Bruges- Gent-Antwerp: Benar-Benar Gembel Sejati!

stasiun utama Antwerp

Sebelum jatuh cinta pada Belgia, aku sudah mempelajari bagaimana cara terbaik pergi dari satu kota ke kota lain di negara yang yang luasnya kurang lebih seluas Jawa Tengah ini. Jawa tengah luasnya 32.801 km persegi, seluruh negara Belgia luasnya hanya 30.528 km persegi. Tuh, kan, Jawa Tengah saja bahkan lebih luas 😀

Kami pun memasang jurus Hitch Hike terjitu lagi. Kali ini, sebelum matahari benar-benar tenggelam, kami berdiri di dekat lampu merah dan menanti adanya belas kasihan mobil lalu lalang yang kiranya akan memberi tumpangan kepada kami, gembel sejati.

Ini lah yang membuatku cinta Belgia. Belum sampai sepuluh menit, kami lagi-lagi sudah dapat tumpangan dari pasangan suami istri India. Aku sudah lupa pastinya apa mereka berasal dari India, Pakistan, atau Nepal, yang jelas mereka berasal dari Asia Selatan dan bekerja di Belgia. Pasutri tersebut tinggal di Gent. Dan lagi-lagi kami diturunkan di Gent untuk mencari tumpangan selanjutnya.

Matahari tenggelam pukul 21.15, kami terdampar di sebuah parkiran jalan Tol, bukan pom bensin, melainkan tempat nge-tem pengemudi truk-truk pengangkut barang dan kendaran lainnya. Akhirnya hari benar-benar gelap dan waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 (waktu setempat). Kami pun duduk santai di sebuah bangku yang terletak di tempat parkir tersebut.

Kami adalah gembel santai. Padahal sudah hampir tengah malam, kami masih saja sempat makan dan minum, bukannya segera mencari tumpangan ke Antwerp. Sekitar pukul 23.00, kami akhirnya sadar diri dan harus pulang dari tempat parkir ini.

Di parkiran truk tersebut terdapat puluhan pengemudi truk yang beristirahat. Kebanyakan para pria. Entah apa yang merasuki kami sehingga tanpa ketakutan sama sekali, kami menghampiri mereka dan bertanya satu persatu apakah mereka akan melanjutkan perjalanan ke Antwerp.

Nihil…..

Puluhan supir kami tanya, puluhan penolakan pula kami dapatkan….

Cemas dan panik melanda. Bagaimana kalau kami tidak mendapat tumpangan balik ke Antwerp? Bagaimana kalau kami harus tidur di parkiran ini malam ini? Oh tidaaakkk, bagaimana kalau diperkosa supir-supir truk itu?

Hampir putus asa, kami duduk di atas rerumputan di depan sebuah truk container raksasa. Supirnya sudah menolak untuk menumpangi kami dengan alasan di truk itu sabuk pengamannya cuma satu, sedangkan kami dua orang. Kalau sampai ketahuan polisi ada penumpang yang tidak memakai sabuk pengaman, bisa panjang urusannya. Kami pun duduk lemas.

Mungkin melihat kami yang memang berwajah gembel serta perlu dikasihani ini, supir muda itu akhirnya menghampiri kami. Dia tidak begitu fasih berbahasa Inggris rupanya.

“Antwerp?” tanyanya.

“Yaaa!” jawab kami tak bertenaga.

Dengan kalimat terbata-bata, dia bilang, “Aku nggak ke Antwerp, tapi lewat Tol Antwerp juga, kalau kalian mau, aku bisa antar sampai ke tol terdekat. Tapi nanti kalau ada polisi, aku kode dan kalian harus sembunyi di bawah ya!”

Orang Polandia yang bekerja di Belanda dan tak fasih berbahasa Inggris tersebut membuat kami bingung, tapi yang kami tangkap, dia mau ke Antwerp. Ya sudah, yang penting dia bilang Antwerp. Kami akhirnya numpang truk container besar itu….

