Menyelesaikan kisah keliling Eropa dengan menulisnya di blog adalah salah satu dari resolusi tahun ini dan target liburan semester 2 bulan ini. Aku sangat menyesal tak menuliskannya saat selesai liburan kala itu, sehingga kini aku harus mengingat kenangan yang terjadi sekitar 2, 5 tahun yang lalu. Jika kalian ingin mengetahui mulai awal kisah perjalananku dan Gladys keliling Eropa, mengunjungi 8 negara dan lebih dari 25 kota dalam waktu kurang dari satu bulan, silakan simak dulu:
Berlin dan Kenangan Yang Terendap di Sana
erlin dan Kenangan Yang Terendap Di Sana
Düsseldorf-Köln: Se-mengenaskan itukah Kami Ini?
Köln: Petir dan Sempitnya Dunia Ini
Amsterdam: Menculik Anjing Dari Bapak Yang Aneh
Hitchike Amsterdam-Rotterdam: Minyak Goreng Pengganti Bensin
Rotterdam: Serasa Pulang Kampung
Delft dan Den Haag: 13 September 2014
Saat Menulis Ini: Hamburg, 28 Februari 2017
Bertemu dengan orang Indonesia di negara asing itu serasa bertemu keluarga sendiri. Apalagi yang bertemu karena merasa senasib sepenanggungan. Gladys, aku dan Mbak Evi adalah salah satu contohnya. Meskipun nasib kami tidak sepenuhnya sama, tapi kami mengerti bagaimana rasanya bekerja membanting tulang di Eropa.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa Mbak Evi dan Johan akan se-welcome ini kepada kami. Membuat kami serasa di kampung halaman, menyediakan tempat buat menginap selama 4 hari di Rotterdam, menunjukkan kota, mengajak jalan-jalan, memperkenalkan budaya Belanda, dan memberi kami kehangatan serta keramahan selama kami di sana. Kami anak gembel dekil ini kalau nggak ada mereka di Rotterdam, nggak bakal bisa mengunjungi beberapa kota hanya dalam beberapa hari saja di Belanda. Gimana nggak gembel, coba? Budget terbatas, mau melancong kemana-mana, haha. Aku harus selalu berterima kasih kepada mbak Evi dan Johan atas kebaikan hati mereka.
Johan membelikan kami tiket transportasi lintas kota Belanda selama satu hari penuh. Sehingga selama satu hari, kami bisa berkunjung ke 2 tempat sekaligus, yakni Delft dan Den Haag. Yang letaknya memang tak jauh dari kota Rotterdam.
“Hari ini, saya akan menjadi pemandu wisata kalian!” kata Johan
“Loh? Aku pikir kamu harus kerja. Ini kan bukan akhir pekan?” tanya Gladys.
“Aku sengaja ekstra mengambil cuti hari ini karena tahu kalian akan datang!” jawab Johan
Oh, Johan baik sekali. Dia tak hanya membelikan tiket untuk kami, tapi juga jadi pemandu. Kota pertama yang kami kunjungi adalah Delft, karena menurut Johan, kota Delft tak begitu besar, namun untuk pergi ke kotanya, kita harus naik bus yang bikin nggak asik. Asal tau aja, aku paling malas kalau mengunjungi sebuah tempat yang letaknya jauh dari stasiun dan harus naik bus dulu. (Alaaah apa sih, kayak di Batu ada kereta aja :D)
Untuk pergi ke Delft, kita naik kereta dari Rotterdam, lalu turun ke Sebuah stasiun (aku lupa namanya, 😛 ), kemudian dilanjutkan dengan naik bus selama 10-20 menit. Bus kami melewati daerah daerah semacam sawah atau danau-danau kecil khas Belanda. Ada satu patung unik besar yang letaknya geje di tikungan sawah-sawah mendekati kota Delft. Aku bertanya kepada Johan mengapa ada patung berdiri sendiri tanpa maksud di tengah sawah begitu? Apa mungkin ada yang mau mengunjungi dan melihat-lihat patung tersebut?. Johan dan Gladys sepakat bahwa itu SENI. Ah, orang Eropa, saking gilanya pada seni, masak iya buat patung di tepi sawah nggak jelas gitu. Iya kalau patung orang-orang an sawah pengusir burung? ahh, bisa jadi-bisa jadi.
patungnya kayak orang kebelet pipis |
Johan tak hanya menunjukkan tapi juga menjelaskan kepada kami kota Delft yang indah itu. Juga Nieuwekerk dan sejarahnya. Aku menyesal sekali ketika menulis ini, aku sudah lupa semua tentang apa yang Johan jelaskan pada waktu itu.
Johan adalah penggila pasar loak, di Eropa. Banyak sekali pasar loak. Namun tak seperti di Indonesia, pasar loak di Eropa merupakan pasar temporary, yang artinya pasar sementara. Meskipun di Belanda ada pasar atau toko loak yang permanen, kebanyakan di Eropa pasar loak ada cuma hari, minggu atau event tertentu. Misalnya di Paris, di musim panas, banyak flea market yang dibuka karena ada festival musik tertentu.
Saat di Delft, Johan mengajak kami duduk di sebuah tempat semacam taman tapi tak banyak tumbuhannya. Kami duduk di sana. Johan mengeluarkan bekal. Tak kusangka. Mbak Evi membawakan kami bekal untuk makan siang agar kami tak usah jajan dan memboroskan uang. Johan diberi bekal sandwich dan kami nasi sama kering kentang, sayur serta bumbu pecel sisa sarapan. Terharu, bahagia, ingin menangis rasanya mengingat kebaikan orang yang bahkan belum mengenal betul kami ini siapa.
Perjalan kami lanjutkan ke Den Haag. Di Den Haag, kami berputar-putar di pusat kota dan perpustakaan. Kebersihan kanal-kanal serta kerapian penataan kota selalu membuatku terkagum-kagum . Kanal-kanal di Belanda itu meskipun airnya tak mengalir, namun airnya begitu bersih.
Johan menjelaskan bagaimana Belanda mengatur perairan dan gedung-gedung yang dibangun, serta terowongan-terowongan yang digali untuk membuat rel kereta api bawah tanah. Bayangkan, Belanda yang jauh lebih rentan banjir ketimbang Jakarta ini bisa tidak tenggelam, padahal sering dilanda hujan di sepanjang musim juga.
Bagaimana tidak takjub kalau berada di Belanda, kadang kita berjalan, atau berkendara di jalan, namun beberapa meter di atas kita terdapat sungai, terowongan dibangun dengan membendung sungai dan mengalirkannya sedemikian rupa. Ah, aku tentu saja bukan pakar perairan dan penataan kota. Aku tak sanggup mengerti dan menjelaskan bagaimana orang Belanda membuat negeri ini masih eksis padahal hampir tenggelam. Karenanya, ada sebuah pepatah di Belanda menyebutkan:
‘God schiep de wereld, maar de Nederlanders creëerden Nederland’ yang artinya: Tuhan menciptakan dunia, tapi orang Belanda (Dutch) menciptakan Belanda.
Berikut ini, foto-foto di Delft dan Den Haag:
jalanan tepi kanal dan sungai |
jalanan sempit yang banyak bendera Belandanya |
Dalam perjalanan, kami juga sempat mengabadikan seseorang (mungkin seniman pasir) yang membuat istana dari pasir di tengah-tengah gang, lagi-lagi Gladys berbisik, “Wong Londo iki titik-titik seni koyok kurang penggawean ae,” (Orang Belanda tuh, diki-dikit seni, kayak kurang kerjaan banget). Kami pun tertawa. Tapi harus kami akui, istana pasir nya bagus banget.
seni di pinggir jalan, karya ini ada di jalanan Rotterdam |
Seperti patung orang kebelet pipis di tengah sawah atau patung kaleng meleleh di pinggiran jalan ini akan selalu kita jumpai kalau kita jalan-jalan di Belanda. Biasanya, nama senimannya akan terpajang juga di sana.
Maafkan keterbatasan memoriku dalam mengingat tempat-tempat dalam foto itu ya. Hehehe. Karena banyak tempat yang harus aku ingat, banyak juga yang aku lupakan. Menurutku, kenangan bersama orang saat travelling itu jauh lebih penting dan berharga ketimbang hafalan nama tempatnya.
Bersambung…. Masih di Rotterdam: Kota Yang Sempat Hancur
waduh, super kreatif kalau didaerah sana ya mbak rindra :). ada sejarah ap di patung yang kayak kebelet pipis itu ? 🙂
waduh itu saya yang kurang tahu, mungkin saat itu banyak orang yang pipis di tepi sawah sehingga dibikin monumen patung untuk menegnang mereka kali… hahhaha
Serunya. Nggakhanya di LN ya mbak ternyata. waktu kost di Yogya dan ketemu orang sekampung atau tetangga sebelah kampung aja itu udah kayak keluarga banget 🙂
Ini di luar negeri, sesuatu pastinya
wuih… senangnya bisa jalan2 di Eropa. tampilan blognya baru ya? saya baru ngeh hehe
hahahahahahah, ada ada aj mbak rindra
Hahahah,,,tuh kan mbak,,,iya memang
Hhahaha,,,iya
Suka Nyeni ya orang Eropa /Belanda nih. Kreatif juga mbak Evi ya, jd kalian bisa hemat duit mkan siang ya. Sebagai orang yang pernah dan sering jadi kere, itu sesuatu banget..
[…] Yang Gladys dan aku ketahui tentang pasangan favorit aku (mbak Evi dan Johan) tersebut adalah mereka bertemu lewat chatting online dan jatuh cinta sejak pertama kali bertemu di sebuah taman di Belanda. Mbak Evi yang saat itu sudah tinggal dan bekerja di Belanda selama 12 tahun pun fasih berbahasa Belanda. Lucunya, kadang dia sampai lupa bahasa Indonesianya sebuah kata yang dia tahu dalam bahasa belanda dan jawa. Mereka senang sekali menceritakan bagaimana pertama kali mereka bertemu dan melihat rusa di taman itu beberapa kali. “Sejak pertemuan kami saat itu, hingga sekarang, 4 tahun setelahnya, kami tak pernah terpisah sehari pun” kata Johan “Kecuali saat Johan menghadiri konferensi di Austria selama 3 hari beberapa bulan lalu. ” sahut mbak Evi yang langsung dia terjemahkan kepada Johan dalam bahasa Belanda. Bagiku dan Gladys, Johan dan mbak Evi sudah seperti saudara yang baru saja bertemu. Mereka baik luar biasa kepada kami yang masih baru kemarin bertemu, menyambut kedatangan kami dengan suka cita, dan menanggung seluruh biaya transport kereta dan makan kami selama di Rotterdam, ke Delft dan Den Haag. Johan dan mbak Evi adalah keberuntungan kami berikutnya…. Jangan lewatkan kisah selanjutnya di Den Haag dan Delft: Tuhan Menciptakan Dunia, Dutch Menciptakan Belanda […]