Kali ini ide menulisku datang dari kawan blogger juga, yang menulis tentang salah satu sifat cewek Indonesia yang cenderung suka ber-rame-rame ke toilet: Mengapa harus rame-rame. Yup, ini salah satu karakter orang Indonesia yang juga ditulis oleh penulis Jerman di bukunya tentang Indonesien Kultur Schock (Bettina David). David menulis bahwa orang Indonesia memang cenderung nge-grup, kompak kemana-mana, rame-rame, nge-geng, dsb.

Adakah yang salah dengan hal itu? Tentu saja tidak. Budaya adalah budaya, nggak ada yang salah, yang benar hanyalah: berbeda. Aku sendiri juga suka ber-rame-rame, bahkan mulai sejak kelas 6 SD, aku sudah mendirikan sebuah gang yang namanya masih kuingat hingga saat ini: NAVENTERINA. Nama itu merupakan nama yang kami ambil dari masing-masing suku kata pada keempat anggotanya. Di SMP, gengku namanya Smile, karena kita memang suka ketawa-ketiwi gak jelas, lalu SMA kelas satu, nama gengku Ciploks yang berarti Cilok, karena kami penggemar Cilok, lalu kelas dua, karena anggotanya berubah, namanya juga berubah menjadi geng Ngantuks, kemudian kelas tiga, aku tergabung ke dalam sebuah geng besar beranggotakan 10 orang, yang 4 orang diantaranya adalah sahabat terbaikku hingga saat ini, nama geng kami saat itu: Ga’ Adhank.

Hayo, masih mau mengelak kalau aku nggak suka nge grup? Kalau orang Jerman, menyebutku gruppenorientierung yang artinya, orang yang berorientasi pada grup, atau suka ngegrup.

Menurut pengamatanku serta bertanya kepada banyak orang Jerman, aku mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa ternyata Orang Jerman juga hobi ber-rame-rame, nge-geng, dsb, meskipun banyak sekali orang atau remaja yang cenderung menyukai sendirian, tipe introvert juga banyak kita jumpai di Indonesia.  Di artikel sebelumnya tentang makna teman menurut orang Jerman,  mereka rata-rata punya satu atau dua teman saja. Tapi bukan berarti di Jerman nggak ada sebuah geng lucu-lucuan kayak di Indonesia. Di Jerman, geng-geng seperti itu namanya Clique (baca: klik). Anak dari rekan kerjaku contohnya, mereka kemana-mana selalu ber-empat, saat aku tanya apakah mereka membentuk sebuah geng? Rekan kerjaku tersebut menjawab, “Hmmm mungkin, tapi mereka bersama-sama karena tinggal di wilayah yang berdekatan, dan orang tuanya juga berteman. Tapi bisa juga nggak soalnya mereka sebenarnya beda kelas, anakku dan Lotte kelas 5, sedangkan dua yang lain kelas 4.”

Anak-anak di Jerman meskipun sering kemana-mana sama beberapa anak-anak tertentu, mereka tidak membatasi diri mem-blokir pertemanan dengan anak-anak yang lain. Di Jerman, karena banyak sekali pendatang dari negara-negara asing, anak-anak asli Jerman sangat biasa berteman dengan anak yang bukan hanya berasal dari suku, tapi negara yang berbeda, mereka terbiasa menghadapi anak berkulit hitam legam, coklat, putih, kuning langsat, bermata sipit, berbahasa Italia, Jerman, Inggris, dan sebagainya. Oleh sebab itu, saat bertemu dengan orang asing, anak-anak Jerman ini tidak merasa, “wowww bule”, mereka akan cuek-cuek saja.

Kembali ke kebiasaan orang Jerman yang cenderung mandiri, aku juga tekankan bahwa orang Jerman tidak suka membuat keputusan berdasarkan orang lain. Seperti biasanya kita kalau mau kemana-mana tergantung geng, orang Jerman kalau mau makan di sebuah tempat, meskipun asik dilakukan sama teman, tapi mereka akan totally okay makan dan jalan sendiri.

Orang yang disebut teman oleh orang Jerman adalah orang yang sudah mereka kenal lebih dari 5 tahun. Bisa jadi teman saat TK yang tetap berteman sampai beranjak dewasa. Itu baru namanya teman. Meskipun tergabung dalam sebuah Clique, bukan berarti mereka berteman dekat satu sama lain loh. Lho kok? Iya, ini bedanya dengan geng-geng di Indonesia. Orang Jerman memang amat sangat susah percaya kepada orang lain, termasuk dalam hal memutuskan siapa teman mereka. Meskipun mereka nge-clique dan berbondog-bondong konkow-konkow ke sana kemari, mereka nyatanya hanya dekat dengan salah satu dari anggota clique yang mereka percaya atau mereka rasa bisa disebut teman terbaik, atau malah teman se-clique itu nggak ada sama sekali yang jadi teman alias sahabat. Dengan kata lain, orang Jerman runtang-runtung dengan teman se-clique, buat hang out, tapi temannya malah orang lain, misalnya teman TK atau SD nya dulu. Aku pernah meyakinkan Tobi kalau dia itu punya puluhan teman, buktinya mereka nonton bola bareng, nongkrong bareng, main bareng, cocok, dsb. Tapi dia selalu bilang, “Temanku ya cuma satu, Steffan saja. Kalau aku nikah, dia yang akan aku undang jadi best man.”. Ya ampun, ya sudahlah.

Jadi, kalau kalian bertemu dengan orang Jerman dan cuma kenalan satu dua kali saja, ngobrol ke sana sini, mereka bakal cuma nganggap kalian kenalan saja. Meskipun perkenalan itu bisa dilanjutkan kalau kalian tak kehilangan kontak selama bertahun-tahun hingga jadi teman. Meskipun demikian, nggak ada salahnya berkenalan dengan orang Jerman, kalau mereka sudah percaya pada seseorang, mereka akan percaya sepenuhnya.

Viele Grüße

Comments

  1. Aku mau bersahabat sama orang Jerman juga. Tapi nggak ada mbak hehehe. Kebanyakan temen sini yg keluar gitu sih. Kalo orang sana asli, gada kenalan. Punya sahabat pena haha jaman dulu banget, udah ilang kontak hiksss…

  2. lidah aku keseleo baca istilahe orang jerman buat orang yang suka nge-group, kak girin hahaha…

    aku juga suka ngegroup dan cilok, sampe suka digodai sama bossku di kantor. kataee "mayaaaa, makan boraks" jahat banget emang kalo godai. hahaha

    iyah aku ngumpul emang karena gasengaja ikutan komunitas dsni, aslinya temen nongkrong mah itu2 aja, rata2 yang emang udah temenan lamaaaa da yang udah dari kecil malah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *