amat penting. Kita tidak tahu kapan musibah bisa menghantam kita. Yang ketiga, ikuti saja peraturan pemerintah untuk tidak berkumpul selama pandemi. Yang terakhir, aku harap kalian yang membaca bisa mengambil hikmah dari ceritaku saat ini dan senantiasa menjaga kesehatan dan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Sampai jumpa di cerita berikutnya!

 

Jangan lupa follow dan Like facebook fanspage denkspa .  Follow instagram: @denkspa

Youtube channel belajar bahasa Jerman dan seputar Jerman: Youtube Denkspa

Liebe Grüße

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


x

Related Posts

Panduan Menulis Motlet dan CV untuk Apply Visa FSJ/BFD ke Jerman
Program FSJ (Freiwilliges Soziales Jahr) dan BFD (Bundesfreiwilligendienst) di Jerman adalah bentuk layanan sukarela di Jerman yang ditujukan unt...
Info Lengkap Tentang Oportunity Card atau Chancekarte ke Jerman
Kesempatan terbaru untuk tinggal dan bekerja di Jerman melalui Opportunity Card atau Chancenkarte merupakan bagian dari upaya Jerman untuk menari...
Contoh Motivation Letter Yang SUKSES Apply Visa Au Pair di Kedubes Jerman
Tentang panduan membuat motivation letter dan CV sebagai syarat mengajukan Visa di kedubes Jerman, silakan dibaca dulu di artikel ini: Panduan Me...
powered by RelatedPosts
Ada yang ingin ditanyakan?