Kalau kita punya sebuah mimpi, aku yakin, Tuhan akan mengarahkan kita untuk bertemu dengan orang-orang (yang seperti diberi sinyal oleh-Nya), untuk menunjukkan jalan kita meraih mimpi itu. Seperti pertemuanku dengan sahabatku di München, sebut saja namanya Astri.
Kalian tak akan percaya bahwa dibalik senyum termanis yang dipunyai seseorang seperti Astri, terkadang menyimpan duka pahit yang menjalar, kompleks dan hampir membunuh otak serta jiwanya. Aku tak paham, dan sampai sekarang pun tak bisa paham, bagaimana bisa wanita ini begitu kuat.
Aku bertemu Astri di München. Lagi-lagi lewat sebuah sosial media. Berbeda dari Yola yang kutemukan lewat Facebook, Astri kukenal lewat Couchsurfing. Berbeda lagi dari Yola yang biasa saja saat pertama kali bertemu denganku, dari text pertama yang dia kirim kepadaku, kulihat Astri sama antusiasnya untuk bertemu denganku. Umurnya sama denganku, bersamanya, aku malah merasa menjadi adik yang perlu sebuah nasehat, karena pengetahuannya tentang Jerman (dan cowok Jerman) sudah lebih matang. Aku dan Yola berguru padanya, semenjak hari pertama kami bertemu.
Hari itu, satu minggu setelah aku bertemu dengan Yola. Bersama Yola pula, aku menemui Astri. Alasannya satu: Aku dan Astri buta jalan, kami tak tahu harus naik apa, harus ke mana, sedangkan Yola sudah seperti sesepuh dan juru kuncinya München. Tanpa ngecek app dan melihat peta, dia langsung tahu, kami harus digiring ke mana. Kami seperti dua ekor bebek, dan Yola yang 8 tahun lebih muda dari kami itu seperti gembalanya.
Meski kita tak bisa menilai kedewasaan seseorang lewat umurnya, tapi saat kami bertiga ngobrol, Yola lebih sering diam dan mendengarkan, ketimbang menimpali, dia memang terlihat masih sangat bocah. Aku dan Astri yang sudah lebih banyak makan asam garam kehidupan pun saling cerita ngalor ngidul, tentang pacarnya, tentang kehidupannya di Semarang dulu, dan tentang mimpinya ke Jerman. Yola seperti gembala bebek yang mendengarkan kami ber-kwek kwek ria.
Yola kali ini lebih waras ketimbang minggu lalu. Dia tak lagi mengajak kami window shopping, dan tak menyesatkan kami dengan belanja ke Kult Fabrik. Hari itu, kami jalan-jalan ke Alianz Arena, stadion mewahnya Bayern München, dan ke Museum BMW, serta naik ke puncak towernya, sehingga kami bisa menikmati pemandangan kota München yang rapi dari atas.
Satu hal yang paling aku salutkan dari Yola adalah kebaikan hatinya. Dia kami bully sepanjang waktu, tapi dia masih saja bersedia menjadi gembala kami dan menunjukkan kota München yang indah. Pada Astri aku cerita, “Kamu tahu nggak, mbut?” (Aku memanggilnya jembut sejak pertemuan pertama, karena kami tak sengaja menemukan kecocokan bercerita hal-hal lucu berbau porno. Memang memalukan punya kebiasaan seperti itu, apalagi menemukan seseorang yang punya hobi sama. Tapi karena kegilaan itulah kami menjadi dekat dan bebas cerita apapun)
“Si Yola, dengan judesnya bilang, aku nggak mau ‘boso jowo’, aku kan setengah ‘Londo’.” lanjutku cerita pada Astri yang kulebih-lebihkan sambil melirik Yola. Kali ini Yola yang tersenyum kecut, karma dariku yang minggu lalu yang dengan kecut tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang berkutu. Dendam kesumatku terbalas, kisanak! Batinku!
Akhirnya, karena aku dan Astri berbahasa Jawa seharian, Yola ikut juga berbahasa Jawa. Aku memang kejam, apalagi kepada orang yang kusayang. Memang aneh terdengar, mungkin jiwa dan otakku perlu diperiksakan. Aku memang sudah sayang pada Yola sejak minggu lalu, tapi dendam itu tak ingin aku hapus, sampai aku puas menganiayanya. Untungnya Yola bukan orang yang gampang tersinggung, sepertiku. Ya, sifat burukku yang lain adalah tersinggung. Aku suka membully, tak mau dibully, suka melontarkan kata-kata pahit, tapi tak suka disinggung. Ah, aku memang butuh psikiater. ?
Astri, yang dari pertemuan pertama sudah kuketahui bahwa kami akan dekat, kami akan bersahabat, adalah salah satu sahabat yang kisahnya wajib dibagi. Menyimpan kisah dia untukku sendiri rasanya seperti Pak Tua yang menemukan peti harta karun dan hampir mati. Aku harus memberikan harta karun itu sesegera mungkin, agar penemuanku tidak sia-sia sebelum ajalku menjelang. Apa sih, nglantur deh ?
Wanita muda tangguh yang dari gurat-gurat di wajahnya sudah langsung tampak bahwa dia berasal dari Jawa ini, datang ke Jerman dengan menjadi au pair. Di sebuah desa yang letaknya sekitar 50 km dari München, dia tinggal di sebuah host family yang baik hati. Dia kenal host family itu lewat aupairworld, sama denganku. Cita-cita sebenarnya pun juga sama denganku, yakni menempuh pendidikan S2 di Eropa.
Astri datang dari keluarga sederhana. Ibunya hidup dari uang pensiunan ayahnya yang telah meninggal semenjak dia SMP. Dia pernah tinggal di rumah bibinya yang kaya dan demi bisa melanjutkan sekolah sampai jenjang S1, dia rela jadi seperti pembantu di rumah bibinya itu. Kedua kakak laki-lakinya telah berumah tangga dan tinggal jauh dari mereka. Astri yang memang terbiasa hidup mandiri itu tak suka menggantungkan hidupnya dari orang lain, termasuk keluarganya. Jadi, tinggal di rumah bibinya pun, dia tak mau berdiam diri, dia harus melakukan sesuatu demi sekolahnya.
Saat datang ke Jerman, Astri sudah punya pacar orang Jerman. Mungkin itu salah satu dari banyak tujuan hidupnya untuk datang ke Jerman, agar lebih dekat dengan sang kekasih. Tapi takdir berkata lain, dua minggu datang di Jerman, kekasihnya mengunjunginya di rumah host family nya, dan memutuskan tali kasih mereka secara sepihak. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba, Astri harus terhujam oleh keputusan pria brengsek yang beralasan ingin konsentrasi kuliah saja itu.
Saat menceritakannya padaku, saat itu 2 bulan setelah dia diputus. Dia terlihat sangat segar dan ceria, seperti tak pernah mengalami sakit hati. Berbeda denganku yang nangis bombay sampai turun berat badan 9kg, 2 bulan saat diputus mantan tunangan dulu.
“Beda to, mbut! Aku sama stupido (sebutannya kepada mantannya itu) kan masih pacaran, belum tunangan! Lagian kowe ngerti nggak? Kita ini eksotis, loh! Kulit kita ini banyak dicari. Kita ini meskipun gembel dan rakyat jelata di Indonesia, di Eropa, kita primadona, mbut, jangan salah, kowe!” kata Astri sambil melontarkan senyumannya yang khas itu. Ah, senyum itu yang selalu mengingatkanku bahwa seburuk apapun hidup kita hari ini, selalu ada hal positif yang bisa kita ambil. Ambil hikmahnya, tersenyum, lanjutkan perjalanan, hidup kita tak harus berhenti karena si brengsek stupido itu, kan? Begitu kata Astri berulang-ulang yang diiringi anggukan olehku dan Yola.
Dari Astri, aku belajar bahwa mimpi itu, meskipun jalannya berputar-putar, akan ada titik terang yang diperlihatkan oleh Tuhan, yang membuka jalan kita ke arah itu. Aku ini seorang yang penakut, apalagi kalau ditakut-takuti oleh masa depan, aku bukan seperti Astri yang langsung percaya diri dan percaya pada kemungkinan apapun demi meraih mimpinya. Buktinya seperti ini.
Host familyku bersedia menjadi penjaminku untuk kuliah S2, aku pun bahagia. Tinggal test Toefl dan daftar sana sini. Suatu hari, Nadja (host mom) bilang, “Kami dengan senang hati menjamin kamu, Indra, tapi apa kamu yakin bisa hidup sebagai pelajar dan bekerja membanting tulang untuk kehidupanmu? Belajar itu berat, loh! Belum lagi kamu harus menyewa apartemen, membayar asuransi kesehatan, makan, belanja, berlibur! Siapa yang akan menanggungnya? Sekolah di Jerman memang gratis, tapi pikirin lagi, deh!”
Aku langsung patah semangat dan banting setir jadi FSJ. Berbeda dengan Astri. Dia beruntung karena host familynya juga mau menjadi Verpflichtungserkärung (penjamin) selama dia kuliah S2 di Jerman. Setelah daftar puluhan universitas dan ditolak, setelah beberapa kali test TOEFL dan menghabiskan semua tabungannya, dia dengan semangatnya terus membara daftar kuliah di semua universitas, hingga jerih payahnya membuahkan hasil. Dia diterima untuk menempuh pendidikan Master di Universitas Hamburg. Dia dengan lantang menolak kata-kata negatif yang bilang bahwa kuliah itu berat, bla, bla, bla. Setelah jadi Au pair 10 bulan, dia pindah ke Hamburg untuk melanjutkan S2, di sela-sela kuliahnya yang (memang berat), dia bekerja sambilan sebagai babysitter, kadang bersih-bersih. Kalau liburan semester tiba, dia menghabiskan seluruh jatah liburnya untuk bekerja full time di sebuah panti jompo.
Astri baru saja menyelesaikan pendidikan Masternya beberapa bulan yang lalu, terbilang cepat, hanya 2,5 tahun, sedangkan banyak seniornya yang masih molor bertahun-tahun. Dia meyakinkanku, bahwa kalau kita konsentrasi dan fokus, semua bisa dipercepat, “Lagian aku udah bosen, mbut hidup susah, pengen cepet kerja, nyenengin orang tua, bisa ngajak emak liburan dan jadi anak yang berguna.”
Proses pencapaian Astri tak semudah membalikkan telapak tangan. Jangan dipikir dijamin oleh orang Jerman itu selalu enak. Astri sudah dianggap anak sendiri oleh host family nya, tiap liburan, dia masih diajak liburan. Tapi jaminan hitam di atas putih itu membebani jiwa raga untuk selalu beriktikat baik kepada penjaminnya. Dia tak mau seperti kacang lupa kulitnya.
Meskipun kita bersahabat dekat, dan akhirnya aku pindah ke Hamburg, kami malah jarang ketemu, kadang ketemu sesekali karena kesibukan masing-masing yang padat. Dia lebih sering pulang ke Bayern, ke rumah host family nya untuk bekerja di sebuah panti jompo, selain itu juga masih bantu ini itu. Terkadang konflik kecil terjadi diantara mereka yang membuatnya nelangsa dan pedih. Tapi Astri bukan Astri namanya kalau menyerah begitu saja. Sertifikat S2 dari Universitas terkemuka di Jerman adalah salah satu bukti kegigihannya dan hasil dari peluh serta air matanya. Tak ada yang sia-sia. Astri telah membuktikan, bahwa kesedihan, sakit hati karena ditinggal pacar, tak perlu dijadikan ajang berlama-lama terpuruk dalam kehidupan yang galau. Justru sakit hati dan kesendirian itu adalah potensi kita untuk tampil lebih memukau. Coba saja kalau dia sedih lebih lama dan merengek agar stupido kembali? Mungkin Astri tak akan menemukan dirinya yang sekarang.
“Percayalah,” kata-kata Astri yang selalu kuingat. “Kamu itu cantik, kita ini, setiap wanita terlahir dengan kecantikannya sendiri-sendiri, tak perlu menyesali seseorang yang membuangmu, itu kerugiannya, bukan kerugianmu! Suatu saat dia yang akan menyesal, bukan dirimu! Sayangi dirimu, karena di saat semua menjauh, hanya kamu, hanya dirimu yang jadi sahabat terbaik!”
Melihatnya berjuang seperti itu, aku berani menentang semua anggapan bahwa kuliah di Jerman yang kata host family ku berat itu, bisa dilakukan kalau kita percaya. Aku pun berani mengikuti jejak Astri, dan darinya aku mendapat banyak masukan, petuah bagaimana bekerja dan belajar, bagaimana mengatur waktu dan keuangan, darinya pula aku mendapat sebuah pekerjaan. Saat itu anak yang diasuhnya tiap minggu dilimpahkan kepadaku karena dia harus magang di Jakarta selama 6 bulan. Astri adalah sahabat yang sangat dermawan. Di tengah kekurangannya, dia tak pernah mau aku traktir makan. Malah dia sering mentraktirku, dia juga tak pernah pelit informasi. Tak satu pun pertanyaan yang tak dia jawab kalau kita minta info seputar pendidikan, pekerjaan di Jerman, dsb. Darinya lah aku belajar agar hidup ini paling tidak bisa sedikit saja memberi guna kepada orang lain, menjadi sumber yang bisa dipercaya, menjadi sahabat yang bisa diandalkan, dan menjadi telinga yang siap mendengarkan keluhan. Astri tak pernah menutup hatinya untuk ide-ide baru, tak pernah mengeluh dan meratap, meski aku tahu (sangat tahu) bahwa hidup dibalik senyumnya itu sangat berat.
Astri adalah Kartini ku, kartini sejati masa kini. Senyumnya, matanya, semangatnya, mimpinya, thesisnya pun tentang Kartini, eh ?. Dari Astri dan dari kisah yang aku ceritakan tentangnya ini, semoga menjadi inspirasi. 🙂
Silakan tebak sendiri mana aku, mana Astri, mana Yola. Ini foto pertama kami di depan stadion Bayern-München (Allianz Arena) |
Semangat!!!
Jangan lupa like facebook fanpage Denkspa untuk mengetahui info harian seputar Jerman, terutama Hamburg (tempat aku tinggal sekarang). Klik di sini untuk like facebook fanpage Denkspa. Vielen Dank (Banyak terima kasih)
Satu kata yg lagi populer dalam sebuah persahabatan yaitu mbut
Karena sayapun juga pernah dipanggil begitu dengan salah seorang temanku hehehe
Hhaha, memang populer sekali dan imut 😀
Biasanya anak cowok yang manggil temennya dengan bahasa saru. Lah ini cewek malah manggilnya mbut, hahaha
Ga bisa nebak manas Yola dan Astri, kalian bertiga sama nyetriknya. Kompak terus ya! 😉 .
Mantap dan Menginspirasi…
Aku ngakak baca nama panggilannya Mbak wkwkwkw. Hihihi, otakku langsung deh "D
seru banget baca ceritanya, terus update ya!
sempet kaget juga cewek sahabatan saking plek panggilannya saru haha
aku lagi beresin skripsi dulu, ntar kalo udah di Jerman ketemuan bisa kali ya?