Tak kusangka aku sudah sampai di penghujung cerita. Kisah sebelum petualangan di Eropa kumulai. Yup, hari ini aku akan menyelesaikan kisahku yang kumulai dari patah hati, sampai akhirnya Tuhan benar-benar menunjukkan bahwa aku memang harus ke Eropa, bahwa takdirku memang harus di sini. 

Bagi kalian yang belum membaca kisah sebelumnya, diwajibkan membaca dulu, agar tidak bertanya-tanya tentang apa yang akan aku tulis di sini. 

Part 1: Semua Berawal Dari Patah Hati  
Part 2: Tak Ada Yang Kebetulan
Part 3: Jangan Menyerah! 
Part 4: Sahabat baruku yang cantik
Part 5: Percaya Saja!  

Pengurusan visa di Kedubes Jerman untuk Au Pair itu memakan waktu kurang lebih 6 hingga 8 minggu lamanya. Aku apply pada akhir November, tepatnya tanggal 22 November 2013. Sedangkan kontrak kerjaku mulai tanggal 10 Januari 2014. Belum beli tiket pesawat, nyiapin ini itu dan lain sebagainya. Kalau tiket pesawat sudah dibeli, lalu visa ditolak? wah,,,

Mari kita flashback ke tanggal 7 Desember 2013 (2 minggu setelah aku apply visa).

Akhir pekan di awal bulan Desember kala itu adalah akhir pekan yang paling mencemaskan dan paling menentukan dalam hidupku. Singkat cerita, sebelum aku pacaran, tunangan, diputuskan, patah hati dan sebagainya itu, aku pernah kerja di Gresik seelama satu tahun setengah (setelah lulus SMA). Ketiadaan biaya kuliah membuatku memilih kuliah yang murah tapi ternyata kampusnya murahan. Aku kuliah D1 di jurusan animasi (jurusan yang sama sekali tak kuminati) dan tak terpakai untuk hidupku. Pikirku saat itu, karena iming-iming pihak kampus (yang sekarang sudah dibubarkan), kerja setelah dapat diploma, aku jadi tertarik dan hutang sana-sini untuk kuliah. Ternyata, semuanya bohong. Akhirnya aku banting stir, kerja jadi penyortir udang di sebuah pabrik di Kawasan Industri Gresik (KIG)

Tinggal di Gresik merupakan sebuah kenangan mengesankan yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Aku cinta Gresik. Kota kecil yang panas, tapi sejuk dengan nuansa rohaninya yang sangat kental. Aku selalu merindukan Gresik. Hidupku di Gresik bisa dibilang bahagia. Aku seperti menemukan tempat di mana aku akan settle down. Yaitu Gresik. 

Meskipun pekerjaan yang kujalani bisa dibilang berat, aku sangat menikmati hidupku saat itu. Aku saat itu menilik sebuah kesempatan untuk bekerja di pabrik yang besar seperti Petrokimia Gresik atau PT. Semen Gresik. Tapi sayangnya, mereka membutuhkan lulusan sarjana. Aku pun tak bermimpi kerja di sana lagi, boro-boro jadi sarjana, jadi buruh pabrik di Mie Sedap aja sudah bisa dibilang cukup bergengsi bagiku saat itu. Aku pasrah. 

Tuhan ternyata punya kehendak lain. Ayahku yang saat itu punya pacar orang Prancis menawariku untuk kuliah lagi. Aku pun bersemangat. Pacarnya yang membiayai tiap semester, ayahku yang mengirimiku jatah tiap bulan. Faktor umur yang sudah menua tak bisa membuatku masuk jalur SMPTN ke Universitas Negeri, akhirnya aku memilih kuliah di kampus swasta. Meski dengan terseok-seok, aku akhirnya lulus juga dari Universitas. 

Aku sempat kembali lagi pada mimpi dan tujuanku kuliah saat itu: untuk melamar kerja di Gresik dan kembali ke kota favoritku itu. Dan aku masih ingat dilema yang mengguncang pikiran serta membingungkanku pada tanggal 7 Desember saat itu adalah: 

Temanku, salah satu teman di kampus tiba-tiba menelepon, sebut saja namanya Inez:

“Hey Girin! Kamu sudah dapat kerja belum?” 
“Belum, Nez, emang kenapa?”
“Gini, aku kan udah kerja nih!”
“Wahh,,, cepet banget, baru juga lulus, udah dapat kerja aja! Ngajar di mana?” tanyaku. Kami dengan titel sarjana pendidikan, pasti asumsi pertama kalau dapat kerja ya di sekolahan. 
“Nggak ngajar. Aku kerja di Gresik. Di Petrokimia. Nah, berhubung ini ada lowongan, aku ingin kamu masuk juga. Kan kamu pernah kerja di Gresik, jadi diantara banyak teman, aku pilih kamu, gitu!”

Deg. Aku terhenyak. Tawaran kerja di Petrokimia. Ini kan pekerjaan yang aku impi-impikan 4 tahun yang lalu. Pekerjaan yang membuatku bersemangat kuliah lagi. Begitu lulus dan dapat kerjaan ini, aku malah dilema setengah mati. Akhirnya aku ceritakan ke Inez kegalauanku, tentang rencanaku ke Jerman dan tentang aku yang menunggu diijinkannya visaku.

“Emang sudah pasti kamu bakal ke Jerman? Sayang banget loh, lowongan ini cuma ada satu, Rin!” 
“Aku belum tahu juga, Nez. Kemarin waktu interview di Kedubes ancur banget.”
“Kira-kira kamu dapat kepastiannya kapan?”
“Enam minggu lagi!”
“Waduh, Rin. Kita butuhnya cepet. Kalau minggu depan kamu belum ngasih kepastian, aku lempar ke kawan yang lain!”

Ya Tuhan, bagaimana ini. Aku seperti berjudi, bertaruh dengan nasibku sendiri. Kalau aku menunggu visaku itu dan menolak pekerjaan impianku ini, sama saja dengan aku bodoh melewatkan kesempatan emas di depan mata. Ya kalau visa itu diijinkan? Kalau ditolak?
Di sisi lain, kalau aku menerima pekerjaan ini dan mengabaikan visaku, berarti aku tidak konsisten dengan mimpi dan tujuan hidupku. Tapi dua-duanya mimpiku. Kalau aku sudah menolak pekerjaan ini, lalu visaku ditolak? Aku kehilangan dua mimpi sekaligus di waktu yang bersamaan. Pasti akan menyakitkan sekali. 

Aku merenung meratapi dilema semalaman. Ibuku juga ikut bingung, karena beliau tahu bahwa nggak mungkin kedubes Jerman memberikan visa itu dalam kurun waktu 2 minggu saja. Kalau kita tanya kejelasannya, seperti seolah memaksa kedubes saja. Nanti malah benar-benar ditolak. Aku galau, benar-benar galau. Hidup dan masa depanku ditentukan oleh satu keputusan saja. 

Tuhan rupanya tak membiarkan aku berlama-lama hidup dalam kegalauan, setelah sebelumnya hidupku diliputi kegalauan karena patah hati selama hampir 2 tahun. Dia rupanya memberiku kemudahan saat itu. 

Satu hal yang sangat mustahil terjadi. TEPAT DUA HARI, setelah Inez telepon, aku masih ingat, waktu itu hari Senin, tanggal 9 Desember 2013, pagi pukul 08.47, sebuah telepon dari kedubes Jerman memberi jawaban atas kegalauanku. 

Kedubes Jerman di Surabaya menerangkan bahwa Visaku telah disetujui, paspor yang aku tinggal di Jakarta sudah dikirim ke Surabaya dan bisa diambil scepat mungkin. 

Bayangkan. Hanya 15 Hari pengurusan, Visaku sudah di tangan. Padahal, Della membutuhkan waktu hampir 2 bulan, dan rata-rata pengurusan Visa Au Pair (seperti yang aku jelaskan sebelumnya) memakan waktu 6-8 minggu. Seperti sebuah keajaiban dan jawaban agar aku memang memantapkan jalan ke Jerman. Menggapai satu mimpi, yakni berada di Eropa, bukan mimpiku yang lain (di Gresik). 

Di saat dua mimpi akan terwujud secara bersamaan, aku harus memilih satu mimpi yang harus kuwujudkan. Namun saat aku tidak tahu mimpi mana yang harus aku pilih, Tuhanlah yang akan memilihkannya untukku. Akhirnya, Nadja memesankan tiket pesawatku, dan satu bulan setelahnya, aku berada di Jerman, memulai mengarungi benua ini, dan mewujudkan mimpi-mimpi lain yang masih belum terwujud. 

Selesai…..

Comments

  1. Pengalaman bekerja (sebelum kuliah s1) dan perjuangan ke Jerman kak Girindra benar-benar wow!! Aku ikut dag dig dug baca part yang dilema itu…

  2. visaku ditolak, aku sedang ajukan banding dan sudah 2 minggu blm dpt kabar lagi.
    aku mengalami hal serupa, mamaku yg selalu membesarkan hatiku, aku bahkan meninggalkan banyak hal demi impianku itu.
    sekarang aku malah berserah pada Tuhan. senang rasanya baca tulisanmu kak. merasa tidak sendiri. hahaha…
    visa oh visa
    eropa oh eropa

  3. Subhanallah… kisah penuh hikmah rinnn… au dulu ketemu pean cuma sekali. Au dulu cuma menilai pean, bahwa pean itu adlah tipe wanita sing gelem soro.. ternyata benar. Aku suka kisah pean ini..

  4. Saya dari sejak semester genap kelas 12 suka baca blog yang berhubungan dgn Aupair di Jerman, sampai akhirnya saya kuliah di jurusan B.Jerman di UNY dan karena sibuk kuliah, kebiasaan membaca blog pun terhenti, dan malam ini saya baca blog mba girin tanpa sengaja dari awal cerita ini sampai akhir, ya Allah mba bener2 cerita yang sangat memotivasi diri saya banget, menjadi aupair di jerman adl salah satu cita2 saya ?. Saya berdoa semoga mba bisa segera mengeluarkan novel tentang perjalanan yang penuh dengan pertolongan ini. Sukses selalu mba ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *