Amsterdam-Rotterdam: 11 September 2015
Waktu menulis ini: Hamburg, 12 November 2016

Hitch Hike dan Interpals friends

Jangan lewatkan kisah-kisah seru sebelum ini:
Berlin dan Kenangan Yang Terendap Di Sana
Düsseldorf-Köln: Se-mengenaskan itukah Kami Ini?
Köln: Petir dan Sempitnya Dunia Ini
Amsterdam: Menculik Anjing Dari Bapak Yang Aneh

Pagi pagi sekali, sekitar pukul 08.00, Gladys dan aku memboyong semua barang kami dan enyah dari rumah bapak yang aneh host kami di Amsterdam (baca: Amsterdam ). Tak hanya tas ransel besar dengan berat tak kurang dari 20 kilo di pundak kami, tapi juga tas belanjaan yang penuh dengan cadangan makanan selama perjalanan kami mencari kitab suci :D. Tiap 10 menit sekali, kami membungkukkan badan untuk menghindari sakit pundak karena terus menerus membawa beban berat di pundak.

‘Mbak, masih punya Lust ke kota atau langsung ke Rotterdam?’ tanya Gladys saat kami masih di bus ke arah stasiun.
‘Ke kota lah, kemarin kan kita bentar banget ke kota, dan sama chiripa pula, kali ini kita harus paling tidak menikmati Amsterdam sampai puas’ jawabku.
‘Dengan membawa tas ransel gini?’Benar juga kata Gladys, mana mungkin kita bisa keliling sambil membawa beban hidup ini?. Dibawa berat banget, dititipin mahal banget, harus dikemanain tas kami ini?

‘Gimana lagi donk? Kita kan belum tentu kesini lagi, Dis. Dan lagi kita belum masuk museum Madame Tussauds yang sudah kita rencanakan sebelumnya. Kemarin kita juga gagal ke Museum Anne Frank Huis karena kita bawa Chiripa dan antrinya naudzubillah, sia-sia donk kita kesini tanpa mengunjungi satu museum pun.’ kataku
‘Iyo iyooo… ayok wes,, loro boyok yo urusan mburi’ (iya, iya sakit pinggang urusan belakangan) kata Gladys membuatku semangat.

Hari itu, dengan membawa tas ransel tas tas belanja penuh roti dan selai, kami mengunjungi museum madame tussauds. Semangat yang membara membuat kami tetap kuat menjelajahi museum 3 lantai tersebut. Banyak orang yang melihat aneh kepada kami yang memboyong banyak barang bawaan ke dalam museum itu. Tak kami hiraukan puluhan pasang mata yang memandang aneh, kami tetap foto-foto bersama patung lilin represantasi orang-orang terkenal dari seluruh penjuru dunia tersebut.

Setelah selesai dari museum, kami masih punya waktu berkeliling kota. Gladys yang penggila kentang goreng, membeli kentang goreng ‘mannekin piss’ di dekat stasiun. Sedangkan aku kebagian membawa tas belanjaan selama dia makan. Akhirnya kami memutuskan duduk di tepian sungai di dekat stasiun, melepas penat dan menyusun strategi untuk hitch hike ke Rotterdam.

Untuk pergi ke Rotterdam, dari Amsterdam memakan waktu kurang lebih satu jam dan biaya tiket lumayan mahal saat itu (sekitar 15 EURO). Jadi kami memutuskan Hitchike saja.

Setelah menemukan peta strategis hitch hike, kami segera naik kereta menuju pintu keluar tol Amsterdam. Untungnya kami masih mempunyai tiket kereta harian untuk hari itu, sehingga kami tidak perlu berjalan kami sambil membawa peralatan tempur ke arah jalan tol.

Ternyata, pintu keluar tol Amsterdam yang menuju ke arah Amsterdam tak jauh dari stasiun. Kami hanya perlu naik kereta 2 stasiun saja untuk kesana dan berjalan kaki 5 menit menuju ke tempat hitch hike.

Spot hitch hike yang kami pilih adalah jalur tol A2 dari Amsterdam Zuid. Di sekitar tempat hitch hike, terdapat beberapa jalan besar pintu masuk ke arah tol yang berlainan. Tapi pintu masuk tol A2, adalah pintu keluar Amsterdam menuju ke Rotterdam. Jadi mobil yang melewati jalan itu, harusnya menuju ke arah Rotterdam.

Kami beruntung sekali karena the second hitch hike attempt was really easy and unforgettable. Awalnya kami berdiri sambil  mengacungkan tulisan Rotterdam di tepi lampu merah pintu keluar tol, lalu kami memutuskan untuk menyebrang dan masuk ke pintu masuk A2. Tak harus menunggu lama, sekitar 30 menit, sebuah mobil menghampiri kami. Seorang wanita muda berwajah Asia keluar mobil dan dengan sangat ramah menyapa kami, menanyakan apakah kami ingin menumpang. Wanita tersebut memiliki wajah dan kulit khas Indonesia, tapi dia selalu berbahasa Inggris. Akhirnya kami ketahui bahwa wanita tersebut berasal dari Philipina.

Seorang laki-laki pengemudi mobil itu juga turun untuk membantu kami menaruh tas ransel di bagasi. Laki-laki muda khas Indonesia itu bernama Burhan. Dia memang orang Indonesia, tapi lahir dan besar di Belanda, jadi dia hanya bisa berbahasa Belanda dan Inggris saja.

Burhan dan pacarnya, Fey, adalah keberuntungan hitch hike kami nomor 2, karena mereka memang ramah dan sampai sekarang pun aku masih menjalin kontak dengan Fey, gadis Filipina yang aku temui dari Hitch hike tersebut.

Sebelum menuju ke Rotterdam, mereka mengajak kami mengantarkan barang ke sebuah kota kecil (aku lupa namanya) dan membeli minyak goreng untuk mengisi bensin.

‘Hah? minyak goreng? aku dan Gladys terbelalak saat melihat Burhan mengisi tangki mobilnya dengan minyak goreng yang dibelinya di supermarket di kota kecil tersebut.

‘Kenapa terkejut begitu? minyak goreng ini lebih murah dan terbuat dari bahan bakar bio pembuat bensin yang sama, selama ini aku selalu pakai ini dan mobilku baik-baik saja.’ tegas Burhan.Meski bisa menerima, kami tetap saja kurang percaya bahwa di Belanda, orang bisa memakai minyak goreng sebagai pengganti bensin. Belanda memang penyedia BBM termahal sedunia kala itu (sekitar 1,60 euro per liter).

Burhan dan Fey mengantarkan kami menuju tempat sahabat penaku, Evi dan Johan. Tak hanya mengantar sampai jalan saja, mereka bahkan membawakan barang-barang kami sampai ke apartemen Johan&Evi di lantai 12 serta ngobrol sampai hari gelap. Kami tak henti hentinya berterima kasih kepada mereka yang baik hati tersebut.

Kisah perjalanan kami di Rotterdam, akan aku lanjutkan di page berikutnya: Serasa Pulang kampung

Kumpulan Foto di Amsterdam:

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *