Selama ini tak pernah terbesit keinginan untuk menulis seputar desa dan kota di Jerman, sampai beberapa minggu lalu ada yang tanya:
Saat pertama kali masuk Jerman, aku tinggal tak jauh dari kota. Bisa dibilang agak pusat, meskipun tidak benar-benar di city center. Saat itu aku tinggal Unterföhring, apartemen host family hanya 15 menit jalan dari Subway station, bus lewat tiap 10 menit sekali selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Letak apartemen juga masih di ring 2 atau 3 (aku lupa). Jadi, untuk membeli tiket bulanan masih murah (saat itu, kalau nggak salah masih 50 euro/bulan).
Karena si kembar (anak yang aku asuh) semakin besar, mereka ingin tinggal di sebuah rumah (bukan di apartemen lagi). Terlebih saat itu aku tidur di apartemen terpisah (mereka di apartemen), aku di basement yang dimodifikasi jadi sebuah kamar. Tepat setelah 2 bulan aku di sana, kami pindah ke sebuah rumah yang berlokasi tak jauh dari Unterföhring, namun jadi jauh sekali dari kota. Pasalnya, rumah tersebut berada di desa Moosining, di kawasan Erding, yang kalau pakai mobil, memang tak jauh dari Unterföhring, namun karena sistem pengaturan Ring Subway di München sangat aneh, kawasan Erding bukan terletak di Ring 2 atau tiga, melainkan di Ring luar (12). Yang otomatis membuatku membeli tiket bulanan dengan harga yang jauh lebih mahal.
Sebenarnya saat memutuskan untuk pindah, Nadja (gastmutter) melibatkan aku dalam mengambil keputusan. Tapi apalah aku waktu itu? Aku tak pernah berpikir bahwa di Jerman, aku akan kesulitan menemukan transportasi. Akhirnya aku bilang rumah yang di Moosining tsb kelihatan bagus, selain itu, aku melihat Nadja sangat ingin tinggal di rumah itu.
Moosining adalah sebuah desa yang lumayan indah. Saat aku menulis ini, masih berdesir rasanya darahku mengingat musim panas di Moosining. Rumah kami dekat dengan danau, dikelilingi beberapa perternakan, ada sungai, ada banyak pepohonan. Saat musim dingin tiba, hamparan salju putih menyejukkan mata.
Satu-satunya hal horor dari tinggal di Moosining adalah: TRANSPORTASInya!
Letak desa itu dari Subway station terdekat adalah 11 km (ke Erding). Dari Erding ke kota kira-kira 50 menit. Aku tidak bisa menyetir mobil, dan kami tak punya sepeda motor. Jalan satu-satunya adalah naik sepeda untuk mencapai stasiun terdekat.
Di Moosining ada bis juga yang membawa penumpang ke stasiun terdekat, tapi bis tersebut hanya beroperasi 3 jam sekali dan menyesuaikan jadwal anak sekolah. Saat anak sekolah libur, bisa dipastikan tak ada bus, kalau pun ada, paling sekali dua kali dalam sehari. Ada juga Taxi yang untuk memesannya, kita harus menelepon dulu dan menyesuaikan jadwal (karena Taxi tersebut termasuk tarif MVV, dimana kita tak harus membayar ekstra untuk memesan jika kita sudah punya tiket bulanan).
Gast family ku seperti acuh tak acuh. Mereka mah enak punya mobil sendiri-sendiri, tidak merasakan susahnya jadi au pair. Setelah berdiskusi, akhirnya mereka membantu membelikan tiket bulanan sebanyak 25 euro (saat itu, tarif bulananku jadi 75 euro per bulan, yang artinya, aku tetap harus membayar 50 euro). Mereka juga menawarkan untuk menjemput saat aku pulang dan tak bawa sepeda dari stasiun.
Di Jerman, sekalipun musim panas, cuaca tak melulu panas, saat di Moosining, aku pernah hampir pingsan mengayuh sepeda demi pergi ke stasiun saking panasnya, dan hampir beku saking dinginnya. Saat itu, kalau aku sudah muak naik sepeda, aku andalkan jempol dan nebeng mobil yang lalu lalang. Bayangkan!
Sejak saat itu, aku berjanji jika aku masih diijinkan Tuhan tinggal di Jerman, aku nggak mau tinggal di pelosok desa lagi. Akhirnya, aku pindah ke Hamburg dan selalu tinggal dekat dari stasiun. Paling tidak, pikirku, kalau rumahku agak jauh dari kota, letaknya tak jauh dari stasiun kereta Subway atau kereta api bawah tanah. Karena aku belum bisa mengemudikan mobil dan tidak punya SIM, jadi kalau mau kemana-mana bakal susah jika rumah jauh dari stasiun.
Aku bertemu beberapa kenalan yang Au Pair, FSJ dan Ausbildung dan ditempatkan di desa juga. Beberapa dari mereka, sepertiku, mengeluh karena transportasi, beberapa yang lain malah senang, karena dengan tinggal di desa, mereka jadi jarang shopping, lebih hemat, lebih natural, lihatnya pemandangan alam segar, dsb. Semua memang tergantung individu masing-masing, sih.
Berikut aku jabarkan plus minus tinggal di desa dan di kota saat kalian memutuskan untuk tinggal di Jerman:
Tinggal di desa, kelebihannya:
+ Lebih dekat dengan alam
+ Kalau kalian introvert, cocok banget tinggal di desa. Karena desa di Jerman memang jauh dari keramaian, cocok untuk bersemedi dan bermeditasi. :p
+ Hemat, kalau kalian memang tidak mau explore banyak tempat di kota,
+ Kalau bisa menyetir mobil dan punya SIM internasional, tinggal di desa bukan menjadi masalah yang berarti, karena bisa diskusi dengan GF untuk meminjam mobil,
Namun, hal-hal berikut juga harus dipertimbangkan:
– Pikirkan dan cari tahu dulu lewat google, bagaimana transportasi di desa tersebut. Jangan sampai kalian sepertiku yang harus nebeng (hitchhike) mulu saat ingin ke kota.
– Desa di Jerman, sekalipun banyak orang yang ramah, banyak pula ditinggali oleh orang tua yang (meski tak semua), tapi banyak yang rasis. Aku sering dilihat mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, seperti orang melihat alien. Tapi mereka juga tak akan mengganggu, mungkin hanya heran saja. Aku ambil positifnya saja, mungkin seperti orang di kampungku melihat bule.
– Di sebuah desa, biasanya susah mencari teman orang Indonesia. Cari komunitas orang Indonesia terdekat di kota yang dekat dengan desa tersebut. Namun, bukan berarti kita tidak bisa menemukan teman. Mungkin aplikasi cari jodoh atau cari teman bisa membantu menemukan teman yang dekat dengan desa tempat tinggalmu!
– Harga tiket ke kota : MAHAL!! Jika kamu tinggal di desa sebagia au pair, diskusikan dengan host family kamu apakah mereka mau memberi kompensasi pembelian tiket transportasi ke kota.
– TAK ADA TOKO ASIA!!! Kalian harus pergi ke kota untuk membeli bahan masakan yang kalian rindukan dari Indonesia,
– TAK ADA RESTORAN ASIA! Kalau pun ada, pasti cuma satu atau dua dan tidak menyediakan masakan Asia yang bervariasi, sehingga jika kalian merupakan orang yang gemar kuliner, akan sangat menderita untuk menahan kerinduan menyantap makanan Indonesia. Namun, paling tidak, kalian bisa seminggu sekali ke kota dan makan sepuasnya. 🙂 Di Jerman sendiri makanan Indonesia bukan lah makanan Asia yang sangat populer seperti di Belanda. Restoran Indonesia di München saja sudah tidak ada, padahal saat aku datang tahun 2014 dulu, masih ada 3 restoran, dan 4 tahun setelahnya, sudah tidak ada. Di Hamburg cuma ada satu (Baca ulasannya: Restoran Jawa di Hamburg), namun di Berlin ada beberapa Restoran Indonesia yang enak. Berbeda dengan restoran Vietnam dan Thailand yang ada di mana-mana.
– LES BAHASA JAUH! Dulu, saat aku pindah, aku rela tidak les bahasa karena jauh dan memakan banyak waktu untuk ke kota, sehingga selama satu tahun, bahasa Jermanku cuma gitu-gitu aja. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa di desa tempat kalian tinggal ada VHSA atau tempat les yang lain yang bisa terjangkau. Sekali lagi, saat kalian menemukan keluarga atau tempat FSJ atau Ausbildung di Jerman, tak ada salahnya untuk google terlebih dahulu se-pelosok atau se-terpencil apa desa yang akan kalian tinggali tersebut,
Demikian yang bisa aku bagikan tentang tinggal di kota dan di desa menurut perspektiv aku yang pernah tinggal di keduanya. Namun sekali lagi, semua tergantung sifat dan karakter masing-masing individu. Setelah lama tinggal di kota (Di Hamburg), kini aku dan suami merencanakan untuk pindah ke desa saat kami punya anak nanti, tentunya saat ini aku sudah mulai belajar menyetir agar tidak perlu tergantung pada transportasi umum di sana.
Saranku, sebaiknya telusuri dan cari tahu dulu letak tempat tinggal kalian sebelum datang. Kalau kalian merasa tidak masalah tinggal di desa dan tinggal di desa merupakan satu-satunya alternatif untuk ke Jerman, bertahanlah barang satu tahun! Dan kemudian cari info untuk kerja dan tinggal di kota di tahun berikutnya. Satu tahun di Jerman berlangsung sangat cepat! Nikmati saja! 🙂
Semoga informasi ini bermanfaat. Jangan lupa like facebook fanspage Denkspa untuk mengetahui info harian seputar Jerman, terutama Hamburg (tempat aku tinggal sekarang). Klik di sini untuk like facebook fanpage Denkspa. Vielen Dank (terima kasih banyak)
Liebe Grüße
Hai Girindra, aq juga ga bisa nyetir, kalau bisa nyetir enak tinggal di desa 😀 . Kalau ada sih desa yg dekat ke kotanya juga hehe 😀 . Kalau kangen makanan/cemilan Indonesia belanjanya bisa di toko Indonesia online ko, malah aq pernah belanja yg di Belanda. Toko Indonesia di Belanda pilihannya lebih banyak bangett, aq borong kerupuk dan sambal, trus harga lebih murahh dr olshop di Jerman, emang sih ada ongkirnya, tp ya ketutup klo belanja banyak.
wah mbak, sampai ke Belanda buat belanja? Mbak Nela tinggalnya di kota? Wah enak banget… di wohnung atau di rumah?
Belanja ke Belanda 2 thn lalu saat ngunjungi temanku yg nikah. Seblum balik ke Jerman belanja di toko Indonesia. Aku juga pernah belanja online di toko yg sama di Belanda tsb. Aku tinggal di kota kecil ko, penduduknya sekitar 35rb an. Walau kota kecil ada bus lewat dekat rumah, ke st. kereta dan bus 15 menitan, supermarket ada bbrp pilihan. Tempat shopping atau sekedar cuci mata ada juga 😀 . Tapi ya lebih besar kota tempat tinggalmu di Hamburg, dibanding tempat sini 😀 . Tinggal di dachwohnung, yg punya rumah di bawahnya. Puanasnya pool klo summer begini, bisa sampai 30 derajat C pdhl rolladen sdudah diturunin sejak pagi. Pengen pindah, cari rumah gitu, cuma ya klo model rumah sih sudah lebih 1.000 euro miete nya deh.
Aduuuh, bener banget mbak, kalau dachwohnung bisa kayak di oven kalau pas summer… kenapa nggak kepikiran beli rumah saja mbak? pakai KPR ??
DP awalnya harus setor 20-30rb euro 😀 ; 10rb euro aja kita ga punya hehe.