Sebagai orang Indonesia, wajib hukumnya bagiku mampir ke restoran Indonesia di mana pun mereka berada. Kalian pasti sedih banget mendengar ini: tak banyak restoran Indonesia di Jerman. Kalau di Belanda mah jangan ditanya lagi. Di Jerman, restoran Asia dengan titel Resto Jepang (Sushi), Resto Vietnam dengan sup pho andalannya, dan Resto Thailand lebih sering kita jumpai di penjuru kota.

Saat di München, aku sempat mengunjungi Restoran Bali satu kali (sebelum akhirnya tutup karena sepi pengunjung) dan Restoran Garuda beberapa kali (yang masih eksis sampai sekarang). Di Hamburg, Resto Jawa adalah restoran Indonesia yang paling terkenal dan mungkin satu-satunya (sejauh yang aku ketahui, beberapa tahun yang lalu di buka juga Resto Indonesia di sekitar Hafencity, dan akhirnya tutup juga karena sepi pengunjung dan terlalu mahal).

Kalau kalian jalan-jalan ke Hamburg dan pengen nyobain masakan Indonesia, silakan mampir di Restoran Jawa:

Jawa Resto Hamburg
Wendenstraße 29, 20097 Hamburg
Jam buka: Senin- Kamis : 11.30-19-00
                 Jumat dan Sabtu:  11.30- 22.00
                 Minggu TUTUP

Telepon: (+49) 40 23998787

Kalau kalian turun di stasiun utama Hamburg (Hauptbahnhof) ambil Subway (Sbahn nomor S3 atau S31 jurusan Neugraben, Stade, Buxtehude, atau Harburg Rathaus, jangan ke arah sebaliknya (Altona, Pinneberg), hanya satu stasiun saja dari HBF, turun di Stasiun Hammerbrook City Süd. Ambil Exit paling belakang dan keluar, lalu dari sana cari jalan Wendenstrasse, sekitar 3 menit (kalau jalannya orang Indo yang santai manjah, bisa 5-7 menitan hehehe). 

Harus aku akui bahwa Restoran Jawa di Hamburg ini memegang rekor restoran Indonesia ter-enak di Jerman (versi diriku sendiri sih) :D. Beberapa kali mengunjungi restoran Indonesia di seputar Jerman dan Belanda, belum pernah menemukan rasa seotentik restoran Indonesia di Hamburg. Rasa pedasnya, bumbunya, sambal terasinya, baksonya, mienya, martabaknya, semua rasa asli Indo. Harus aku akui aku kesana lebih dari 20 kali dan mencoba banyak makanan (terutama yang paling aku kangenin). 🙂

Kalau ke sana pas jam makan siang (yakni pukul 12.00-16.00), kita bisa dapat harga miring (bandingkan menunya dengan melihat daftar menu di bawah ini). 

Restoran Jawa ini meskipun tempatnya luas, tapi kalau ke sini pertama kali, pasti dibuat bingung karena penampilan dari luar nampak seperti gedung perkantoran biasa. Kita harus masuk ke dalam dan di lantai dasar gedung pertama sebelah kanan, kita akan menemukan restoran ini.

dari luar

setelah masuk gedung


Kalau ke baru pertama kali ke Resto Jawa ini, saya sarankan bersama teman, alasannya: 

1. Porsinya melimpah

Bisa dimaklumi kalau pas ke restoran Indo di luar negeri, apalagi pas lapar banget, kita pesannya macam-macam yang pada akhirnya, nggak habis. Kalau nggak habis, minta dibungkus saja. 

Aku biasanya ke sana dengan 2-6 orang teman yang hanya pesan 2-4 porsi makanan saja. Karena porsinya yang besar banget (porsi orang Eropa). 

Berikut daftar menu:


 Daftar menu diatas adalah daftar menu makan malam. Berikut adalah daftar menu makan siang (Harga lebih murah, tapi pilihan menunya terbatas):

Kalau ingin pesan dari menu makan malam, kita bisa minta pelayan untuk membawakan daftar menu makan malamnya.

2. Pengalaman Buruk

Datang ke restoran ini sendiri rasanya seperti mimpi buruk. Dalam menulis review, aku akan berusaha menulis sejujur-jujurnya. Pengalaman ini ternyata tak hanya aku alami sendiri, tapi beberapa review di google juga menyebutkan hal serupa.  Memang meskipun aku pernah sangat dikecewakan, tapi karena resto ini merupakan resto Indo satu-satunya di Hamburg, tetap saja aku datang dan datang lagi :). Ceritanya seperti ini:

Entah kenapa waktu itu saya ngidam pengen Bakso. Luar biasa sekali sehingga detik itu juga saya ingin makan bakso. Tak berhasil mengajak teman maupun pacar karena mereka semua kerja, aku akhirnya memutuskan ke Resto Jawa sendirian. 

Di sana seperti orang linglung, aku diacuhkan. Akhirnya aku memilih tempat duduk sendiri (padahal kalau masuk ke Resto di Jerman, pelayannya menyambut dan memilihkan tempat duduk untuk kita). 

Aku duduk sendirian di meja yang terdiri dari 4 bangku. Kulihat di sekitarku, banyak pengunjung dari Indonesia yang datang dengan kawan-kawan dan asik ngobrol (seperti yang biasanya aku lakukan juga). 

Waktu itu jam makan siang sudah habis (aku datang pukul 16.30), tak ada pelayan yang peduli bertanya aku mau pesan apa. Setelah lebih dari 15 menit menanti, akhirnya ada yang menghampiriku dan bertanya aku mau pesan apa. Aku pesan bakso dan es teh. 

Setelah agak lama menunggu, pesananku tak kunjung datang, seseorang dibalik meja bar kudengar meneriakiku dengan bilang, “Yang pesan bakso? Mienya mau mie putih atau mie kuning?”. Busyet, memang benar ini restoran Indonesia, tapi di Jerman nggak ada etika pelayan restoran meneriaki pelanggan seperti itu. Karena tak ada yang menjawab, aku pun segera sadar bahwa yang dimaksud itu aku. Aku pun menjawab, “Mie putih”.  

Bakso panas yang aku idamkan akhirnya datang. 

Lagi-lagi dari balik meja bar, seseorang meneriakiku, “Es tehnya habis, mau teh biasa?”. Aku merasa jengkel sekali DITERIAKI seperti maling seperti itu. Akhirnya aku bilang, “Iya gak apa-apa!”

Pikirku, aku bakal dikasih teh Sariwangi khas Indonesia, ternyata, teh hijau di teko besar yang aku dapatkan. Apa-apaan nih, bakso saja udah kenyang minum kuah, nah ini disuguhin kuah segentong lagi. 

Aku masih menahan amarah sampai akhirnya aku menemukan benang yang nyangkut di sela-sela mie putih baksoku. Aku pun memanggil pelayan dan protes. 

Pelayan itu rupanya hanya bisa bahasa Jerman, untungnya aku juga bisa bahasa Jerman sehingga bisa melampiaskan kemarahanku. 

Aku protes karena disuguhi teh hijau segentong dan ada benang di baksoku. Mereka pun meminta maaf. Seharusnya, di Eropa, aku bisa menuntut restoran ini karena aku masih disuruh membayar setelah dikecewakan dan baksonya tidak diganti secara utuh (alasannya, karena baksonya mau habis, uuh). Tapi karena lagi-lagi aku ingin restoran rasa otentik ini masih eksis, cukup aku kasih review saja di sini. Aku pun membayar, tapi dengan harga separuh. 

3. Pelayanannya kurang ramah

Di banyak restoran Indonesia di Eropa yang pelayannya asli orang Indonesia, pasti kita akan merasakan seperti dilayani dengan ramah dan hangat. Pelayan di restoran ini menurutku jauh dari kesan orang Indo yang ramah dan hangat (bahkan anak dan dari pemilik restoran ini adalah orang Indo-Cina yang lahir dan besar di Jerman, sehingga meskipun dia bisa bahasa Indonesia, dia lebih sering berbahasa Jerman, dan sangat cuek). Mereka juga nggak seperti orang Indo lainnya yang kepo dan berbasa-basi (bisa dimaklumi kalau resto ramai pengunjung). 

Meskipun demikian, sering aku jumpai pelayan orang Jerman yang keturunan Indonesia juga melayani dengan ramah dan lebih sering tersenyum ketimbang pemilik dan anaknya sendiri. Banyak temanku yang juga kerja di sini. Aku pun juga sempat ingin kerja di sini, tapi kuurungkan karena susah mengatur waktu, alasan lain, karena jadi waitress dan kerja di restoran itu gajinya kecil, capeknya setengah mati. 

Saat mengajak teman Jerman ke resto ini, mereka mengomentari beberapa hal soal pelayanan di resto ini: Biasanya kalau di Jerman, pengunjung datang, ditanya mau minum apa, lalu disuguhi minumannya dulu, baru datang makanan pembuka, setelah makanan pembuka habis, baru datang makanan utama, dan baru penutup. Saat kami ke sana. Makanan pembuka dan makanan utama dihidangkan secara bersamaan, setelah sekian lama menunggu baru minuman. Bayarnya juga di meja bar (meskipun kita bisa minta pelayan untuk datang memberi bill di meja kita). Kata temanku: rasa dan pelayanannya sama persis kayak di Indo, ya! Meskipun kita berharap rasa ala Indo, pelayanan ala Jerman. ?

Jadi, jangan ambil resiko untuk merasa kesepian dan galau dengan datang ke Resto Indo Sendirian. Ajak teman biar seri dan bisa sama-sama heboh menikmati hidangan nusantara di manca negara. Lagi pula, kalau ke sini sendirian, celingukan kayak orang bingung di restoran besar, ngliat ke sana-ke sini orang-orang bersantap makan sambil ngobrol dengan teman-teman, rasanya gimana gitu. (Aku merasakannya), makanya jangan ke sini sendiri! 🙂

Info dan TIPS:

– Sebaiknya bawa uang tunai, karena mereka nggak menerima kartu kredit atau atm.

– Kalau ke resto ini, jangan lewatkan untuk memesan:

Nasi Goreng Kambing Pedas (Harga aktuel 2017 : 9,5 euro)

Bakso Campur (harap bawa kecap dan saos sendiri karena kecapnya kecap Eropa kurang sedap kalau dicampur bakso :p) harga aktuel: 7,9 euro

Penyet Lele : Nasi putih plus 2 ekor ikan lele besar dengan sambal trasi super pedas (9,9 Euro)

Batagor (7,5 euro)

Banyak menu lain yang sudah kucoba, seperti ikan bakar, sate, martabak, mie baso, mie bebek, dsb, tapi tak sejuara menu yang aku sebutkan di atas. Tentu saja seleraku bisa saja berbeda dari penilaian orang lain.

Untuk minuman, ada es campur yang benar-benar seperti es campur di Indonesia. Lalu es Cendol dan Soda Gembira. Sayangnya Bir Bintang khas Indonesia malah tergantikan Bir München (Erdinger). Teman Jermanku pernah sempat kecewa karena dia kangen sekali dengan Bir Indonesia, mampir ke Resto ini berekspektasi minum bir bintang, malah tak ada. 





porsinya cukup besar; semuanya enak dan otentik

ayam bakar bumbu rujak: harga 11,50euro

Lalapan lele: 9,9 euro

Batagor, aku selalu pesan soalnya enak luar biasa. Harga: 7,5 euro

Suasana di Resto Jawa. Jawa banget 🙂

Ayam bumbu asam manis. Harga: 8,9 euro
es campurnya super gede dan enak. Bisa buat 2-3 orang!



Sekian review Restoran Jawa di Hamburg versi aku yang cukup panjang. Jangan lupa beri tips kalau memang puas dengan pelayanannya, ya :). 

Semoga bermanfaat, kalau kalian mampir ke sini, jangan lupa kunjungi aku juga di Hamburg ya :). 

Baca juga review restoran Asia di Hamburg:
Makan malam romantis di MaiglückchenSampai jumpa di topik menarik selanjutnya….

Viele Grüße

Comments

  1. Baru tau aku mbak Kalo resto Jawa /Indonesia ada yang pelanggannya diteriaki gitu. Ih, jadi males dong kalo digituin. Perasaan selama ini di Sumatera (Riau -medan ) Kalo makan di resto atau rumah makan (rm Padang ) belum pernah sih diteriaki gitu. Walaupun pelayan nya pada teriak teriak satu sama lain. Tapi tidak ke pelanggan, biasanya nanya atau memberi tahu atau mengkodekan sesama mereka (waiters) untuk pelanggan nomor sekian itu atau ini. Kalo begitu sih, jadi mengkeretlah Kalo mau kesana selain tentunya mihil bingits.

  2. Hai, saya Heri dari Surabaya. Baru tanggal 13 Agustus tiba di Hamburg dari Cologne dan stay di Manteuffelstrasse. Kalau mau ke Resto Jawa lagi saya ikutan dong. Sekalian cari temen buat explore Hamburg. Terima kasih..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *