Bettina David dalam bukunya ‘Kultur Schock Indonesien’ mengupas habis tentang Indonesia dan segala tetek bengeknya berdasarkan fakta yang ada dan opini beliau sendiri tentunya. Saat membaca buku tersebut, aku berpikir lucu sekali bahwa beliau sebagai orang Jerman lebih paham tentang Indonesia mulai dari Sabang hingga Merauke ketimbang diriku sendiri sebagai orang Indonesia. Dari situlah aku juga tergelitik untuk menyoroti perbedaan mental orang Indonesia dan orang Jerman dari segi cara mereka menatap masa depan, yakni sifat orang Jerman yang cenderung skeptis dan pengambilan sikap orang Indonesia yang lebih cenderung ke arah pragmatis.

 Apa sih Skeptis dan Pragmatis itu?

Mungkin dua istilah ini sudah tidak asing lagi bagi kalian yang belajar tentang psychology atau anthropology, namun bagi sebagian besar orang, dua kata ini terdengar asing (aku sendiri juga baru tahu saat sudah tinggal di Jerman).
Skeptis adalah sikap ragu-ragu, kurang percaya dan terlalu khawatir akan apa yang akan terjadi di masa depan. Sedangkan sikap pragmatis adalah sikap yang lebih melihat sisi kepraktisan sebuah masalah dengan mengedepankan hasil dan manfaat yang akan dicapai sehingga kurang menimbang metode atau cara dengan teliti sebelum melakukan segala sesuatu.

Skeptis dan Pragmatis sangat berkebalikan. Orang yang bersifat Skeptis cenderung terlalu hati-hati, terlalu menimbang dan memikirkan resiko, mengamati, meneliti akibat, dampak positif dan negatif yang akan terjadi apabila seseorang akan bertindak. Sedangkan Pragmatis lebih tergesa-gesa, berpikiran jangka pendek, praktis, dan kurang mempertimbangkan hal baik maupun buruk yang akan terjadi.

Orang Jerman : SKEPTIS

Tinggal di Jerman bukan berarti tinggal di surga di mana kehidupan akan senang terus, akan selalu tercukupi dan bertemu dengan orang-orang yang super ramah yang akan membantu dan mendukung kita. Aku tidak bilang kalau orang Jerman tidak ramah, mereka ramah sekali, apalagi kalau musim panas (haha), semua orang akan tersenyum ramah, orang yang biasanya mukanya kaku dan tegang akan terlihat lumer dan menyenangkan. Tapi saat musim dingin tiba, pfuh, bisa dihitung orang yang tidak terkena dampak dingin dan masih tetap ramah. Sejak tinggal di Jerman, aku baru bisa merasakan dampak matahari bagi kesehatan mental :D. Itulah sebabnya peneliti membuktikan bahwa orang yang tinggal di negara tropis lebih ramah dan menyenangkan. Buktinya, saat pergi ke Swedia yang dingin begitu, orangnya pada melipat muka semua (meskipun di musim panas), dan saat pergi ke Italy (yang iklimnya lebih hangat), orangnya juga lebih hangat dan ramah.

Memang kita tidak boleh men-judge orang berdasarkan kewarganegaraannya. Setiap individu pasti punya karakter dan bawaan sifat yang berbeda-beda pula. Meskipun Jerman sudah terbukti negara dengan prosentase penduduk yang mempunyai ketakutan (anxiety) terbesar di dunia, pasti ada juga orang Jerman yang tidak bersifat skeptis, namun jika kita sudah tinggal di Jerman dan mengenal orang-orangnya, kita pasti tahu ketakutan, kekhawatiran dan sikap berlebihan mereka dalam memandang masa depan.

Kalau kalian ingin ‘sambat’, curhat, dan diberi kelegaan dengan sikap optimis dan penuh pengharapan, curhatlah kepada orang Amerika!!!! Jangan curhat dengan orang Jerman, haduh sumpah jangan. Mereka akan mendengarkan curhatan kita, namun sikap orang Jerman yang cenderung tidak peka akan membuat kita sedih sendiri.

Aku pernah curhat kepada host family tentang mimpiku melanjutkan sekolah S2, mereka bilang bagus mimpi itu, lalu lanjutnya, tapi bisakah kamu mencukupi kebutuhanmu yang sangat mahal di Jerman ini? Belum lagi kamu harus membayar asuransi, biaya hidup, makan, tempat tinggal, pakaian, dsb? Sanggup kah? Coba sini kita hitung baik-baik berapa biaya yang bakal kamu keluarkan nanti, bla bla blaa…
Dari jawaban host family ku tersebut mentalku jadi down dan memutuskan untuk berubah haluan dari S2 ke kerja sosial dulu sambil cari-cari solusi demi meraih mimpi.

Hal tersebut tidak terjadi pada host family ku saja, teman Jerman, rekan kerja ku yang tanya mau apa di Jerman nantinya, kalau aku jawab mau sekolah, mereka pasti bilang, wow, semoga kamu bisa ya, sekolah sambil kerja itu nggak mudah lo, bla bla bla….

Padahal tiap kali aku curhat pada ibu, teman-teman Indonesia, mereka PASTI bilang, ayo semangat! kamu pasti bisa, nggak ada yang nggak mungkin! sudah sejauh ini kok, aku yakin pasti bisa, deh!. Aku tahu dibalik pikiran mereka (yang juga pikiranku), pasti ada kekhawatiran yang sama yang dipikirkan Orang Jerman, bedanya, orang Indonesia selalu percaya bahwa segala perkataaan adalah doa, perkataan yang baik akan menjadi doa yang baik yang semoga dikabulkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, mereka memilih untuk tidak mengutarakan kepesimisan dan lebih menguatkan satu sama lain.

Mengapa orang Jerman begitu skeptis? Orang Jerman cenderung berpikir logis dan selalu mengaitkan segala sesuatu dengan logika dan fakta yang ada. Kalau tidak ada fakta dan bukti atau sumber yang terpercaya, mereka tidak mudah untuk menerima sebuah asumsi atau teori. Oleh sebab itu, banyak orang Jerman yang tidak percaya Tuhan, karena keberadaannya tidak mampu dibuktikan oleh akal dan visual manusia.

Orang Indonesia: PRAGMATIS

Aku cinta Indonesia, kebudayaannya, makanannya, dan persatuan yang diciptakan dari keaneka ragaman nusantara. Meski demikian, aku ingin bersikap netral terhadap pandanganku kepada orang Indonesia. Menurutku, setiap individu dari mana pun mereka berasal punya sikap, sifat dan pandangan sendiri-sendiri yang dipengaruhi berbagai macam faktor  lingkungannya.

Meski aku orang Indonesia, aku tidak serta merta selalu mengagungkan orang Indonesia sebagai orang yang berbudi pekerti agung, manusia dengan etika terbaik sedunia, tentu saja tidak. Tidak ada manusia kecuali nabi yang berbudi pekerti sempurna dan budi pekerti tidak dipengaruhi oleh faktor budaya.

Orang Indonesia (bahkan diriku sendiri) memang cenderung pragmatis. Orang Jerman dalam bermain bola, mereka akan selalu memikirkan dengan seksama, tidak hanya bermain dan berorientasi pada memasukkan bola ke dalam gawang saja, namun mereka juga teliti dalam hal  teknik, metode, mempelajari lawan, dsb, karena sifat mereka yang memang cenderung was-was dalam segala hal. Kalau orang Indonesia cenderung praktis dan malas memikirkan, meneliti, dan mempertimbangkan kondisi, situasi, sehingga sering mereka salah spekulasi, menyesal, dan baru belajar. Dalam memandang sesuatu, aku juga cenderung tergesa-gesa dan lebih suka menghindari dampak negativ dari sesuatu tersebut. Kalau berhasil ya syukur, kalau nggak ya dicoba lagi, begitu.

Begitulah, mental orang Indonesia dan orang Jerman yang berlainan dalam memandang masa depan. Semoga dengan membaca artikel ini, kita jadi lebih tahu dan mengenal budaya orang Jerman, termasuk orang-orangnya. Agar kita tidak tersinggung dan salah paham jika bergaul dengan mereka

Jangan lewatkan juga topik menarik tentang :10 Shocking Things about Environment you’ll find in Germany as you are Indonesian

Viele Grüße aus Hamburg

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *