Apa yang membuat kita mencintai sebuah tempat? Apakah keindahan pemandangannya? Ataukah kelezatan cita rasa masakannya? Atau keramahan penduduknya…. Untukku, aku jatuh cinta pada sebuah tempat karena kenangan yang tercipta di sana….

Masih di Kota Rotterdam bersama sahabatku, yang sama-sama berasal dari Malang, Gladys. Kalau kalian ingin mengetahui bagaimana aku bertemu dengannya, silakan baca kisah perjalananku sebelum ke Jerman, part 4: Sahabatku yang cantik. Di situ, aku menyebutnya dengan nama Della.

Kami memulai perjalanan keliling Eropa yang bahkan sudah  kami rencanakan sebelum datang ke Jerman. Awal kisahnya sebelum sampai di bagian ini, bisa kalian baca dulu:

Berlin dan Kenangan Yang Terendap Di Sana
Düsseldorf-Köln: Se-mengenaskan itukah Kami Ini?
Köln: Petir dan Sempitnya Dunia Ini
Amsterdam: Menculik Anjing Dari Bapak Yang Aneh
Hitchike Amsterdam-Rotterdam: Minyak Goreng Pengganti Bensin
Rotterdam: Serasa Pulang Kampung
Delft-Den Haag: Tuhan Menciptakan Dunia, Orang Belanda Menciptakan Belanda

Hari ketiga di Rotterdam, Mbak Evi dan Johan mengantarkan kami keliling kota. Saat di Amsterdam bersama bapak couchsurfer yang aneh, kami sering merasa terintimidasi karena kebenciannya kepada Jerman. Gladys dan aku sering salah mengucapkan: Danke, padahal kami harusnya bilang Thank you atau dank u well (bahasa Belandanya terima kasih). Kalau sudah salah omong seperti itu, bapak tersebut akan bilang, “Ini Belanda, bukan Jerman!”

Hallooooooooooooo…. kalau banyak orang Belanda yang membenci Jerman karena sempat diporak porandakan dan dikuasai selama 3 tahun saja, bagaimana dengan kami rakyat Indonesia yang pernah kalian jajah selama 350 tahun lamanya? Biasa aja kaleeee. Aku dan Gladys sering menggerutu soal hal itu.

Setelah kehancuran kota Rotterdam menjelang perang dunia kedua, kota ini menjadi kota yang paling interaktiv dan terbuka dengan design arsitektur dan bangunan baru. Coba lihat kota Rotterdam sebelum dibom dan sekarang:

Sebelum…..

Seperti sebagian besar kota di Eropa, sebelumnya Rotterdam juga punya banyak sekali gedung-gedung kuno.  Sekarang…..

Kami sayangnya tidak sempat pergi ke Kinderdijk untuk melihat kincir angin, tapi Johan mengerti keinginan kami untuk menyaksikan kincir angin yang selalu menjadi ciri khas kota Belanda. Kami pun diajak ke sebuah sudut kota (masih di Rotterdam) untuk melihat kincir Angin dan masuk ke dalamnya.

Ini dalamnya kincir angin, roda penggiling gandum

Meskipun hingga saat aku menulis ini, aku sudah beberapa kali mengunjungi Belanda, namun pikiranku masih saja sering terkagum-kagum dengan keteraturan dan kecanggihan mereka dalam menata segala sesuatu. Contohnya, jembatan yang bisa terbuka dan tertutup kalau ada kapal lewat. Selain itu, bus amphibi yang bisa dikendarai di darat maupun di air. Pasti kalian berpikir katrok banget deh aku ini. 😛

bus di darat
bus di air
Perhatikan Jembatan kecil yang dibuka saat kapal mau lewat
Jembatan besar di belakangku ini juga bisa dibuka tutup

Masa kolonialisme Belanda di negara kita rupanya juga membawa efek bagi negeri kincir angin ini. Tak terhitung banyaknya kami menjumpai toko atau restoran Indonesia atau sekedar orang lewat yang memakai bahasa Jawa atau Indonesia, patung dan nama jalan yang menggunakan nama khas Indonesia, dsb.

patung prajurit bambu runcing
sebuah monumen
jalan dengan nama Batavia

Kami cukup puas mengelilingi kota Rotterdam yang terbilang melelahkan juga untuk ditelusuri meskipun tidak begitu besar. Berikut adalah foto-foto di pusat kota yang penuh dengan bangunan modern:

di sekitar rumah kubik dan gedung pensil
Rumah Kubik
gedung pensil
masih di pusat kota
bangunan baru, saat kami di sana, bangunan ini masih belum sepenuhnya jadi. Bangunan ini merupakan apartmen-apartmen yang di tengahnya terdapat plaza untuk pasar.
Maaf blur. Kami juga sempat menyusuri lorong bawah sungai yang dulunya digunakan sebagai lorong penyebrangan. Masih dipakai sampai sekarang untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda meskipun nggak seramai dulu. Sedikit angker.:D
Di pelabuhan tua

Sepulang dari menyusuri kota, kami pulang dan lagi-lagi Johan serta mbak Evi baik sekali telah menyiapkan cemilan khas Belanda yang sangat aku suka.

Bitterballen. Bola-bola kentang dan daging giling yang lembut dan langsung meleleh saat digigit. Kami menikmatinya sembari menonton film komedi kesukaan Johan.

Demikian cerita dari kota yang sempat rata dengan tanah ketika Jerman menyerang Belanda pada tahun 1942 lalu menaklukannya. Mungkinkah kita berpikir, kalau saja Rotterdam tidak dihancurkan Jerman saat itu, dan Belanda tidak hengkang dari bumi Indonesia,  apakah Indonesia bisa mendeklarasikan kemerdekaan di tahun 1945? Sampai kapan kira-kira Belanda menjajah bangsa Indonesia kalau mereka tidak dihentikan secara paksa saat itu?

Bersambung…. Taman Nasional Veluwezoom: Abang Gerobak Dorong

Comments

  1. Bitterballen, itu kayak bakso ya , kalau di indo , mbak?
    lorong bawah sungai yang dulunya digunakan sebagai lorong penyebrangan. Kini sudah tidak terpakai lagi. Sedikit angker. mbak itu tempat yang seram kah?

  2. kata adeknya mbah yg di Dieren org Belanda gak suka sm orang Jerman, ternyata benar. hehe
    beliau juga pernah cerita tuh rumah kubik itu, duh jadi penasaran

  3. Wuihhhh Rottyyy…..

    Jujur paling seneng kalo ke Belanda main ke Rotty. Banyak gedung aneh, hahaha. Tapi emang sih. Arsitek Belanda pinter-pinter banget. Gak usah jauh-jauh ke Belanda. Liat deh bangunan Belanda di Indonesia, awetnya bukan main.

  4. kalau ditanya soal tempat , saya menilai dari keindahanya…kesejukanya aroma udara yang segar…. neng….ngomong ngomong neng mantan Alumni Jerman ya..?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *