Düsseldorf, 6 September 2014
saat menulis ini : Harburg, 13 Juni 2015
Kisah Sebelumnya: Berlin dan Kenangan Yang Terendap Di Sana
Aku melangkah riang dari terminal ke stasiun. Tak perlu bertanya kepada orang karena telah kulihat petunjuk jalan ke arah stasiun sesaat setelah aku turun dari bis. Telah kulupakan beban berat di pundakku (apa sih,,orang tas punggung dan ransel, kayak beban hidup aja :D). Aku menemukan Mc. D itu dan aq mulai menunggu Gladys.
Semenit, 5 menit, sepuluh menit, di mana si Gladys?
Aku mengangkat kembali tas punggung yang kuletakkan begitu saja di sampingku karena aku nggak mau berdiri menunggu sambil berbeban berat begitu. Kuarahkan langkahku menuju ke tempat penitipan barang.
“6euro???!!!!” hanya untuk menitipkan tas?. Tempat penitipan tas di Jerman nggak bisa dibayangkan kayak di Mall Ramayana atau di depan Hypermarkt Matos. Kita bisa nitip, trus dapet nomer, kabur seharian belanja. Di sini, berderet-deret almari besi berukuran …. (aku nggak tau ukurannya. LOL)…akan terbuka secara otomatis kalau kita memasukkan uang yang tertera di pintunya. Kita bisa memilih almari berukuran kecil untuk menitipkan tas kecil seharga 3 euro atau yang besar sekalian untuk menitipkan koper, tas ransel, kulkas, mesin cuci…ups… seharga 6 euro. Trus kita masukkan barang yang akan dititipkan, dan di kunci. Wajib diingat, kalau setelah terkunci, kita harus sudah yakin nggak ada barang yang harus kita ambil lagi, karena begitu kita mengambil barang yang tertinggal, artinya kita membuka kunci, dan untuk menutupnya, kita harus membayar sejumlah uang yang sama. Disitu kadang aku merasa merindukan Indonesia, hehhe,, yang apa-apa nggak perlu seribet ini.
‘Mending kuseret aja tas ini, huft!” Aku kembali lagi ke Mc. D dan optimis kalau Gladys sudah menungguku di sana.
Nihil.
Setaaan !!! aku nggak bawa jam tangan dan hpku mati. Jam berapa ini? prediksiku udah jam 9 lebih. Seharusnya dia sudah di sini. Apa dia menunggu di Burger King??oh yaaa, mungkin ada Burger King. Lalu kutelusuri stasiun Düsseldorf yang untungnya nggak sebesar stasiun Berlin itu dengan gusar. Mood ku berubah dan aku mulai mengumpat- ngumpat. Oh, ini hari pertama, masak iya sih sudah sial??
Nggak ada Burger King, berarti satu-satunya kemungkinan cuma Mc. D. Oke, aku kembali lagi.
5 menit, 15 Menit.. Aseeem….belum datang juga bocah tengil ini. Huft. Aku memutuskan untuk sedikit rilex. Aku berjalan ke arah pusat informasi dengan tujuan mencari peta gratis yang akan kami gunakan untuk berkeliling melihat kota Düsseldorf hari itu. Busyeeet ternyata pusat informasinya deket terminal dan tadi aku lewati. Jadi aku harus kembali ke sana dengan memboyong tas punggungku yang sekarang kurasakan benar-benar sebagai beban hidup dan hatiku. 😀
Yep, peta sudah dapat, aku kembali lagi ke Mc. D dan masih tak kudapati Gladys di sana. Sudah hampir pukul 10, harusnya dia sudah datang. Aku nggak sabar menunggu lagi dan kelaparan. Tas punggung berat sialan itu seolah tertawa melihat penderitaanku. Aku marah sekali padanya, akhirnya aku menuju ke arah ruang tunggu dan mendapati beberapa kursi kosong. Aku tidak duduk. Kuletakkan saja tas ransel yang sedari tadi mengolok-olokku itu di sana. Biarin, aku nggak peduli lagi. Mau dititipkan, mahal, mau dibawa keberatan, semoga aja ada yang memungutnya agar aku nggak ganti baju sebulan ini. Aku benar-benar gila, (bahkan saat menulis ini pun masih kurasakan kejengkelanku, yang sebenarnya pada Gladys, namun karena dia tak ada, satu-satunya pelampiasan adalah Tas Punggung itu!!!!haha)
Aku membeli Brezel (Roti kepang asin keras nan alot khas Bayern), pertama kali nyoba roti ini sumpah aku pikir ini produk gagal, tapi lama-kelamaan aku suka juga. Aku beli brezel karena roti itu yang paling murah (alasan sebenarnya, hehe). Aku memberanikan diri bertanya kepada penjual roti agar bisa numpang nge cas hp ku di sana. Aku memasang wajah semelas mungkin dan tersenyum sepahit mungkin agar dia bisa mengerti betapa pahit dan getirnya hidupku saat itu. NIHIL!!! jahat banget sih, biar pun aku cuma beli brezel tapi aku kan sangat butuh bantuan saat ini. Dan toh aku juga membeli sesuatu dari toko itu, nggak cuma sekadar meminta tolong, tapi yah, sudahlah mungkin mereka juga nggak punya colokan. 😀
Masih di Mc. D, kali ini tanpa tas punggung, kubiarkan saja dia di ruang tunggu, kesepian dan kedinginan 😀 . Duh kali ini aku 70% marah, namun belum memuncak. Aku sabar menunggu sampai aku bertemu gerombolan laki- laki gemuk dan kurus memakai rok kotak-kotak sedengkul mirip banget seragamku waktu SMA. Aku mengikuti mereka nggak jelas, aku penasaran banget mereka kemana. Aku sampai di jalan raya depan Stasiun. Di sana ternyata tak hanya segerombolan orang tadi yang memakai rok, banyak pria-pria lalu lalang memakai rok kotak kotak, ada yang kotak-kotak biru, ada yang merah. Apa aku ini di negeri dongeng ya?
Saat akan balik ke Mc.D di dalam stasiun, aku 100% marah, ini sudah hampir pukul 11 dan si bocah tengil itu belum juga muncul batang hidungnya. Aku memutuskan untuk pergi ke kota Düsseldorf sendiri tanpanya dan akan bersiap naik bus. Tapi toh aku nggak tega juga. Aku berpikir: oke, aku ke Mc. D sekali lagi, kalau dia masih belum disana, aku akan pergi keliling kota sendiri, tanpa dia, juga tanpa tas punggung gila itu. (padahal aku yang gila).
Masih juga belum di sana. Na gut, aku melangkah keluar stasiun dengan kepala hampir meledak, aku keluarkan map yang kuambil di pusat informasi tadi dari tas ku. Tiba- tiba seseorang muncul dihadapanku dan memelukku sangat erat.
“SETAAAAAAAAAAAANN!!!!!! nandi ae own ndeeeeng!!!!! juembek au mbek own!! juembek!!!” (Setaaan, kemana aja kamu?? aku benci kamu! aku benciiii!!!!) aku berteriak seolah kami berada di tengah hutan tak berpenghuni.
Gladys meminta maaf dan menjelaskan alasannya terlambat. Rasa marah yang meledak-ledak tadi seketika lenyap melihat Gladys, melihat wajah cantik khas gadis Koreanya yang selalu kukagumi. Aku bahagia sekali dan lupa kalau aku tadi sedang marah 😀
“Mbak, kamu nguawwwuuur!!! bisa-bisanya kamu taruh tas mu begitu saja di tengah keramaian!!!”
“Bah Dis, aku mangkel owk!! (biarin dis, aku jengkel banget)!!!”
“Jengkel ama siapa??”
“Ya elah,,,ya sama kamu,,berhubung kamu nya nggak ada, ya tas itu pelampiasanku!”
“Gendeng!!”(gila)
Kami akhirnya menitipkan tas kami ke tempat penitipan seharga 6 euro itu (meski mahal,tapi kan kami bayarnya patungan :P). Gladys juga membawa barang yang kurang lebih sama jumlah dan beratnya kayak tasku. Satu bulan sebelum berangkat, kami rutin kirim voicenote atau text message lewat whatsapp dan merencanakan betul-betul apa saja yang akan kami bawa. Hari itu, kami berkeliling kota Düsseldorf tanpa beban hidup dan hati lagi 😛
Berbekal peta kota, kami menyusuri jalan-jalan kota tua Düsseldorf. Kami menemukan ratusan pria lainnya yang memakai rok kotak-kotak. Gladys bilang itu baju tradisional daerah situ, karena cuaca cerah dan mungkin ada event di dekat sungai Rhein, jadi banyak orang yang memakai baju adat, seperti di München juga saat festival musim semi atau Oktoberfest, para pria pada hobi memakai Lederhose (celana kulit) dengan kombinasi hem kotak-kotak atau untuk wanita, mereka memakai Dirndl (baju adat dengan bentuk Rok beraneka warna dengan kombinasi blus pendek yang didesain untuk memperlihatkan buah dada). Nah baju adat München mah logis, pria pake celana, wanita pakai rok, nah di sini??kebalikannya! Meski demikian, kota Düsseldorf yang merupakan ibukota NRW (Nordrhein-Westfalen) ini menurut kami adalah kota yang indah. Kami menyusuri kota dan sampai pada area dekat sungai Rhein yang dipadati pengunjung.
Setelah puas berjalan-jalan, kami memutuskan untuk belanja kebutuhan makan.
Perlu diingat, kami sangat memperhitungkan budget dan pengeluaran. Tak ada sepeser euro pun yang nggak kami hitung. Gladys bahkan telah menyiapkan ‘buku totalan’ untuk menotal pengeluaran apa saja yang kami lakukan, memakai uang siapa, dan akhirnya harus benar-benar diperhitungkan..
“Lihat mbak, aku bawa tas belanja!”
“Elek ngunu, Dis!” (jelek gitu, Dis?) kataku setelah melihat tas kantong kain berukuran agak besar berwarna hijau matang dan bermotif nggak karuan itu.
“Biar jelek gini, kita kan nggak perlu beli-beli tas plastik lagi, mbak, irit. Ini juga awet, kita bisa membawa barang belanjaan kita disini sama-sama!”
“Tas kita aja udah kayak ‘dalbo pindah’ ini ketambahan lagi membawa tas belanja dan seisinya!” kataku tak henti-hentinya protes, padahal dalam hati aku membenarkan juga apa kata Gladys. Kami nggak perlu membeli dan membeli ulang tas kantong saat berbelanja di supermarket. Duuh, lagi-lagi teringat di Indonesia di mana tas kantong plastik itu gratis. Tapi disini ada benarnya juga memberlakukan system membeli kantong plastik, jadi kita lebih bebas pencemaran yang ditimbulkan oleh sampah plastik.
Busyeet, tas kantong itu penuh dengan makanan. Setelah membeli seisi supermarket, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mencari kitab suci ke kota Köln. Hari masih sangat sore, masih jam 4 sore. Karena ini musim panas, jadi matahari tenggelam sekitar pukul sembilan malam.
“Mbak, nyobak Hitch Hike aja!”
“Iya, toh aku udah bilang bea kalau kita sampai di rumahnya sekitar pukul 7 lebih. Dari sini ke Köln juga nggak sampai satu jam dan ini masih jam 4.”
“Walaupun kita nyampe sananya jam 8 atau 9 kan tinggal bilang aja, kita nggak terburu-buru kan?”
“Betul”
Kami menyiapkan peralatan persiapan hitch hike. Sembari duduk di trotoar, aku menulis ‘KÖLN’ di kertas A4 dengan spidol besar agar pengendara mobil yang lewat bisa membaca.
“Mbak, tulisanmu kayak cacing!” kata Gladys setelah melihat tulisan modifikasi cacing yang kubuat. Dia akhirnya memperbaharuinya agar lebih tebal dan jelas.
Kami memang telah merencanakan berhitch hike selama travelling ini. Jadi, peralatan tempur pun telah kami sediakan. Google map juga membantu kami menemukan jalan lintas keluar kota Düsseldorf menuju pintu tol masuk ke arah Köln. Di sana lah kami sekarang berdiri, di dekat lampu merah pintu masuk jalan tol menuju kota Köln. Gladys memegang kertas bertuliskan Köln, dan aku mengacungkan jempol. Kami tersenyum semanis-manisnya agar ada orang yang berbaik hati bersedia memberi kami tumpangan.
Satu jam judah terlewat. Tak sedikit orang yang melihat kami dan tersenyum jahil, banyak yang terlihat ingin memberi tumpangan namun kelihatannya mereka tidak ke Köln, jadi mereka hanya tensenyum bersimpati, tak sedikit juga orang yang tiba-tiba mengemudikan mobilnya dengan kencang agar tidak bisa memberi tumpangan atau menepi ke arah berlawanan dari kami saat lampu merah, agar kami tidak menghampiri mereka. Tapi ada juga beberapa yang berhenti dan bilang maaf karena mobilnya hanya cukup untuk menumpangi satu orang saja.
Hampir dua jam, tapi hari masih kelihatan sangat sore, masih hampir pukul 6, kami belum juga mendapatkan tumpangan tapi kami masih ketawa-ketiwi sambil bertukar tempat dan posisi, aku sambil nyemil anggur yang tadi aku beli di super market. Kadang kami juga istirahat sejenak sambil minum dan ‘ngrasani’ orang lalu lalang. Hitch hike kali itu meski kalau diceritakan ulang terkesan sangat mengenaskan, namun kami menjalaninya dengan riang gembira. Kami melakukannya hanya ingin mencoba sesulit apakah hitch hike di Jerman (karena kami juga akan melakukannya nanti di kota-kota lain dan membandingkannya). Ternyata agak sulit juga.
Setelah sekitar dua jam kami di sana, ada pasutri datang menghampiri kami berjalan kaki. Mereka adalah pasangan suami istri cantik dan ganteng berumur sekitar 40 an.
“Sprecht Ihr Deutsch oder Englisch?” (Kalian bicara bahasa Jerman atau English) tanya sang perempuan.
“Wir können beide sprechen” (kami bisa bicara keduanya) jawab Gladys.
“Oke kalau begitu bahasa Inggris saja agar kalian gampang mengerti.” katanya lagi
“Oke” kata kami
“Kalian di sini sudah sangat lama ya?”
“Iya, bisa dibilang begitu.” kataku, sambil berharap merekalah yang yang akan memberi tumpangan ke Köln, tapi aku nggak melihat mereka bawa mobil, ah mungkin mobilnya diparkir dan mereka menawari kami serta akan membantu kami membawa tas-tas berat itu.
Dugaanku salah….
“Satu setengah jam yang lalu kami mengantarkan anak kami les di sekitar sini, kami melihat kalian berdiri di sini menanti tumpangan dan sekarang kami kembali ke sini, kalian belum juga mendapatkan tumpangan” kata sang pria.
“Ini bukan spot yang bagus untuk mendapatkan tumpangan!” sahut sang wanita.
“Kalau begitu mungkin kami akan cari spot lain yang lebih mudah mendapatkan tumpangan ke Köln” jawab Gladys.
“Bukan,,bukan begitu. Lebih baik kalau kalian naik kereta. Di dekat sini ada stasiun, kalian bisa naik kereta dari sana ke Köln dari pada menunggu di sini” kata sang istri.
“Aber das ist teuer” (tapi itu mahal) kataku asal ceplos.
Perempuan cantik itu mengeluarkan dompet dari tasnya dan memberi kami selembar uang berwarna coklat, 50 euro.
“Bitte nehme es…bitte!!”( tolong ambil ini,,tolong!!) katanya sembari menyodorkan uangnya padaku
“Nein, kita sebenarnya juga bisa naik kreta tapi kita senang melakukan ini kok,” jawabku
“Bitte (tolong),,kami juga punya anak seusia kalian, kami sedih dan nggak tega melihat kalian berdiri disini selama 2 jam dan nggak ada orang yang memberi tumpangan, kami seakan melihat anak kami sendiri seperti itu sedangkan kami sendiri juga nggak pergi ke Köln untuk memberi kalian tumpangan, tolonglah ambil uang ini dan naik kereta……”
Akhirnya kami menerima uang itu dan tertawa berkali-kali setiap mengingat kejadian ini, kami bahkan tertawa terbahak-bahak sedetik setelah kami melihat satu sama lain di kereta menuju Köln karena kami merasa sangat gila, orang gila yang beruntung. Gladys menyimpan uang itu selama 2 minggu untuk diabadikan, tapi toh kami juga membaginya dengan rata, kami bahkan bisa pergi ke Aachen karena punya budget lebih sekarang. Asal tahu saja, harga tiket kereta dari Düsseldorf ke Köln sebenarnya cuma 6,7 euro saja.
Kami menyebutnya keberuntungan pertama, dan selalu saja bertanya pada diri sendiri, semengenaskan itukah kami ini??LOL,,,padahal selama ber hitch hike kami nggak merasa melas atau perlu dikasihani, kami ketawa melihat pengemudi dengan jenggot aneh atau mengumpat saat melihat pasangan muda-mudi berciuman saat lampu merah menyala. Intinya sebenarnya hitch hike ke Köln itu benar-benar kami lakukan karena kami punya banyak waktu, tapi apa daya dikata, keberuntungan memang selalu berada di sekitar kita 🙂
Sekitar pukul 8 malam, kami tiba di apartemen Couchsurfer di pusat kota. Seorang gadis Jerman yang pernah satu tahun tinggal di Indonesia,,,,
Kisah selanjutnya di: Kota Köln dan Aachen sebelum menuju Amsterdam : Petir dan sempitnya dunia ini
Wah, beruntung sekali
iya,,,nasib gembel… hhhaha
[…] Lalu bagaimana dengan Berlin dan setitik kenangan di dalamnya?? Jangan lewatkan kisah selanjutnya: Düsseldorf-Köln: semengaskan itukah kami ini? Kumpulan Foto di […]
[…] lewatkan kisah-kisah seru sebelum ini: Berlin dan Kenangan Yang Terendap Di Sana Düsseldorf-Köln: Se-mengenaskan itukah Kami Ini? Köln: Petir dan Sempitnya Dunia Ini Amsterdam: Menculik Anjing Dari Bapak Yang […]
Kalau mau jalan bareng gitu kenalannya udah dr indo atau kenal dmn mbak mengingat mbak gladys dan mbak indra berada di kota yg berbeda? Hehe