Berlin, 05 September 2014   21.30

Aku masih saja tertawa bersama mereka. Di tengah api unggun kecil bersama pemuda Norway yang baru beberapa hari kukenal di Berlin dan 5orang temannya. Aku benar-benar nggak ingin meninggalkan Berlin malam ini!!!
Kota ini benar-menar punya daya sihirnya sendiri, meski nggak se rapi dan sebersih München, namun Berlin jauh lebih mewarnai hatiku. Tentu saja München yang sudah aku anggap hometown ku sendiri, punya kesan tersendiri, namun butuh waktu beberapa bulan untuk jatuh cinta pada München, sedangkan kepada Berlin, hanya butuh waktu nggak kurang dari 5 hari. Kenangan memang membuat sebuah kota lebih berkesan.
Aku tinggal di hotel, di kamar yang berbeda dari host family ku sejak hari Minggu lalu. Dari München, kami bermobil menuju Berlin, aku telah mengepak segala tetek bengekku untuk kubawa travelling satu bulan ke depan. Satu tas punggung besar yang telah penuh sesak dengan baju, sepatu, jas hujan (yang pada akhirnya sama sekali nggak kepake), dan mukena.  Tentu saja aku nggak membawa baju selemari, cuma 2 celana jeans, 2 rok, dua kebaya untuk sekali-sekali dipake sekalian promosi bangsa :P, beberapa T-shirt, baju dalam tentunya :D, dua pullover, satu jaket agak tebal jaga-jaga kalau tiba-tiba cuaca mendadak ekstrim, satu sepatu sport, satu sepatu balerina dan satu sepatu musim gugur anti air, juga tak lupa oleh-oleh untuk para teman atau couchsurfer yang akan kukunjungi.
Selain tas punggung yang beratnya tak kurang dari 15 kilo itu, aku juga membawa tas ransel kecil, yang berisi map untuk tiket-tiket bus yang telah ku print, paspor, buku pedoman travelling, buku catatan, alat tulis, kantong plastik, dan sebagainya. Trus juga tas cangklong kecil untuk menaruh dompet, uang tunai kupisahkan di dompet yang kutaruh tas cangklong dan kuselipkan di celah buku di tas ransel. Tak banyak uang cash yang kubawa, tentu saja tak lupa uang di ATM yang bisa digunakan di seluruh Eropa. Ohhh,,,petualangan yang kunanti benar-benar di depan mata.
Sebelum berangkat ke Berlin, aku selalu saja berharap waktu segera berlalu, agar aku segera bertemu gladys di Dusseldorf, nggak usah aja deh ke Berlin, Berlin juga bukan agenda perjalanan kami. Tapi apa yang membuatku seperti enggan meninggalkan kota yang awalnya enggan pula untuk aku kunjungi.
Hari kedua aku di Berlin, kucoba mengunjungi Alexanderplatz. Rasa sedikit kecewa menyelimuti begitu naik eskalator dari stasiun kereta bawah tanah, ‘Marienplatz jauh lebih bagus, batinku’…aku sadar bahwa Alexanderplatz telah dibangun kembali pasca pengeboman perang dunia 2, sehingga hanya tampak bangunan-bangunan modern baru yang gersang dan para penjual sosis bakar yang tersebar di berbagai sudut tempat. Membosankan, batinku. Eh,,selang beberapa menit, aku melihat ‘PRIMARKT’,,mataku langsung jadi biru seketika,,aku senang sekali.
Primarkt adalah sebuah department store seperti ‘Sardo atau TREND’ di Malang, baju dan barang-barang yang dijual di sana relatif bagus dan murah. Primarkt nggak ada di München, nggak tau kenapa, kadang aku ingin protes aja kenapa Primarkt dan Dunkin Donuts nggak ada di München (nah protesnya kepada siapa??lol), Dunkin Donuts mah nggak apa-apa deh nggak ada, tapi kalau aku ingin beli celana dalam dan harus merogoh kocek 5 euro untuk beli di H&M yang bisa kubeli dengan harga 1,5 euro di Primark, disitu kadang aku merasa sedih :P. Akhirnya, yang terjadi hari itu, aku menghabiskan hari kedua ku di Primark, padahal ya cuma beli 2 kupluk, 1 sarung tangan untuk musim dingin, dan 2 celana dalam. Dasar aku, gak jelas banget…
Hari Ketiga di Berlin, eh ternyata kalau aku berjalan sekitar 100 sampai 200 meter ke arah tenggara (tenggara kah?ahh nggak tau), aku bisa menemukan Berliner Dom, sebuah katedral raksasa berarsitektur baroque yang sangat indah. Di depan katedral yang berdiri sejak tahun 1465 dan sebagian besar konstruksinya hancur karena bom perang dunia dua itu dan dibangun kembali serta dibuka lagi pada tahun 1993,  ada sebuah taman hijau nan luas dengan sebuah air mancur besar, indah sekali pokoknya. Hari ketiga ini aku benar-benar puas menikmati Berlin, mulai dari Gerbang Brandenburg yang jadi simbol bersatunya Jerman barat dan Timur serta gedung parlemen besar di dekat taman di depan gerbang itu, Holocaust Memorial (2711 buah batu balok-balok berukuran rata-rata peti mati orang normal yang dibangun di atas area seluas 19.000 meter kuadrat untuk memperingati jumlah kaum yahudi yang dibantai Hittler sebelum dan setelah perang dunia dua). Aku juga melintasi Museum Insel (sebuah kanal besar yang di tengahnya ada beberapa Museum, Postdamer platz yang penuh dengan gedung pencakar langit, pergi ke keraton charlottenburg yang ternyata masih direnovasi, sampai ke hauptbahnofnya yang sangat indah.
Malam harinya aku memutuskan untuk datang ke Couchsurfer meeting di kawasan Tucholskystraße. Meeting yang diadakan seminggu sekali itu merupakan ajang pertemuan para travelling yang ingin bertukar bahasa, ‘Language Exchange in Berlin’. Lebih dari 50 orang dari seluruh penjuru dunia hadir, mereka di kelompok-kelompokkan menurut bahasa apa yang ingin mereka pelajari. Aku tentu saja bergabung di meja dengan bendera Jerman di atasnya karena aku ingin belajar bahasa Jerman. Di sana aku bertemu beberapa orang, satu cowok asal Norway yang telah tinggal di Berlin selama 3 bulan dan merasa kesulitan bicara bahasa Jerman meski telah 5 tahun mempelajarinya di sekolah, seorang cewe asal Polandia yang menurutku sudah sangat bagus berbahasa Jerman, sangat cantik dan atraktiv, seorang cowok Italy, dan seorang native Jerman. Kami berusaha ngobrol dengan bahasa Jerman. Aku juga dengan sangat terbata-bata ikut nimbrung.
Malam semakin larut, banyak yang meninggalkan meeting itu, banyak juga yang bertukar meja, mungkin ke Meja berbahasa Spanyol, Inggris atau Italy,,sayang sekali nggak ada meja berbahasa Indonesia. Tentu aja, sebuah galeri lukis yang luasnya nggak kurang dari 100m persegi itu nggak akan cukup diisi meja-meja dengan lambang bendera dari seluruh dunia. Seingatku, hanya ada 7 meja yang artinya 7 bahasa saja.  Sebelumnya, aku juga berganti ke meja berbahasa Inggris dan sesaat sebelum memutuskan untuk pulang, aku balik ke Meja Jerman. Aku melihat pemuda yang sebelumnya telah memperkenalkan diri dari Norway itu masih setia di sana, dia rupanya nggak ingin mempelajari bahasa lain.
“Warum ziehst du nicht um?” (kenapa kamu nggak pindah?) tanyaku
“Karena aku sudah bisa bahasa Inggris, dan aku cuma ingin belajar bahasa Jerman, jadi aku stay di sini saja” jawabnya
“Ach so” jawabku singkat
“Kamu dari Indonesia ya, Indra?” tanyanya lagi
“Wow, kamu bisa inget namaku, padahal banyak orang Eropa yang sulit ingat namaku” kataku. Batinku, aku nggak ingat nama nih orang, siapa ya…duh, siapa donk??
“Iya, karena aku pernah ke Indonesia juga, meski nggak lama”
“Oh ya??”
“Iya, cuma di Bali aja selama seminggu, sayang sekali ya, padahal aku suka banget cuaca di sana, hangat, nggak kayak di Eropa”
“Trus kenapa kamu nggak tinggal lebih lama?”
“Karena aku harus balik ke Norway lagi, liburanku telah habis waktu itu”
“Sorry nama kamu siapa sekali lagi?” duuh aku emang paling dodol kalau mengingat nama, apalagi nama orang Eropa, habisnya tadi juga kenalan sama beberapa orang lainnya, jadi nggak mungkin aku ingat beberapa nama asing sekaligus. 😀
“Öyvind, haha,,,sulit ya, aku tahu”
Aku meringis, tahu aja dia. Bahkan sampai beberapa kali diulang aku masih belum bisa mengucapkannya dengan tepat, dan huruf O didepan itu sebenarnya memakai huruf Norway, O coret, bukan O Jerman dengan umlaut (titik dua atas), tapi bacanya sama dan aq nggak punya abjad itu di laptop, jadi ya di maklumi lah,,ribet banget sih namanya,,
Kami mengobrol agak lama dengan bahasa Jerman kami yang masih sangat terbatas, sampai akhirnya aku berkata seraya ingin segera pamit dari sana:
“Tadi pagi aku jalan-jalan loh keliling kota Berlin, setelah pulang ini mungkin aku juga akan jalan-jalan lagi, melihat berlin di malam hari”
“Pasti asyik, kalau kamu mau, aku bisa ikut dan menunjukkan sedikit yang aku tahu tentang kota Berlin”
Öyvind adalah seorang pemuda berusia 28 tahun yang gagah dan tampan, wajah mirip Olly Murs yang dihiasi dengan jenggot rapi pendek nya dan senyum yang selalu menawan dan mata coklat yang hampir merem saat dia tersenyum itu selalu menawan, gaya berpakaian ala Eropa nya, rapi dan modis, T-shirt oblong warna putih dan kemeja kotak-kotak biru muda yang dibiarkan kancingnya terlepas, sehingga gambar T-shirt (aku lupa sih gambar apa,,heheh) kelihatan.
“Finally, I can speak English” kata Öyvind setelah beberapa langkah saja keluar dari gedung galeri itu
“Yaaaa,,,memang lebih baik kalau kita bicara bahasa Inggris” jawabku
Bersama Öyvind, aku kembali ke Gerbang Brandenburg dan mengitari museum Insel. Kami berdiri di pinggir Museum Pergamon dan memandang lampu kelap-kelip di sebrang sungai tempat kami berdiri.
“Lihat, ada orang-orang dansa, kalau kamu mau kita bisa ke sana dan gabung dengan mereka” kata Öyvind
“Masalahnya aku nggak bisa dansa” jawabku. Duuuh kenapa aku nggak bisa dansa sih, pasti kan romantis kalau bisa dansa di sana sama Öyvind. Apaan sih,,,,
“Wah sayang sekali, tapi kita bisa lihat-lihat aja sih”
Akhirnya kami duduk di deretan tangga di tepi sungai, dan memandang orang-orang berdansa. Begini juga bagus, batinku. Eh, aku apa sih,,kenapa jadi agak grogi gini.
“Aku pengen banget suatu saat nanti pindah ke negara bermusim hangat seperti di Indonesia” kata Öyvind setelah kami terdiam beberapa saat.
“Trus kenapa nggak pindah? ide bagus tuh”
“Iya, aku berencana pindah ke Meksiko mungkin awal tahun depan, aku punya beberapa teman di sana, aku juga suka banget Meksiko dan budaya nya.”
Kami ngobrol selama berjam-jam di tepi sungai itu, tentang pengalaman kami travelling, kehidupan dan cita-cita kami selanjutnya, kami juga selfie narsis di sana,,dia narsis juga ternyata. Bersamanya malam itu membuatku melihat malam di Berlin jadi lebih indah, dengan lampu kelap kelip dari tepi sungai yang kami telusuri dan terpantul di gelombang air mengalir.
Dia mengantarkanku ke Alexanderplatz untuk naik kereta bawah tanah menuju hotelku,
“Aku senang banget malam ini bisa ngobrol banyak dengan kamu,” kataku sebelum kami berpisah.
“So am I, kita udah bertukar facebook dan nomer, mungkin kita bisa ketemu lagi,” jawabnya.
Sesaat sebelum aku masuk kamar hotel, ponselku berdering, dari Öyvind: ‘Indra, kalau kamu ada waktu, besok siang aku tunjukkan sisi kota Berlin yang lain’
Aku menyetujuinya…
Hari Keempat di Berlin, siang ini cuaca bagus banget untuk jalan-jalan. Aku menemui Öyvind di satu stasiun dekat East side gallery. Di sana, dia menunjukkan padaku sisa-sisa tembok berlin yang tidak dirobohkan. Tembok setinggi 3,6 meter itu kini dipenuhi gravity-gravity dan membentang di tepi sungai sepanjang 1,4 km. Lalu kami berjalan ke arah Rudolfplatz. Öyvind tak henti-hentinya bercerita dan bertanya tentang aku dan kehidupanku sebelum aku ke sini. Kami juga berdiri di bawah jembatan besar yang memisahkan sungai (sungai pa aku lupa namanya, huft)…dan melihat patung 3 orang berangkulan di tengah-tengah sungai sambil menikmati angin berhembus sepoi-sepoi dari selah jembatan.
“Besok kamu dah memulai travelling ya?” tanya Öyvind.
“Iya, sayang sekali aku harus meninggalkan Berlin besok”
“Menarik sekali rencana perjalananmu, aku harap kamu akan menyukai kota-kota yang akan kamu junjungi. Aku pernah ke Amsterdam,,aku yakin kamu akan suka, banyak restoran Indonesia di sana.”
“Udah pernah ke Belgia belum?” tanyaku
“Cuma lewat jalan tol nya doank sih saat menuju Prancis saat itu”
“Hmmm,,aku pikir udah pernah ke sana, soalnya kan deket tuh ama Belanda”
“Iya, aku juga pengen banget ke Brussel. Waktu itu aku nggak punya cukup waktu untuk mampir. Ngomong-ngomong jam berapa kamu berangkat?”
“Busku ke Dusseldorf berangkat jam 10 malam”
“Besok jam 8 aku ada acara kumpul-kumpul sama teman-teman satu flat di taman dekat Rudolfplatz. Kamu mau datang sebelum berangkat?”
“Aku belum tahu, mungkin,,tapi nanti aku akan sms kamu”
Öyvind menunjukkan padaku kota Berlin dari sudut pandang bule (dia kan Bule juga di Jerman coz dia bukan Deutsche (orang asli Jerman), dia menginformasikan semua hal yang dia ketahui, yang menurutnya menarik, seperti gravity-gravity raksasa yang menghiasi jalanan sepanjang Rudolfplatz atau yang menurutnya menarik bagiku, seperti toko keramik China yang juga menjual banyak perabotan dari Bali. Rupanya dia juga telah banyak tahu tentang  Berlin meski masih 3 bulan tinggal menetap di sana.
Hari dan malam terakhir di Berlin
Aku pamit Nadja&Robert (Host familyku). Nadja nangis nggak karuan seolah-olah aku nggak akan kembali saja. Padahal ya cuma satu bulan aku meninggalkan mereka :D…pukul tujuh malam, matahari belum tenggelam, aku berangkat menenteng tas punggung besar, tas ransel dan tas kecil berisi dompet. Aku menuju Rudolfplatz dan bertemu (sekali lagi) dengan Öyvind, kali ini dengan teman-temannya.
Kami duduk di tengah api unggun kecil sambil menikmati ngobrol dan nyemil. Aku duduk di samping Öyvind, dia menawariku untuk minum dan nyemil. Aku seakan nggak berselera untuk makan atau pun minum, aku sedih banget harus meninggalkan Berlin malam itu. Tapi Gladys sudah sms, dia sudah berangkat dari Münster menuju Dusseldorf dan kami bakal bertemu di sana. Achhh,,,kenapa harus berangkat sih?
“Indra, ayo aku antarkan ke stasiun, kamu butuh waktu setengah jam dari sini ke terminal bus”
Öyvind membawa tas punggung besarku dan kami beranjak dari taman itu ke stasiun kereta bawah tanah yang akan membawaku ke terminal bus.
Aku masih ingin disini,,,di Berlin, bersama dia…
“Hati-hati ya, jaga diri baik-baik di perjalananmu, aku senang sekali bisa mengenalmu” kata Öyvind saat kami menunggu keretaku datang
aku harus bicara apa?aku nggak ingin kereta itu datang, pliss kereta itu nggak usah datang aja, aku masih ingin di sini, batinku.
Öyvind memelukku erat dan kataku, “iya aku juga senang bertemu denganmu…” datar banget…tapi aku harus bilang apa???aku nggak mungkin membatalkan mimpi keliling eropa ku ini demi pemuda yang baru tiga hari ini kukenal,, Ini Berlin, bukan München, aku hanya disini untuk singgah saja, aku harusnya tahu itu,,tapi,,,
“Mungkin aku juga akan ke München kalau kamu udah balik travelling, pengen liat Oktoberfest juga. ” kata Öyvind sebelum aku masuk ke dalam kereta yang kujawab singkat “Ok” sambil mengacungkan jempolku dan tersenyum penuh duka. 😀
Aku sudah di dalam kereta yang membawaku ke terminal bus. Jadwal kereta ku pukul 22.00 dan ini sudah pukul 21.47, artinya aku akan tiba di terminal sekitar 22.13. Aku akan terlambat. Hey,,,aku akan terlambat,,aku senang sekali menyadari bahwa aku akan terlambat. Bus itu akan meninggalkanku, meninggalkan orang yang nggak tepat waktu, dan itu artinya aku bisa satu hari lagi di Berlin. Aku akan satu hari lagi lebih lama bersamanya,,,aku tersenyum senang. Aku gilaa
Aku tiba di Terminal pukul 21.13, tepat seperti dugaanku, dan apa yang terjadi? aku tidak menemukan ada satu pun bus di sana. Yeeeeyyyy, busku meninggalkanku, tapi banyak orang di sana. Aku menghampiri mereka dan bertanya bus kemana yang mereka tunggu. Salah satu wanita menjawab: bus ke Dusseldorf,  udah telat 13 menit,,,
Aku mendengus,,,tenyata busnya juga terlambat. Pukul 22.30 bus itu datang dan sepuluh menit kemudian membawaku dan penumpang lainnya menuju Dusseldorf,, bertemu Gladys dan memulai mimpi keliling Eropa ku….
Lalu bagaimana dengan Berlin dan setitik kenangan di dalamnya??
Jangan lewatkan kisah selanjutnya: Düsseldorf-Köln: semengaskan itukah kami ini?
Kumpulan Foto di Berlin:

ribuan batu kubik yang dibangun untuk mengenang korban pembantaian kaum Yahudi
Stasiun Utama di Berlin ya megah dan bertingkat-tingkat
museum inseln atau pulau Museum
Berliner Dom
Istana Charlottenburg
Brandenburger Tor

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *