Waktu menulis ini: Hamburg, 12 November 2016
![]() |
I AMSTERDAM: tak pernah sepi dari para foto model |
Kisah-kisah seru perjalanan kami sebelumnya bisa dibaca di:
Berlin dan Kenangan Yang Terendap Di Sana
Düsseldorf-Köln: Se-mengenaskan itukah Kami Ini?
Köln: Petir dan Sempitnya Dunia Ini
Cari tumpangan menginap di Amsterdam adalah hal yang paling susah, baik sebelum, selama dan sesudah perjalanan kita kali ini. 1 bulan sebelum keberangkatan, kami sudah mencari-cari couchsurfer. Paling tidak satu minggu sebelum berangkat, kami sudah yakin kapan akan tiba di kota tertentu, dimana kami akan menginap dan siapa yang akan meng-host kami. Tapi di Amsterdam, dari puluhan request yang aku kirim, hanya 2 yang membalas, satu dari pemuda Belanda yang nggak yakin bisa menghost kami karena dia akan pindahan di minggu itu, satu lagi dari orang Belanda juga, bapak-bapak yang usianya sekitar 55 tahun. Orang ini punya referensi positiv dari 73 couchsurfer di dari seluruh penjuru dunia yang pernah numpang nginap di rumahnya. Jadi, tak ada yang perlu diragukan, dia pasti couchsurfer sejati. Dari pada tidak yakin akan tinggal di mana, kami memutuskan untuk menerima tawaran dari bapak-bapak tersebut.
Untuk mencapai rumah bapak itu, kami harus naik bus dari stasiun utama sekitar 15 menit. Tak jauh juga dari pusat kota, batinku.
Ketiadaan sinyal internet, membuat kami tidak bisa mencari lewat map online di hp kami (meskipun, sebelumnya kami sudah download map offline, tapi tak berfungsi juga). Berbekal alamat yang telah kucatat di agenda tour, setelah turun dari bus, kami bertanya-tanya kepada orang-orang yang kami temui. Kami tidak bisa menghubungi bapak host tersebut karena hpku mati, dan hp Gladys tidak bisa dipakai telefon di luar Jerman.
Kami terkagum-kagum akan suasana perumahan di kampung bapak itu, begitu rapi, tinggi rumahnya tak lebih dari 5meter, kecil mungil dan tertata rapi, semua beratap merah disertai cerobong asap kecil. Selain itu, kekaguman kami juga kepada orang Belanda yang rata-rata bisa berbahasa Inggris. Di kampung tersebut, kami bertanya kepada seorang nenek pemilik kedai makan kecil, dan beliau menjelaskan kepada kami alamat yang kami tanyakan dengan bahasa Inggris yang lancar, beliau juga sangat ramah.
Tengah hari, sekitar pukul 13.00 waktu setempat, kami sampai di rumah bapak host kami itu. Bapak yang berbadan tinggi besar ini terkesan ramah dan terbuka. Kami pun disambut hangat. Beliau juga memetikkan beberapa strawberry dari kebunnya.
strawberry nya bersinar, hasil berkebun si bapak |
Kami hanya berencana tinggal di Amsterdam 2 hari. Kami tahu, kami tidak akan bisa mengunjungi banyak tempat di Amsterdam hanya dengan waktu 2 hari saja. Tapi lebih baik sedikit dari pada tidak sama sekali, bukan? 😀
Setelah membuatkan teh, bapak tersebut bercerita panjang lebar tentang perceraiannya dengan istrinya, tentang kesedihannya karena tidak bisa tinggal bersama anak laki-laki satu satunya yang saat itu masih berumur 8 tahun, tentang couchsurfer yang baru saja enyah dari rumahnya pagi ini, dan banyak lagi hal lainnya.
Tentu saja kami senang mendengar banyak cerita dari couchsurfer, yang memang sebagian besar menginspirasi. Tapi kali ini kami benar-benar ingin keluar ke kota lagi dan melihat-lihat Amsterdam, karena kami tidak punya waktu banyak untuk itu, dan karena tiket bus yang kami beli adalah tiket harian yang masih bisa dipakai lagi sampai jam 12 malam. Kalau bapak ini cerita terus menerus, mana bisa kami keluar menikmati Amsterdam?
Huuuft, waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam dan kami masih dijejali cerita-cerita aneh bapak ini. Aku memberanikan diri untuk meminta izin keluar mumpung matahari belum terbenam (saat summer, matahari terbenam pukul 21.30). Bapak itu melarang kami keluar karena sudah hampir malam. Aku agak pundung sebenarnya waktu itu, tapi si bapak bilang, bahwa besok dia janji akan mengantarkan kami ke kota dan melihat-lihat kota. Bapak ini bekerja sebagai pemandu wisata, jadi dia banyak tahu tentang tempat-tempat menarik di Amsterdam, sejarah dan budayanya. Kami pun senang dan tak perlu khawatir tidak bisa jalan-jalan di kota Amsterdam.
Keesokan paginya:
Pukul 8 pagi, si bapak, tanpa permisi atau mengetok pintu, masuk ke kamar kami dan bertanya apakah kami mau minum teh atau kopi. Aku jengkel sekali saat itu karena, seharusnya sebagai tamu, kami punya hak dan privasi. Tapi aku berpikir, yah mungkin semakin pagi, semakin baik, dengan demikian, kami bisa jalan-jalan ke kota lebih awal dan lebih banyak mengunjungi tempat.
Kami selesai sarapan dan mandi sekitar pukul 9. Aku berpikir kami akan segera berangkat. Nggak taunya si bapak membuka komputer dan mulai cerita tentang awal mula di ber-couchsurfer, mengapa dia suka menerima tamu, tamu siapa saja yang baik, dan yang nggak baik, dsb. Aku geram sekali.
‘Kapan kita ke kota?’ tanyaku.
‘Kita pasti akan keluar, tapi sebelumnya aku ingin mengajak anjingku jalan-jalan dulu keliling kampung, trus baru jalan-jalan’ kata si bapak.
Gladys berkata, ya sudahlah mbak, bentar lagi pasti kita keluar. Tapi si bapak tak kunjung mengajak si anjing pergi jalan-jalan. Jam sudah menunjukkan pukul 11.30 dan si bapak masih saja cerita ngalor-ngidul nggak jelas. Cerita yang sudah diceritakannya kemarin, diulanginya lagi. Ditambah dengan cerita-cerita lainnya lagi. Aku sudah hampir meledak karena ingin keluar rumah. Tapi kalau kami kabur dan membuat bapak itu marah, bisa-bisa kami tidak bisa masuk dan mengambil barang-barang kami di rumahnya saat kembali. Akhirnya Gladys membisikkan ide padaku.
‘Boleh tidak kita mengajak Chiripa jalan-jalan sebentar (anggap saja nama si anjing, chiripa :D)? tanya Gladys kepada bapak itu.
‘Iya, aku suka sekali anjing, dan ingin punya anjing yang lucu kayak gini!’ timpalku. Anjing bapak itu memang lucu, kecil, berbulu putih ikal dan jarang menggonggong.
‘Wah kebetulan, kalian baik sekali, kalau begitu, ajak chiripa keliling kampung sebentar saja, jangan lama-lama, kalau dia berak, taruh di kamtong plastik ini dan buang ke tempat sampah!’ kata si bapak sambil mempersiapkan tali leher si anjing dan kantong plastik.
Kami memang jail sekali. Karena saking jengkel dan bosan diceritai ngalor ngidul, kami menculik chiripa dan mengajaknya ke kota jalan-jalan, naik bis, kadang kami gendong atau kami ajak duduk kalau dirasa sudah terlalu jauh berjalan. Kami pura-pura saja lupa bahwa ada seorang bapak yang pasti sangat marah ´menunggu kami di rumahnya.