Ini foto Truk Container yang kami tumpangi
Foto di dalam truk container yang canggih. Sayangnya gelap&pak supir menolak untuk ikut foto

Aku jadi ingat bapakku yang juga supir truk. Penasaran seperti apa di dalam truk tersebut, aku pun tak sabar masuk. Di samping tempat duduk sopir, rupanya ada bangku empuk panjang yang bisa diduduki 4 orang seukuranku, tapi memang hanya ada satu sabuk pengaman saja. Lalu monitor seperti TV di depan supir. Navigasi dan sebagainya begitu lengkap dan canggih, jauh banget dibandingkan dengan truk bapak. Sayangnya pak supir itu tidak memperbolehkan kami mengambil foto truk itu, apalagi foto dia. Uuufft.

Truk tersebut ternyata tidak benar-benar membawa kami ke Antwerp, hanya sampai perbatasannya. Supir muda tersebut hanya bilang satu kata saja sebelum menurunkan kami di sebuah pom bensin, “Antwerp!” katanya sambil menunjuk sebuah palang penunjuk jalan ke Antwerp. Kami menyangka bahwa pom bensin itu sudah sampai di Antwerp dan kami tinggal nyari bus ke kota saja.

Setelah truk itu meninggalkan kami, segera saja kami bertanya kepada toko yang buka 24 jam di pom bensin tersebut, di mana halte bus terdekat. Bodoh!!! Kenapa tanya di mana halte bus, harusnya tanya dulu apakah ada bus yang membawa kita ke Antwerp. Tapi karena kita mengira kita sudah sampai di Antwerp, kita dengan PD mencari halte bus yang telah ditunjukkan oleh penjaga toko.

Berjalan dalam gelapnya malam selama kurang lebih 40 menit membuat kami putus asa. Kami tak jua menemukan halte bus. Setelah melewati ladang jagung yang luas, jalanan yang agak berlumpur dan perumahan kecil, kami akhirnya menemukan halte bus kecil yang membuat kami sadar satu hal setelah membaca rute bus tersebut di jadwalnya:
INI BUKAN ANTWERP!!!!WE ARE IN THE MIDDLE OF NO WHERE!!!

Akhirnya kami lemas dan waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Mau tak mau, kami harus balik ke pom bensin itu lagi demi mencari tumpangan ke Antwerp. Kami nggak mau menyusuri jalanan panjang yang memakan waktu sekitar satu jam untuk kembali. Akhirnya kami putuskan untuk menempuh jalan pintas di tengah ladang jagung.

Jalanan setapak ladang jagung yang kami kira akan tembus menara listrik di pom bensin itu rupanya jalanan yang tak berujung. Gladys terperosok di kubangan lumpur. Tak lama kemudian aku. Satu sepatu jogging tipisku itu kini basah dan berlumpur…Iiiiwww… Gladys lebih beruntung karena dia memakai sepatu panjang, meskipun dia selama perjalanan harus mengeluh juga karena sepatunya sempit dan bukan sepatu sport melainkan lebih sepatu fashion.

Tak sampai di situ, terkejut membuat kami menjerit dan terpekik sehingga membangunkan anjing penjaga ladang jagung tersebut. Karena gelap, kami tak tahu anjing-anjing itu ada di mana. Yang jelas mereka melolong menggonggong dan membuat kami ketakutan setengah mati.

Kami terjebak di tengah-tengah lumpur di jalanan sempit ladang jagung ditambah ketakutan anjing-anjing yang mungkin akan datang menghampiri lalu mencabik-cabik. Sekuat tenaga kami balik arah, tak jadi menempuh jalur pintas, lari terseok-seok dengan satu kaki penuh lumpur. Mau tak mau kami harus menempuh jalan yang kami tempuh sebelumnya, berputar-putar lagi.

Satu jam kemudian, kami tiba di pom bensin itu lagi. Penjaga toko 24 jam yang kami tanyai tadi sudah tak ada di situ. Ah peduli amat, perasaan kami kacau balau, antara capek, marah, jijik, putus asa, dsb. Kami pun mulai bertanya kepada satu-persatu pengemudi yang mengisi bensin.

Karena sudah tengah malam, kami tak punya banyak pilihan. Seorang pria berjenggot, terlihat dari busananya seperti orang Arab sedang mengisi bensin. Gladys pun bertanya kepadanya, “Apakah anda akan ke Antwerp?”

Pria tersebut melihat Gladys dengan tatapan nafsu dan menyentuh pipi lalu janggutnya seraya berkata, “Ya,,,saya ke Antwerp.”

Aku menarik tangan Gladys untuk menolak orang yang sudah jelas-jelas cabul tersebut. Merinding rasanya. Tapi hal lain terjadi.

Pria tersebut berkata, “Aku bisa memberi tumpangan kepada kalian! Istriku masih belanja bersama adiknya. Kita tunggu dulu!”

Istrinya? Adiknya? Berarti pria cabul ini tidak sendirian. Aku dan Gladys pun merundingkan agak lama dan akhirnya kami pun setuju. Istrinya keluar dari toko dan melihat keberadaan gembel dekil meletakkan barang di bagasinya. Dengan tatapan kurang suka, wanita dengan jambul anti badai itu berbisik kepada suaminya. Entah apa yang mereka katakan, akhirnya kami boleh masuk mobil dan menumpang sampai Antwerp.

Kami diturunkan di bawah jembatan dan harus merayap di dinding jembatan seperti laba-laba untuk mencapai jalanan yang membawa kami ke halte tram. Bayangkan sendiri bagaimana bentuk gadis laba-laba dengan kaki berlumpur merayap ke atas jembatan. 😀

Akhirnya, setelah perjalanan panjang yang melelahkan, kami tiba di Gang Dolly, alias apartemen Philip pukul 03.00.

Philip yang belum tidur menunggu kami pulang itu sangat terpukau dengan cerita kami hari itu. Dia bahkan memberiku amazing reference di Couchsurfing:

Aku tak akan melupakan pengalamanku dan Gladys hari itu…

Berlin dan Kenangan Yang Terendap Di Sana
Düsseldorf-Köln: Se-mengenaskan itukah Kami Ini?
Köln: Petir dan Sempitnya Dunia Ini
Amsterdam: Menculik Anjing Dari Bapak Yang Aneh
Hitchike Amsterdam-Rotterdam: Minyak Goreng Pengganti Bensin
Rotterdam: Serasa Pulang Kampung
Delft-Den Haag: Tuhan Menciptakan Dunia, Orang Belanda Menciptakan Belanda
Masih Di rotterdam: Kota Yang Sempat Hancur
Taman Nasional Velowezoom: Abang Gerobak Dorong
Belanda-Belgia, Antwerp: Tinggal di Gang Dolly
Antwerp-Gent-Bruges: Nasib Gembel Sejati

12 Comments

  1. hadu mbak, kok horor gitu….
    hahaha tapi jadi kepo jambul anti badai itu kayak gimana, setinggi apa
    btw aku juga kepo sama Belgia, apalagi konflik orang Flanders sama Wallonia…

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


x

Related Posts

Panduan Menulis Motlet dan CV untuk Apply Visa FSJ/BFD ke Jerman
Program FSJ (Freiwilliges Soziales Jahr) dan BFD (Bundesfreiwilligendienst) di Jerman adalah bentuk layanan sukarela di Jerman yang ditujukan unt...
Info Lengkap Tentang Oportunity Card atau Chancekarte ke Jerman
Kesempatan terbaru untuk tinggal dan bekerja di Jerman melalui Opportunity Card atau Chancenkarte merupakan bagian dari upaya Jerman untuk menari...
Contoh Motivation Letter Yang SUKSES Apply Visa Au Pair di Kedubes Jerman
Tentang panduan membuat motivation letter dan CV sebagai syarat mengajukan Visa di kedubes Jerman, silakan dibaca dulu di artikel ini: Panduan Me...
powered by RelatedPosts
Ada yang ingin ditanyakan?