Beberapa minggu yang lalu, aku sempat jalan-jalan ke terowongan bawah sungai, Elbtunnel Hamburg bersama salah satu teman sekelas yang berasal dari Amerika. Setelah ngobrol ngalor ngidul dan ditraktir beli es krim olehnya, aku melihat jam dan terkejut karena tak terasa sudah hampir 6 jam kita ngobrol dan duduk di tepian sungai Elbe itu.
Baca juga: Elbtunnel Hamburg: Spot Gratisan, Bersejarah, dan Unik di Hamburg
Aku kemudian mencetuskan satu hal kepadanya, “Kenapa ya kalau ngobrol ama kamu, orang Amerika, aku bisa ngobrol lepas, ketawa lepas, tanpa putus-putus dan kehabisan bahan obrolan. Hal ini tak terjadi denganmu saja sebenarnya, tahun lalu, saat aku kenal dengan gadis Amerika, kita juga tak henti-hentinya ngobrol. Nggak mungkin banget deh ini terjadi pada orang Jerman.”
Dia tertawa, lalu katanya, “Hal ini mengingatkanku satu hal saat aku kenal sama cewek Jerman. Dia suka traveling juga. Dia pernah menuturkan padaku bahwa sebagai orang Jerman, dia nggak suka orang Jerman lainnya, karena mereka itu kaku dan dingin, makanya sekarang dia nggak tinggal di Jerman. Saat aku bilang bahwa dia kan juga orang Jerman, cewek itu malah bilang ‘Yeah, I know, life is so hard’. “
Kami ketawa ngakak. Obrolan seputar stereotype orang Jerman seperti ini memang tak ada habisnya. Meskipun kita tahu bahwa nggak semua orang seperti ini, seperti itu, nggak semua orang bisa dinilai berdasarkan negaranya, dan nggak semua orang berhak ditebak berdasarkan budayanya. Namun, secara tidak kita sadari, budaya dan negara tempat kita dibesarkan juga sangat mempengaruhi pola pikir kita. Contohnya saja nih, mental orang Jawa dengan orang Medan yang sama-sama berasal dari Indonesia pasti udah beda. Jangan jauh-jauh ke Medan, stereotype orang Madura di mata orang Jawa saja sudah beda. Hal ini tidak bisa kita ingkari, bukan?
Bitte Abstand Halten!! Kalau di Indonesia, tulisan ini ada di belakang bamper mobil atau truk. Apa coba? Bisa nebak nggak?. Yup! Tolong Jaga Jarak! Namun, konotasi jaga jarak di sini bukan jaga jarak dalam mengendarai kendaraan bermotor, melainkan jaga jarak atau menutup diri dari kedekatan dengan orang-orang sekitar. Bukan pula dalam konteks berjubel-jubel di kendaraan umum, namun lebih ke urusan hati dan perasaan. Lebih simpel dikatakan, jaga jarak di sini adalah membatasi diri dari orang lain.
Sekali lagi, tak semua orang Jerman menjaga jarak dari orang lain, mereka pun sebenarnya kurang setuju dibilang jaga jarak. Hal ini karena mereka pikir, mereka menghargai privasi dan hak-hak orang di sekitar mereka tanpa terlalu jauh terlibat ke dalam urusan masing-masing individu. Namun, bagi orang asing, terutama orang yang berasal dari budaya timur seperti Indonesia ini, orang Jerman terbilang amat sangat membatasi diri mereka sendiri alias jaga jarak.
Mengapa seperti itu?
1. Zona pertemanan
Orang Jerman suka mengelompok-lompokkan sesuatu dengan amat detail dan terperinci. Lihat saja dari Bahasanya. Bahasa Jerman termasuk bahasa yang susah dan rumit untuk dipelajari.
Baca juga: 10 Hal mengejutkan tentang Bahasa Jerman
Tak hanya bahasa, orang Jerman juga secara tidak langsung, mengelompokkan keakraban mereka dengan orang-orang di sekitarnya. Misalnya, kalau orang menikah, mereka tidak akan mengundang seluruh teman di satu kelas, melainkan teman yang akrab saja. Bahkan bos dan guru juga tak akan diundang, karena ada batasan (Zona), antara guru dengan murid, antara teman dan rekan kerja, apalagi bos.
Aku pernah tanya pada Tobi apakah dia akan mengundang bosnya kalau menikah. Dia bilang, “Gila aja, dia kan bukan temanku!”
“Nah kan dia bosmu!”
“Bos kan bukan teman, mau ngapain dia di acara nikahku. Lagian kalau aku undang, dia juga nggak bakal datang.”
Kalau di Indonesia, kita pasti sungkan banget nggak ngundang orang yang kita hormati di acara besar seperti acara nikah dan pesta yang kita adakan. Tapi orang Jerman punya zona mereka sendiri dimana mereka harus jaga jarak agar tidak saling simpang siur.
Baca juga:10 kategorisasi teman menurut orang Jerman
2. Menjaga Privasi
Seputar menjaga privasi, sudah sering aku singgung sebenarnya di blog ini. Bahwa orang Jerman ingin haknya ditinggikan seperti mereka meninggikan hak orang lain. Bahkan seorang bos pun tak berhak memindah mindah posisi karyawan seenaknya seperti memindahkan hewan dari kandang satu ke kandang lain tanpa meminta izin atau berbicara dulu terhadap anak buahnya.
Di Jerman, kesejahteraan buruh dan anak buah adalah faktor penting penunjang keberhasilan sebuah perusahaan, sehingga perusahaan-perusahaan sangat menghargai kesejahteraan karyawannya, termasuk menjaga privasi dan mempertimbangkan keinginan mereka.
Demikian juga halnya dengan hubungan mereka dengan orang lain, mereka tak ingin mencampurinya karena mereka tak ingin urusannya dicampuri. Ini menjadikan orang Jerman menjadi orang yang sulit akrab dengan orang baru, karena kedekatan hubungan seseorang itu bisa dilihat seberapa dekat hati mereka, seberapa jauh mereka mengenal satu sama lain. Ketika orang Jerman terlalu takut untuk melangkahi privasi orang lain, mereka juga akan sulit dekat secara personal dengan orang tersebut. Hanya dekat di luarnya saja tidak bisa dikatakan dekat di hati, bukan?
3. Skeptis
Orang Jerman termasuk orang yang takut akan masa depan. Ketakutan ini bisa berbentuk kecurigaan terhadap orang lain, takut hal-hal yang membahayakan dan takut akan penipuan, dsb. Bahkan sebelum aku berangkat ke Jerman, setelah kami ngobrol panjang lebar soal keluarga lewat whatsapp dan membelikanku tiket pesawat untuk terbang ke Munich, dia tiba-tiba bilang, “Kami sekarang hanya bisa berharap bahwa kamu bukan seorang penipu.”
Loh? Mau nipu gimana? Setelah ketemu langsung dengannya di Munich, dia menjelaskan bahwa banyak kasus keluarga calon host family ditipu au pair.
Baca juga: Orang Jerman Vs Orang Indonesia: Skeptic Vs Pragmatic
4. Rasis
Isu-isu soal rasism di Jerman sangat rentan dan agak tabu untuk dibicarakan. Orang Jerman mendidik anak mereka supaya melihat dan memperlakukan sama orang yang berbeda dari mereka (secara fisik, termasuk warna kulit dan rambut, juga bahasa. Sehingga kalau kita di Jerman, tak akan ada orang yang menganggap kita Bule dan aneh karena di Jerman, orang-orang bercampur baur, tak hanya dari Jerman saja, tapi juga dari berbagai manca negara.
Meskipun demikian, sayangnya Pegida dan bekas-bekas Nazi masih ada di Jerman, bahkan banyak. Mereka begitu anti dengan orang asing dan menentang pendatang serta pengungsi karena mereka takut para pendatang itu akan secara perlahan merebut dan menguasai perekonomian negara.
Banyak juga alasan-alasan lain mengapa orang Jerman begitu menjaga jarak dan susah akrab dengan orang baru. Faktor budaya dan kebiasaan juga sangat berpengaruh. Mereka melihat lingkungan, kebiasaan orang tua, orang lain, dan keluarga seperti itu, jadi tak ada yang aneh jika mereka juga seperti itu.
Semoga informasi tentang orang Jerman dan budayanya, ya!
Makin keren nih templatenya… Makin mahir edit edit tema.. Belajar dari mana tuh neng…
Dapet temen ngobrol dari US ya neng, ngobrol bisa nyambung santai asyik kalau lawan ngobrolnya ada kesamaan rasa, neng
Hhahha, edit template sampai kepala nyut nyut nih…. belajar otodidak atuh mas, semua bisa dipelajari lewat mbah google,,, belajar dari artikelnya trikpos juga…. 🙂
iya betulll… 🙂