![]() |
penculik and anjing yang diculiknya ;D |
Saat hari menjelang gelap, kami pulang ke rumah bersama Chiripa. Si bapak menyambut kami dengan muka merah padam dan marah.
‘You know that you should haven’t done that to me!’ katanya.
‘But we also want to enjoy Amsterdam, not only listen to your story!’ kataku.
Kami berdebat panjang lebar, aku pun juga sangat marah. Akhirnya keadaan mulai membaik, dan dia sepertinya juga tidak ingin kami pergi dengan keadaan marah, jadi dia mengajak kami jalan-jalan malam. Aku yang sudah sangat bad mood sebenarnya enggan jalan-jalan malam itu, untungnya Gladys masih segar bugar dan ceria. Jadi paling tidak ada sedikit energi positif untuk menikmati Amsterdam malam itu.
Si bapak rupanya hobi mengoleksi sepeda kuno. Ada banyak sekali koleksi sepeda miliknya, dan dia juga suka memodifikasinya. Kami ke kota tidak dengan naik bus, tapi naik sepeda. Ya, satu sepeda, bertiga. Sepeda itu sepeda panjang yang bisa dipakai untuk tiga orang, dengan pengemudi paling depan (si bapak pastinya). Dengan sepeda, kami menuju ke pelabuhan kecil yang mengantarkan kami naik perahu ke kota Amsterdam.
Malam hari, kota Amsterdam berbeda sekali dengan saat siang, di malam hari, kita bisa melihat, menyusuri pusat pelacuran terbesar di Eropa (Red Light Distric). Red Light Distric tidak nampak pada siang hari, karena memang pada dasarnya red light distric adalah kampung biasa, kampung yang juga ditinggali anak-anak, kampung yang ada beberapa gereja dan rumah ibadah lainnya. Kampung yang berbatasan dengan museum,dan sebagainya. Tapi begitu hari menjadi gelap, banyak rumah-rumah di sana menyalakan neon merah di atas pintu rumah yang menginformasikan kepada pengunjung bahwa mereka bisa ‘jajan’ di sana. Tak jarang kami melihat rumah kaca yang berbentuk seperti etalase toko, terkota-kotak, dan di dalamnya ada wanita-wanita mengenakan bikini, menunjukkan keseksian dirinya dan menggoda para pria yang ingin ‘mencoba’ tubuhnya.
Dari si bapak, kami tahu berapa tarif wanita itu. Menurutnya, wanita-wanita tersebut terlatih untuk bisa memuaskan ‘pelanggannya dalam waktu 20 menit. Dalam durasi 20 menit itu, pelanggan membayar sekitar 30-100 euro, tergantung kesepakatan awal.
Aku dan Gladys ngeri juga melihat fenomena pelacuran tersebut. Belum lagi kita juga dihadapkan fakta bahwa di seluruh penjuru kota Amsterdam terdapat ‘Coffe Shop’. Awalnya, kami berpikir, ah banyak sekali pedagang kopi di sini. Nggak taunya, coffe shop di Belanda menjual ganja. Ganja memang dilegalkan di Belanda.
Aku masih mengingat jelas bahwa malam itu, meski aku agak jengkel dengan bapak couchsurfer itu, kami bisa memperoleh banyak informasi tentang Amsterdam dan keunikannya. Meski demikian, kami pulang dengan wajahku yang masih kelihatan kusut dan marah. Aku tak ingin mendengar lagi cerita bapak itu malam itu, aku hanya ingin segera tidur, segera pagi, dan segera melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya dan bertemu mbak Evi dan Johan, pasangan favoritku yang akan aku temui untuk pertama kalinya setelah hampir 2 tahun berkorespondensi lewat interpals itu.
Sebelum itu, kisah menarik hitch hike: Minyak goreng pengganti bensin
wahh pasti enak sekali ya memakan strawberry langssung di petik dari pohonnya..