Satu kisah yang wajib aku bagikan kepada kalian adalah tentang keajaiban kata-kata. Tahun 2015, saat pulang ke Indonesia, aku bertemu seorang gadis yang aku kenal dari interpals (sekarang dia sudah jadi sahabatku). Kami ngobrol ngalor ngidul tentang Jerman dan aku berkata padanya, “Kamu pasti bisa ke Jerman, aku yakin!”. Satu tahun kemudian, dia ada di Hamburg bersamaku, sampai sekarang.
Cerita ini bukan tentang dia, tapi tentang sahabatku yang lain. Sebut saja Dira, teman satu kampus yang jarang sekelas sebenarnya, tapi sering ngobrol, karena cita-citanya sama denganku, yakni kuliah ke luar negeri. Kami menjadi agak dekat setelah aku putus dengan tunaganku di tahun 2012 dan satu tahun berikutnya, kami mengerjakan skripsi dengan pembimbing yang sama.
Setiap hari saat ketemu di kampus, kami selalu menyempatkan makan ceker pedas di kantin sambil berkhayal betapa enaknya jika kita bisa keliling Eropa bareng. Semakin kepedasan, semakin terbakar gelora kami untuk bisa ke Eropa.
Beberapa minggu kemudian, aku membeli buku Au Pair karya Icha Ayu yang aku lahap habis kurang dari 3 jam saja, lalu aku pinjamkan kepadanya. Dira pun begitu antusias membaca buku itu dan merasakan gairah yang sama, keliling eropa dengan sahabat, bertemu suami di sana, tinggal di sana, dsb. Kami semakin menggila saja. Beberapa teman kami di kampus sampai terkadang tidak tahan mendengar mimpi-mimpi kami yang terus kami ulang-ulang saat makan ceker pedas di kampus. Satu-per satu dari mereka kabur mencari tempat duduk lain saat makan ceker pedas.?
Aku dan Dira terpaut 3 tahun karena aku harus bekerja dulu sebelum kuliah, sedangkan dia langsung kuliah setelah tamat SMA. Melihatnya berapi-api, aku yang dulunya pesismis bisa kuliah di Luar Negeri, jadi bangkit kembali dan bertekat meraih mimpi itu.
Di awal bulan Mei 2013, kami membuat akun au pair di aupairworld.com dan menuruti semua saran Icha termasuk join komunitas Couchsurfing (baca: apa itu couchsurfing). Dua minggu kemudian, aku dapat tawaran dari host family di München, sedangkan Dira masih harus berkutat dengan penolakan-penolakan dari host family.
Saking kreativnya, aku jadi sangat bodoh dalam bertindak. Aku berpikir bisa membantu Dira untuk mencarikannya host family, lalu aku merubah nama akun profilku menjadi namanya. Kecerobohanku ini membuat kita sama-sama diblokir dari aupairworld. Aku menangis sedih karena merasa menghancurkan mimpi Dira untuk ke Eropa bersamaku. Tak kurang usaha yang kami lakukan, namun akun itu tetap tak bisa dibuka. Akhirnya kami gabung di website lain, namun tetap saja Dira tak dapat host family.
Aku merasa sangat egois karena hanya aku yang bisa berangkat ke Jerman saat itu. Diliputi rasa bersalah, aku membantu Dira mencari agen-agen penyalur au pair di daerah Kota Malang. Akhirnya kami bertemu dengan Mbak Dewi, salah satu dosen di Universitas Trisakti yang dulunya juga pernah jadi au pair di Belanda.
Suatu hari, kami menelusuri alamat yang diberikan seorang kenalan untuk menemui Mbak Dewi. Ternyata rumahnya tak jauh dari rumah Dira, di sekitar Gadang-Malang. Saat ke sana, bukannya ngobrol tentang au pair, kami malah diberi makan yang super duper enak oleh sang tuan rumah. Luar biasa sekali hari itu. Sampai pulang pun, aku tak pernah makan chicken drum stick selezat buatan Mbak Dewi. Sepulang dari sana, kami sedikit optimis bahwa Mbak Dewi bisa membantu Dira untuk ke Belanda. Namun, pertemuan tersebut merupakan pertemuan pertama dan terakhir kami dengan Mbak Dewi. Rupanya, beliau berhenti jadi agen dan membuka sebuah restoran bernama ‘Dapur Baruso’ di Malang.
Beberapa bulan kemudian, aku sudah disibukkan dengan pengurusan dokumen ke Jerman. Aku sangat salut kepada sahabatku ini, karena meskipun aku berbuat amat bodoh, dia tak menyalahkanku dan terus saja bersikap optimis dengan terus mencoba mencari sambil merawat ibunya yang sedang sakit.
Ibu Dira sakit kanker serviks stadium 4 saat kami mulai mencari jalan menuju ke Eropa. Di antara banyak saudaranya, hanya Dira yang tinggal di Malang dan merawat ibunya. Ibunya seorang pedagang sayur di pasar gadang dan dari beliau, keluarga mereka bisa makan. Selain merawat ibunya, Dira juga menggantikan beliau berdagang. Hebatnya, dia bisa menyelesaikan skripsi dan membantu teman-temannya menulis skripsi sehingga semua bisa lulus tepat waktu.
Mulai dari memberi makan sampai membantu buang hajat, Dira mengerahkan seluruh hati dan tenaganya merawat ibu tercinta. Dari Dira aku belajar, betapa bakti kepada orang tua itu bisa berbuah manis di kemudian hari.
Suatu hari, Dira mengunjungiku di Batu dan bertemu ibuku. Karena aku lumayan dekat dengan ibu, aku selalu cerita tentang masalahku, termasuk masalah-masalah yang dihadapi sahabatku. Dira yang gagal ke Eropa gara-gara aku, ibunya yang sakit, aku yang sempat ketar-ketir menunggu kepastian host family, dsb.
Ibuku bilang, “Ibu percaya bahwa kalian pasti bertemu di Eropa. Hanya saja setiap orang itu punya waktunya sendiri-sendiri. Mungkin Indra ke Eropa tahun ini, mungkin Dira tahun depan. Pasti ada alasan mengapa Dira tak jadi berangkat tahun ini. Semua ini sudah rencana Tuhan, tak ada yang kebetulan.”
Hallo ka, boleh minta Email-nya? aku ada beberapa pertanyaan mengenai FSJ
Hallo, kamu bisa kontak aku di girindrawiratnipuspa@gmail.com
Mengharukan, sedih, indah, memotivasi sekali mbak ceritanya …. Aku karyawati swasta umur 22tahun dari Cilacap Jawa Tengah, aku suka sekali sama kamu mbak, nambah lagi panutanku hehehe … kamu menulis blog untuk merekam kisah hidup, mengekpresikan diri secara positif sekaligus memberi pencerahan semangat dan motivasi untuk orang lain yang membaca. Nemu blog ini 2 mingguan yang lalu, jadi suka bangeeet baca-baca isinya, paling suka ceritamu yang berawal dari patah hati ke Jerman, yang cerita perjuangan saat kuliah dan kredit motor hehe sama yang ini mbak, terus menulis dan berkarya yah mbak, semoga karyamu menjadi amal ibadah krn membawa manfaat bagi banyak orang. Sehat dan sukses selalu ya mbak di Jerman …. XOXOXOXO